Write. Anywhere. Anytime.

Sabtu, 01 Agustus 2015

Pelbagai Kenangan Tentang Mimpi dan Perjalanan

Fakta bahwa semua orang pernah bertindak impulsif meskipun hanya satu kali dalam seumur hidup. Tak peduli apa yang jadi alasan utamanya, tetap saja hal tersebut memberi kesan mengasyikkan. Sesuatu yang addicted. Tapi setelah direnungkan berulang-ulang, terkadang menjadi seorang impulsif sangat konyol dan kekanakan.

Aku tidak berhasil mengingat tanggal dan bulan berapa persisnya peristiwa itu. Mungkin sekitar sembilan tahun yang lalu, saat aku masih duduk di kelas sebelas.

Bel sekolah berdering lebih cepat dari perkiraanku. Awalnya aku mengira, aku bisa tiba di sekolah tepat waktu. Setidaknya satu menit sebelum guru muncul di dalam kelas. Tapi, ada beberapa hal di dunia ini yang bisa terjadi begitu saja dalam satu kedipan mata, tanpa mampu kita cegah. Sekalipun kita telah menyusun rencana serapi mungkin.

Seperti yang kualami di pagi hari yang terik itu.

Pintu gerbang sekolah terkunci rapat. Satpam sekolah yang berdiri di dalam sana memelototi kami dengan tatapan mengancam, seakan-akan hendak memberi hukuman. Aku ditemani puluhan murid lain yang sama-sama terlambat. Salah satu di antara mereka adalah Texas Nejrabi, siswa kelas XI IPS 2.

Kami pernah berbincang di perpustakaan sebelumnya. Peristiwa itu sudah cukup lama. Aku juga sering dengar orang-orang memanggilnya si Arab Nyasar. Julukan itu dia dapatkan dari para senior sewaktu masih jadi murid baru.

Aku kerap memperhatikan Texas diam-diam; memata-matai setiap kali dia bersama teman-temannya;  sesekali melempar senyum setiap kali berpapasan di kantin. Dan selama berbulan-bulan, aku terus berpura-pura di hadapan Texas. Aku tidak ingin dia mengetahui orientasi seksualku yang sebenarnya. Bertingkah seakan-akan aku ini cowok sungguhan – cowok normal yang suka cewek, bukan dengan cowok.

Kerumunan orang di sekelilingku mulai menipis. Sebagian besar masih berdiri di sana lantaran tak punya banyak pilihan, sisanya justru minggat ke suatu tempat. Aku mulai sadar satu hal; saatnya aku mengambil keputusan. Maka, aku pun pergi menjauh. Lebih baik kabur daripada menunggu kedatangan Kepala Sekolah atau guru piket untuk menghadiahi sanksi.

Aku melangkah ke sebuah warung kecil yang terletak di seberang jalan, letaknya tidak terlalu jauh dari sekolah kami. Gerobak makanan bertuliskan ‘mi goreng, mi rebus, bubur kacang, gorengan’ itu belum sepenuhnya terisi. Pemiliknya bernama Pak Komar. Dia sedang meracik adonan tahu isi sewaktu aku masuk dan mencomot teh botol dari dalam kulkasnya.

Cuaca pagi itu ternyata tidak bisa diajak kompromi. Peluh menbanjiri pelipisku. Aku menyekanya berkali-kali, tapi ia seakan tak mau berhenti. Tepat ketika aku hendak membanjiri tenggorokanku dengan minuman dingin, seseorang tiba-tiba muncul dan mengurungkan niatku.

Seseorang yang biasanya kukagumi dari kejauhan.

Seseorang dengan rahang yang kokoh, tulang pipi yang tegas, sepasang bola mata cokelat cerah, dan bertubuh atletis.

Dia berjalan menuju meja panjang yang menempel ke dinding warung. Di tangannya ada sebotol air mineral ukuran sedang. Beberapa tegukan saja sampai air di dalam botol itu habis tak bersisa.

“Kamu yang anak IPA itu, kan?” Telunjuknya teracung ke arahku.

Aku mengangguk spontan, kemudian memberanikan diri untuk duduk di sebelahnya. “Dan kamu Texas, anak IPS yang terkenal karena julukan itu.”

Kepalanya berguncang ke belakang. Itulah kali pertama aku melihat Texas tertawa lepas. Tawa yang begitu memabukkan, tanpa secuil kepalsuan.

“Bangun kesiangan?” Aku melempar tanya.

Dia menjawab dengan kepala terangguk. Kemudian mengeluarkan sebuah novel fenomenal yang berjudul To Kill A Mockingbird dari dalam ranselnya. Aku tidak tahu seperti apa alur cerita buku tersebut. Tapi suatu hari kelak, aku akan menyadari bahwa novel itu berkaitan dengan passion yang dia miliki.

Orangtua Texas tidak tinggal bersamanya di Jakarta. Keduanya berada di Pakistan, sesekali mampir ke Indonesia sebelum bertolak ke Sydney untuk mengurus bisnis Real Estate milik ayahnya. Seperti itulah yang dia ungkapkan sebelum percakapan kami bergulir semakin jauh.

“Biasanya kalau lagi boring, kamu pergi ke mana?”

Aku segera menjawab tanpa pertimbangan, “Nggak ke mana-mana, lebih sering di kamar aja. Mentok-mentok ya – jalan kaki keliling komplek perumahan.”

“Kelihatan, sih. Kamu tipe anak rumahan banget. Kulit putih, bersih, kalem.” Texas mulai menekuniku dari atas ke bawah, seakan-akan ada yang salah dengan penampilanku. Baru pertama kali aku mendengar seseorang mendeskripsikan diriku secara gamblang.

“Aku tahu,” jawabku. “Kalau kamu?”

“Pasar! Di Jakarta banyak pasar loak. Selain berburu barang murah, bisa berburu buku obral juga.” Texas menutur, “Aku senang membaca. Aku bisa duduk di perpustakaan satu hari penuh, tanpa makan dan minum.”

“Nggak heran aku sering lihat kamu di perpustakaan sekolah.”

“Ternyata kamu sering memperhatikan aku, ya?”

Aku semakin kehabisan perbendaharaan kata. Niat awal ingin menceletuk, justru diserang balik. Agak gugup aku membalasnya, “Itu kebetulan aja, kok.”

That’s okay. I don’t mind at all.” Dia tersenyum, seakan-akan tidak merasa keberatan. “Oh ya, habis ini mau ke mana?”

 “Mustahil untuk masuk ke kelas. Gerbang udah ditutup. Jam pelajaran pertama pun udah dimulai.” Aku mengedikkan bahu. “Lagian aku nggak suka berurusan sama Pak Ikbal. Kamu juga pasti sependapat sama aku!”

Pak Ikbal itu satpam sekolah kami. Orangnya rese, sering ikut campur urusan orang, sok berkuasa, mata keranjang.

Texas tergelak lagi. Kali ini lebih pelan. Cukup pelan hingga menyisakan satu keheningan.

Dan di tengah-tengah keheningan yang canggung itu, kudengar dia bicara, “Ikut aku, yuk.”

Dahiku mengernyit. “Ke mana?”

Texas beranjak dari kursi. Senyumnya terkembang sempurna. Ada sesuatu yang aneh di balik senyuman itu. Tapi aku tidak sanggup menerka. Dia hanya menjawab, “Somewhere only we know. Ayo!”

Bagaimana aku sanggup membuat satu penolakan ketika aku sama sekali tidak punya pilihan? Texas menggapai tanganku. Kami keluar dari warung Pak Komar, berlarian ke jalanan sampai akhirnya melompat ke dalam bus Patas 76 jurusan Pasar Senen. Aku sepenuhnya sadar bahwa tindakanku sangat gila. Tapi aku tak dapat memungkiri; aku menyukainya.

Apa pun terasa lebih menyenangkan selama aku bersama Texas.

Alih-alih singgah ke Plaza Atrium untuk nonton atau sekadar cuci mata, kami justru melipir ke Pasar Senen. Texas kerap mengunjungi tempat itu karena keunikannya. Siapa yang menyangka, kawasan itu dipenuhi sejumlah seniman dan kumpulan mahakaryanya. Pemain musik, pengrajin kayu, pelukis, pembuat puisi. Aku bahkan baru tahu kalau Chairil Anwar termasuk salah satu di antara Seniman Senen pada zamannya.

Perjalanan belum berhenti sampai di situ. Aku dan Texas melipir ke salah satu lapak PKL yang menjual tas dan koper bermerek dengan harga murah. Belakangan aku baru tahu, ternyata tidak sedikit selebriti tanah air yang doyan belanja di sana. Pedagang itu bilang, mereka lebih suka belanja barang bekas berkualitas ketimbang barang mahal. Agak mengejutkan memang.

Selama berjam-jam kami menjelajahi Pasar Senen tanpa rasa lelah. Tepat pukul 12, aku dan Texas memutuskan keluar dari pasar lantaran merasa lapar. Matahari membakar kepalaku. Kami sepakat menuju pedagang mie ayam yang berjualan di depan Stasiun Senen.

Ada sekelompok siswa SMA yang mendekati kami pada waktu itu. Mereka sepertinya berasal dari SMA swasta. Seragamnya bermotif batik kebiruan. Salah satu di antara mereka meminta rokok kepada kami secara paksa. Aku enggan menggubris, begitu pula dengan Texas. Kami berdua tahu, tidak ada pilihan selain berdamai atau balas menggertak. Tapi, membuat keributan di tempat umum sangat tidak dianjurkan.

Apalagi saat masih mengenakan seragam sekolah.

Jadi, aku merogoh selembar uang pecahan sepuluh ribu dari dalam saku seragam dan menaruhnya di bawah mangkuk mie ayamku. Diam-diam menyenggol Texas supaya bergegas kabur dari hadapan mereka. Kami melesat cepat seperti anak panah. Sebisa mungkin melarikan diri dari bahaya. Orang-orang itu terus-menerus meneriakkan sumpah-serapah, menyamakan kami dengan para penghuni kebun binatang. Terlalu nyaring sehingga aku dapat mendengarnya begitu jelas.

Aku terlalu sibuk untuk menoleh ke belakang. Fokusku terpecah antara jalanan dan jemari Texas yang senantiasa kugenggam. Napasku memburu. Perutku berguncang hebat. Seporsi mie ayam yang kusantap bisa saja melompat keluar dari mulutku sewaktu-waktu.

“Naik ke angkot!” perintah Texas dari belakang.

Ada sebuah kendaraan umum berjenis angkot yang berada beberapa meter di hadapan kami. Angkot itu baru mau mempercepat lajunya ketika aku dan Texas melompat masuk, dan menimbulkan bunyi gradak-gruduk yang berisik. Hanya ada empat orang penumpang yang berada di dalam. Seorang ibu dengan bayi di gendongannya menatap aneh ke arah kami.

Tapi kami sama sekali tak peduli.

Selama beberapa saat, aku dan Texas masih cekikikan sambil membahas apa yang baru saja terjadi. Mobil mulai memasuki kawasan Senen Raya yang ramai, kemudian berbelok ke Jalan Pejambon. Macet di mana-mana. Pada jam makan siang, lalu lintas akan berubah dua kali lebih sibuk. Aku baru sadar ke mana arah dan tujuan kendaraan ini ketika Texas bertanya pada salah seorang penumpang yang duduk di sebelahnya.

“Permisi, Pak, angkot ini berhentinya di mana, ya?”

Pria berkumis tebal itu menjawab dengan logat betawi yang sangat kental, “Di depan sono noh, Stasiun Gambir.”

Tak ada kalimat apa pun yang keluar dari mulut Texas. Dia hanya melirikku sekilas, menantiku bereaksi.
Pada saat itu, aku tak sanggup berkata apa-apa. Lututku mendadak lemas. Pikiran-pikiran buruk merasuki seisi kepala. Aku mulai menebak-nebak apa yang kami lakukan setelah ini? Kami bahkan sama sekali tidak punya rencana.

Satu hal yang kutahu, kejadian selanjutnya berlangsung begitu cepat.

***

Aku tidak pernah menyangka hari itu akan menjadi satu perjalanan yang sangat panjang.
Cukup lama kami berdiri di depan pintu masuk Stasiun Gambir tanpa berbuat apa-apa. Texas menatapku lama, kepala dimiringkan ke sisi, sepasang alis tebalnya terangkat; satu pertanda bahwa dia telah membuat keputusan. Aku bergeming, keheningan mulai melebur di antara kami. Namun sebelum aku menemukan alasan yang didasari keraguan, aku melihat Texas membongkar ranselnya dan mengeluarkan sesuatu ke hadapanku.

Sehelai kaus abu-abu dengan logo Crocodile berukuran kecil di bagian belakang. Warna kaus itu agak kusam, seperti telah dicuci ribuan kali. Dan aku langsung menarik kesimpulan, baju itu dia dapatkan di Pasar Senen tadi. Setali tiga uang dengan kaus hitam bergambar Rolling Stone yang kemudian berada di genggamannya.

Kita butuh ini.

Dan entah bagaimana, aku tersihir begitu saja oleh ucapannya;

Melangkah ke dalam Stasiun Gambir tanpa rasa keberatan, menuju toilet untuk mengganti seragam sekolah kami dengan kaus di tangan masing-masing.

Texas sama sekali tidak menunjukkan rasa malu ketika harus membuka seragamnya di hadapanku. Aku dapat melihat rambut-rambut halus yang tumbuh di sekitar pusarnya. Beberapa tahun kemudian, aku semakin sering menyaksikan pemandangan itu. Dengan beberapa perubahan yang membuktikan bahwa hormon selalu berpengaruh dalam masa pertumbuhan.

Sebagian dari diriku tak berhenti berpikir, bagaimana aku bisa secepat itu merasa nyaman dengan seseorang? Seseorang yang selama ini hanya sanggup kukagumi diam-diam. Anehnya lagi, aku terus berharap rasa nyaman itu tak segera pergi.

“Dam, cita-cita kamu apa?”

Texas bertanya dengan suara lirih. Dia berbaring terlentang di atas rumput-rumput yang tumbuh seadanya. Langit malam di atas kami tampak seperti selendang hitam yang dihiasi manik-manik.

Jadi, di sinilah kami berada. Setelah dirundung perasaan cemas bercampur bahagia, menempuh perjalanan berjam-jam dari Stasiun Gambir menggunakan kereta Argo Parahyangan, kemudian mengayuhkan sepasang kaki sampai tumit melepuh, aku dan Texas akhirnya tiba di Bukit Bintang.

Walau dinamakan demikian, sebenarnya tempat ini tidak memiliki unsur perbukitan sama sekali. Hanya ada hamparan tanah dan bebatuan yang tidak rata, ditumbuhi ilalang kecil di mana-mana, serta-merta terdapat beberapa warung kecil yang menyediakan jajanan ala kadarnya. Di malam hari, semua orang dapat menyaksikan kerlap-kerlip lampu yang menyala di sepanjang kota Bandung.

“Belum tahu.” Aku berada di belakangnya, duduk dengan kaki terlipat dan kedua tangan mencengkeram rumput. “Tapi kalau yang kamu maksud ini cita-cita yang sering ditanyakan orangtua sama anak mereka sewaktu kecil, aku punya jawabannya.”

“Jadi dokter? Atau pilot?” Texas terkekeh.

“Selalu bahagia dalam kesederhanaan. Simple as that.” Mataku menerawang jauh, menembus kilau lampu di bawah sana.

Texas beranjak, kemudian mengambil posisi duduk di sebelahku. “Sebenarnya, itu lebih mengacu ke impian, sih.” Mengalirlah filosofi sederhana tentang mimpi dan cita-cita versi Texas. Sebagian orang beranggapan bahwa cita-cita adalah goal terbesar dalam hidup mereka, sesuatu yang patut dipertahankan dengan harga mati. Namun, semua itu tak akan terwujud tanpa kehadiran mimpi. The dream is an energy that propels us to move forward. Mimpi membuat seseorang percaya bahwa segalanya terasa mungkin.

Anything could happen.

“Lulus nanti, aku mau kuliah jurusan Hukum. Terus lanjut magang di kantor pengacara ternama, terus menangani banyak kasus dan berurusan dengan klien.” Texas tidak peduli orang-orang beranggapan profesi itu sangat berkelas sekaligus kejam. Dia tidak peduli berapa banyak pendapatan yang akan diperoleh dalam satu bulan, satu tahun, lima tahun. Bukan uang yang dia cari.

Satu-satunya alasan mengapa Texas begitu berambisi menjadi seorang pengacara; karena dia tahu betapa banyak orang-orang lemah di luar sana yang membutuhkan perlindungan hukum.

Dan untuk kali pertama, aku terkagum-kagum mendengar pengakuannya.

“Tapi aku punya impian seperti itu juga.”

Aku mengernyit dan bertanya, “Seperti apa?”

Jeda sejenak. Kedua bola mata kami saling beradu. Dan selama jeda yang singkat itu, ada desir hangat yang membanjiri aliran darahku. Sesuatu yang membuatku ingin merasakannya lagi, lagi, dan lagi. Sekalipun perasaan itu sungguh tidak tepat.

“Like you said before.” Texas mengujar, kemudian merebahkan tubuhnya lagi di atas rumput.

Dari kejauhan, terdengar sekelompok mahasiswa sedang mendendangkan sebuah lagu. Bunyi dawai gitar yang dipetik; rangkaian chords sederhana. Disusul siul-siulan panjang yang bertransformasi menjadi sebuah melodi.

Shed a tear ‘cause I am missing you
I’m still alright to smile
Girl, I think about you everyday now
Was a time when I wasn’t sure
But you set my mind at ease
There is no doubt; you’re in my heart now

Patience yang dibawakan orang-orang itu masih mengalun di udara. Angin malam berembus pelan. Bukan dingin yang kurasakan, namun kehangatan yang begitu  kentara. Pikiranku melayang jauh bersama lagu.

Begitu jauh hingga aku tersadar bahwa Texas tak lagi berada di dekatku saat ini.

Di masa kini.