Write. Anywhere. Anytime.

Kamis, 19 Februari 2015

Chapter 3 - Apollo Bar

Setelah sekian lama dan untuk ketiga kalinya, aku mengunjungi Apollo.

Karena entah bagaimana, rumah seolah berubah menjadi tempat yang amat membosankan. Tak ada lagi kenyamanan dan kehangatan. Aku sendiri tidak menyangka jika peristiwa waktu itu bisa membawa dampak buruk terhadap sesuatu yang belum pernah kuprediksi sebelumnya. Papa mulai jarang pulang dan lebih memilih bermukim di rumah dinasnya. Bunda semakin sibuk dengan pekerjaannya di klinik. Sementara itu, aku dapat merasakan hubunganku dengan David semakin menjauh.

Seperti ada tembok besar yang membuat kami lupa satu sama lain.

Aku sepenuhnya sadar, semua itu disebabkan olehku – murni kesalahanku. Fakta sederhana bahwa akulah satu-satunya orang yang menyeret adikku ke dalam masalah. Satu-satunya orang yang terlalu percaya diri untuk tampil di tengah gerombolan anak-anak. Tanpa pernah menebak, mereka pasti memvisualisasikanku sebagai pria lemah lembut dan gemulai.

Dan tujuan utamaku mendatangi tempat ini bukan karena aku hendak menatap warna-warni lampu disko sambil menikmati sebotol bir sampai tak sadarkan diri. Aku hanya ingin menemui Bagas. Sekadar bertatap muka dan menceritakan betapa rumitnya masalah yang muncul akhir-akhir ini. Atau barangkali, Bagas mempunya satu cerita mengenai Texas yang belum pernah kuketahui sebelumnya.

“Bir atau cocktail?” Seorang bartender menghampiriku yang tengah melamun di meja bar. Dia berdiri di sana sambil ber-juggling ria dengan botol shaker-nya.

Aku memandang cowok itu dengan alis mengernyit. Berpikir apakah semua bartender di tempat ini harus mahir beratraksi penuh gaya – memutar, melempar botol di udara, lalu menangkapnya – di depan pelanggannya.

“Nanti aja.”

Tidak butuh waktu lama sampai bartender itu menghampiri pelanggan yang lain di ujung bar. Tiga pria metropolitan dengan setelan trendi yang sibuk jelalatan ke sana kemari. Barangkali sedang mencari mangsa di antara lautan manusia yang tengah asyik berjoget itu.

Mengedarkan pandangan ke sepanjang meja bar selagi aku memulai pencarian. Orang-orang dengan kemeja hitam, slayer hitam terikat di kepala, piercing di telinga – terlihat seperti satu keharusan bagi para bartender itu.

Dalam hati aku bertanya, mengapa Bagas sama sekali tidak terlihat?

“Eh, Bro!” panggilku kepada seorang bartender lain yang tengah mengelap meja kerjanya.

Dia menyampirkan lapnya ke bahu. Menghampiriku dan melempar pertanyaan yang sama, “Bir atau cocktail?”

“Bukan...” Aku menggeleng takjub. “Gue mau cari Bagas. Ada lihat dia nggak?”

“Bagas – “ Dia memutar kedua bola matanya. “Bagas yang mana, ya?”

“Bagas yang kerja di sini, yang jadi bartender,” ujarku sambil mengetuk ujung jari tengah di atas meja bar.

“Waduh, gue kurang tahu, Bro. Gue baru dua bulan kerja di sini masalahnya.”

Musik berdentum semakin keras. Lampu laser bergerak lincah seperti sorotan mercusuar. Aku memperhatikan panggung yang kini mengeluarkan efek asap berwarna-warni. Samar-samar terlihat beberapa pria yang muncul di antara gumpalan asap itu.

Pria-pria berbadan tegap yang hanya mengenakan briefs sebagai pelengkap.

Sorak-sorai penonton melambung di udara menyambut kedatangan mereka. Tentu saja, inilah satu pertunjukan yang ditunggu-tunggu. Tidak ada yang lebih menyenangkan selain menonton aksi seronok para pria nyaris bugil di atas panggung. Tak ada larangan bagi siapa pun yang mau menggoda atau meraba-raba tubuh mereka. Bahkan, ada yang rela merogoh kocek lebih dalam hanya untuk menikmati fasilitas short-time dengan para penari erotis itu.

Aku tiba-tiba teringat seseorang.

“Kalau sama Tommy yang anak go-go boy, lo kenal?” tanyaku setengah berteriak, mencoba menyaingi lagu I Don’t Like You-nya Eva Simons yang di-remix sedemikian oleh DJ.

Tommy kerja di Apollo juga. Semua orang mengenalnya sebagai go-go dancer. Meskipun harus kukatakan – dia juga berprofesi sebagai escort yang biasa dipanggil untuk acara-acara tertentu. Bagas yang mengenalkannya padaku dulu. Selain itu, Tommy pernah memiliki keterkaitan dnegan Texas, di mana keduanya sempat berpacaran untuk waktu yang singkat di masa lalu.

Dan seandainya  aku bertemu Tommy, barangkali dia juga tahu keberadaan Bagas.

“Kurang tahu juga, Bro,” jawabnya polos. “Setahu gue emang banyak dancer lama yang udah pada cabut.”

Aku tertunduk lesu. Meratapi semua agenda yang telah tersusun rapi, namun hancur berantakan dalam waktu kurang dari 1 jam. Tidak ada satu pun dari rencana itu yang berjalan sesuai keinginan. Aku bahkan tidak tahu harus melarikan diri ke mana. Tak ada lagi tempat yang bisa dijadikan persinggahan.

Sebagian besar pengunjung Apollo kini mengerumuni area panggung. Lantai dansa terasa lengang. Mengamati kemeriahan yang berlangsung di atas sana dari kejauhan. Ada empat orang pria muscle bertopi pelaut sedang meliuk-liuk seperti ulat. Tubuh mereka yang dibanjiri keringat tampak berkilauan di bawah sorot lampu. Dua di antara empat orang itu saling berhadapan dan menggerayangi satu sama lain.

Dua tahun lalu, aku pernah menyaksikan pertunjukan serupa di sini. Texas duduk di sebelahku waktu itu, lebih tertarik berbincang dengan Bagas yang baru kukenal dalam hitungan menit. Sesekali Texas menegurku hanya untuk menawarkan minum dan mengajakku bergabung dalam percakapan mereka.

Tapi aku mengabaikan imbauannya. Tak pernah merasa nyaman saat berbincang dengan orang-orang baru.

“Punya lighter?”

Aku tersentak kaget dan praktis menyudahi semua lamunan. Menolehkan kepala pada seorang cowok bertubuh jangkung yang tiba-tiba saja berada di sebelahku. Sebatang rokok putih teracung di antara telunjuk dan jari tengahnya. Dia terus menatapku dalam-dalam sampai aku terdiam dalam kebingungan.

Cricket? Umm – “ Aku mulai bertingkah tidak keruan, melirik ke sekitar kemudia meraba saku jinsku. “Sori, gue nggak merokok.” Karena memang benar, aku sudah berhenti merokok sejak dua tahun terakhir.

Dia mengangguk sambil menyeringai. “That’s okay.” Cowok asing berkemeja denim ini pun membalikkan badan dan memanggil seorang bartender. Berbicara sedemikian dekat untuk meredam bunyi bising yang berasal dari sound system. Tak beberapa lama, bartender itu kembali dengan membawa sebuah korek gas Zippo dan meletakkannya di atas meja.

Api Zippo perlahan menyambar ujung rokok sampai mengeluarkan asap kecil. Refleks membungkam mulut dan hidung dengan kedua telapak tangan supaya terhindar dari zat beracun itu.

“Lo terganggu?” Cowok itu memandangku dengan tatapan bersalah. “Maaf. Gue nggak tahu lo alergi asap rokok.”

Dan sebelum aku sempat menanggapi ucapannya, dia lebih dulu mematikan rokok itu ke alam asbak di hadapannya.

“Dulunya gue emang bukan perokok. Anti banget malah sama asapnya.” Dia mengulas tanpa kuminta. Meneguk cairan merah di gelasnya sebelum bercerita, “Sekarang boro-boro mau berhenti, sehari aja biasa habis dua bungkus.”

Aku hanya tersenyum tipis, tidak tahu menunjukkan reaksi yang tepat terhadap kisahnya. Dalam hati menduga-duga, cowok ini pasti sedang kesepian. Dia datang ke sini untuk menghibur diri; minum-minum sambil mencari teman untuk berbagi cerita.

Musik di sekeliling kami memelan sejenak. Lampu laser masih berkelap-kelip, hanya saja dalam kecepatan yang sedikit lambat. Leherku terjulur untuk mencari tahu keanehan yang sedang terjadi.

Cowok dengan potongan rambut a la Morrisey itu bersuara, “Bagian dari pertunjukan. DJ sengaja bikin situasi kayak gitu supaya audience ikutan cooling down.”

Tingkahku barusan mungkin agak konyol dan kelewat parno. Karena terus terang saja, pengalamanku di dunia malam masih sangat kurang. Bisa dibilang, aku perlu membiasakan diri dengan hal-hal seperti ini.

“Sama siapa ke sini?”

“Sendiri,” jawabku datar. “Lo?”

Dia mengedikkan jempolnya ke balik bahu, satu isyarat bahwa dia tidak datang sendirian.Dugaanku sebelumnya ternyata salah besar.

“Gabung yuk! Temen-temen gue lagi di table tuh.”

Perasaanku semakin tidak enak. Mencium sesuatu yang ganjil dari ucapannya. Perutku seperti dipelintir sewaktu kami berpandangan.

Sekilas kulirik arloji digital di pergelangan tanganku. “Gue mesti pulang.” Ucapanku terdengar seperti Cinderella yang kehilangan sepatu kaca.

“Cepat amat! Acaranya kan masih belum selesai.”

“Mendadak ngantuk nih.” Ralat, maksudku mendadak jenuh.

“Lo yakin?” Sepertinya dia sedang berusaha mengulur-ulur kepergianku.

Aku mengangguk mantap, tidak perlu membantah maupun mengalah. Meyakinkan diri untuk turun dari kursi tanpa perlu berpikir dua kali. Berusaha membuang muka saat melewati meja yang dihinggapi sekelompok pria bertampang mesum. Dan pada saat itu, aku sepenuhnya menyadari bahwa tidak ada gunanya berlama-lama di tempat ini.
Selasa, 17 Februari 2015

Chapter 2 - Mistake

Rutinitas yang biasanya dikerjakan Papa atau Bunda kini dialihkan kepadaku. Aku menangani David sejak tadi pagi. Mulai dari menyiapkan bekal makanan, memeriksa penampilan David agar terlihat menarik, mengantarnya tepat di depan pintu kelas, sampai menjemputnya saat jam pelajaran di sekolah berakhir.

Tidak sedikit pun aku merasa kesulitan terhadap seluruh rangkaian pekerjaan itu. Aku menekuninya dengan sepenuh hati tanpa merasa terbebani. Karena sedari dulu, aku percaya, lebih baik mengerjakan sesuatu yang kecil dengan penuh cinta daripada melakoni sesuatu yang besar secara terpaksa.

Namun, sesuatu yang tidak biasa mulai terasa saat kami dalam perjalanan pulang. David terus memelintir ujung tali tasnya tanpa bicara sedikit pun. Pandangannya kosong. Aku tidak tahu persis apakah dia sedang sedih karena kehilangan sesuatu, atau rindu terhadap seseorang... Satu hal yang pasti, dia terlihat seperti menjaga jarak denganku.

Aku mulai bertanya, “David mikirin apa, sih?”

Dia hanya menggeleng, tanpa mengucap satu patah kata pun dari bibir mungilnya.

“Tadi dimarahi guru, ya? Atau uang jajannya hilang pas jam istirahat?” Menduga-duga, hal seperti itu adalah penyebabnya. “Kamu kalau ada masalah, cerita aja sama Kakak. Janji deh nggak bakal kasih tahu siapa-siapa.”

“David mau tanya sesuatu,” David mendesis. Suaranya terlalu lirih hingga nyaris tak terdengar di telinga. “Tapi Kak Adam jangan marah.”

Aku meletakkan tanganku di atas kepalanya. “Tanya aja,” ucapku sambil mengusap rambut ikalnya.

“Pas istirahat, teman-teman iseng sama David. Mereka ngolok-olok Kakak.” David berhenti beberapa detik untuk mengambil napas. Tapi aku semakin tidak sabar menanti kelanjutan kisah itu sampai kudengar dia berbicara, “Kata mereka, Kakak kayak bencong.”

Perutku menegang tak keruan. Aku mendadak kesulitan memenuhi paru-paruku dengan oksigen seusai mendengar penuturan David barusan. Sedikit pun tidak mengerti bagaimana dan seperti apa asal muasal kejadian itu. 

Tapi kemudian, pikiranku kembali terlempar pada momen di mana semua itu bermula.

Aku berjalan di halaman SD Bhakti Mulya, bersama David di sisi kiriku. Melewati selasar yang dipenuhi para siswa dengan seragam olahraga putih-biru. Beberapa di antara mereka ada yang masih ditemani orangtua masing-masing. Dan memang, beberapa pasang mata sempat melihat kedatanganku ketika aku hendak tiba di pintu kelas David. 

Awalnya aku berasumsi, mungkin mereka pikir aku ini single parent atau sosok pria yang memiliki anak di usia muda.

Tapi ternyata, perkiraanku salah.

“Jawab, Kak...” rengek David, memandangku nanar.

“Teman-teman David mungkin cuma bercanda. Namanya juga anak-anak, kan?” ujarku, berusaha menjelaskan. “Jangan terlalu dipikirin.”

“Kalau cuma main-main, kenapa mereka suruh aku – supaya jauh-jauh dari Kak Adam?” Suara David meninggi, meskipun kalimat terakhir itu diucapkan dengan sedikit terbata-bata. “Mereka bilang nggak boleh main sama Kakak lagi, nanti aku jadi bencong!”

Kontan, aku terenyuh. Menyadari bahwa aku telah terlibat dalam kasus klasik di masa perkembangan kanak-kanak dan lingkungan sekitarnya.

Aku baru mau menjawab saat seorang pengendara sepeda motor menyalip tiba-tiba di depan kami. Bunyi knalpotnya yang bising meninggalkan asap pekat sehingga jalanan di depan tampak kabur. Menekan klakson keras-keras sambil mengumpat dalam hati. Sebagian kekesalan itu berasal dari kisah David yang membuatku tak habis pikir.

“Gini aja, besok Kakak datang ke sekolah buat nasihati teman-teman David, ya. Biar mereka minta maaf sama David.”

Sungguhpun aku berharap David setuju dengan saran yang kuberikan. Dengan begitu, masalah ini tidak perlu dipikirkan berlarut-larut. Tapi aku sadar, David bukan lagi anak kecil yang tidak tahu apa-apa seperti pertama kali Bunda membawanya ke dalam keluarga kami. David yang sekarang telah tumbuh cerdas dan memiliki daya ingat yang kuat.

“Nggak mau!” David menepuk jok yang didudukinya. “Pokoknya besok David nggak mau sekolah!”

Dia membuang muka ke luar jendela di sebelahnya. Enggan sekali bertatapan denganku barang sedetik. Sempat terpikir untuk menepikan mobil dan membuat satu keputusan dengan David. Tapi, aku segera membuang pikiran itu dari kepalaku. Sudah terlalu lelah dan putus asa untuk membicarakan hal ini lebih jauh.
Lagi pula, membodohi anak kecil bukanlah kemampuanku.
Sabtu, 14 Februari 2015

Pertemuan Pertama (Perkara Senja Di Kota Bandung)

Alungkeun ka dieu atuh, Bray!”

Lengkingan suara yang cukup nyaring itu membuatku spontan menoleh ke belakang.  Menyaksikan seorang anak kecil berambut cepak yang tengah menanti kehadiran bola dari temannya. Benda bundar berwarna putih itu melambung cukup tinggi sampai akhirnya mendarat dengan selamat. Dia berlari ke sana kemari hanya untuk mencetak gol di gawang lawan.

“Goooool!!!!” Bocah lelaki yang mengenakan kaus Madrid itu berteriak kegirangan selagi tangannya teracung di udara. Ketiga anak yang satu tim dengannya ikut merayakan kemenangan.

Aku jadi teringat seseorang yang pernah berkata bahwa bahagia itu sangat sederhana. Kau tidak perlu keliling dunia kalau ada hal kecil di sekitarmu yang bisa membuatmu tersenyum.

Angin berembus pelan meniup wajahku. Arloji yang melilit di pergelangan tanganku menunjukkan pukul empat lebih tiga puluh menit. Hari sudah semakin petang, dan tempat ini masih terlihat ramai. Sebagian orang ada yang tengah duduk di tangga Monumen Perjuangan, sebagian lagi lebih memilih jogging di area taman.

Seekor anjing Golden Retriever melintas di depanku bersama pemiliknya. Mereka singgah di salah satu sudut yang ditumbuhi kembang sepatu berwarna-warni. Kilau matahari sore menyeruak di antara celah-celah pelepah pohon pinang. Aku lekas menenggelamkan buku The Street Lawyer ke dalam ransel dan beranjak bangkit dari kursi besi yang kududuki. Sepasang kakiku mulai melangkah menuju pintu keluar.

Di seberang sana Lapangan Gasibu. Namun jalanan tampak padat oleh sejumlah kendaraan yang sibuk berlalu lalang. Jam-jam seperti ini adalah jam di mana bunyi klakson saling beradu dengan caci maki para pengguna lainnya. 

Aku tidak pernah mahir dalam urusan menyeberang jalan. Keramaian dan lalu lintas yang rumit selalu membuat ketakutanku semakin parah. Dan sewaktu aku hinggap di sebuah pembatas jalan yang memisah dua ruas jalan, satu pesan baru muncul di layar ponselku.

Kamu di mana? Aku udah d Lapangan Gasibu.

Dadaku seakan bergemuruh. Aku mendadak diserang rasa takut dan bahagia secara bersamaan. Dan selama beberapa saat, aku masih berdiri di sana mengamati lalu lintas.

***

Kami pertama kali berkenalan di sebuah komunitas menulis online. Setiap anggota diberi akses untuk mengunggah tulisan mereka, memberi komentar pada post anggota yang lain, sekaligus menambah teman ke dalam friendlist.

Itu terjadi sekitar dua tahun yang lalu.

Aku lupa tanggal berapa tepatnya. Tapi seingatku, itu adalah pertengahan bulan Juni. Aku baru saja mengunggah tulisanku yang berjudul City Of Tears. Cerpen itu bercerita tentang seorang perempuan yang berjuang mencari cinta sejatinya di kota Paris, namun berakhir dengan air mata. Terdengar tragis memang.

Komentar pertama datang dari seorang pemilik akun yang tak kukenal sebelumnya. Dia terpukau oleh alur ceritaku yang unpredictable. Dia juga mengaku bahwa tulisanku tidak melankolis sama sekali, meskipun kisahnya sangat menyentuh.

Orang itu bernama Awan, mahasiswa tingkat pertama di sebuah Universitas Islam di Bandung. Awalnya aku menduga dia satu tahun di atasku, atau barangkali kami seumuran. Tapi justru dia lebih muda setahun.

Aku dan Awan menjaga komunikasi lewat Yahoo Messenger dan e-mail. Sekadar bercerita mengenai sajak yang sedang ditulisnya, saling berbagi ide dan advice satu sama lain, bahkan tak jarang dia memberiku semangat untuk lekas menuntaskan naskah novelku. Semua itu terus berjalan sampai suatu ketika –  Awan menuliskan nomor ponselnya di sebuah surel tanpa subjek.

Setiap sajak yang dia tulis kukagumi dengan caraku sendiri.Tulisannya begitu sederhana, namun sanggup membuat orang jatuh cinta. Itulah yang terjadi padaku saat membaca sajaknya yang diberi judul ‘Ruang’. Pada salah salah satu bait, ada kalimat yang berbunyi; aku lebih suka waktu berjalan apa adanya. Tidak begitu cepat seperti saat aku dengannya, tidak juga terlalu lambat ketika aku tak bersamanya.
Tanpa pernah aku sadari, waktu telah mengubah kekaguman itu menjadi rasa suka yang tak biasa.

***

Kalau ketemu orang pake jaket jins bawa ransel hijau tua, tegur aja.

Pesan itu telah terkirim sejak aku tiba di Lapangan Gasibu. Mengedarkan pandangan ke sekitar sambil menempelkan ponsel di telingaku. Nomornya mendadak tidak aktif, sementarakakiku terus terayun di atas halaman ber­-paving. Sesekali menoleh ke sana kemari hanya untuk memastikan dia benar-benar berada di sini.

“Rayna!”

Terdengar seseorang memanggil namaku dari arah belakang. Sebuah suara yang belum pernah kukenal sebelumnya.

Aku praktis membalikkan badan. Mematung sejenak saat aku berhasil menemukan si pemilik suara itu.
Dia benar-benar berada di sana. Duduk seorang diri di atas bangku semen. Kemeja cokelat membungkus tubuh tegapnya. Tersenyum ke arahku seakan-akan memanggilku untuk segera mendekat.

Aku menuju bangku itu dengan perasaan tak keruan. Mengambil posisi duduk di sebelahnya sambil mengulurkan jabat tangan. Dan sewaktu kulit kami bersentuhan, aku dapat merasakan rasa geli dan sensasi aneh yang menjalar di sekujur tubuhku.

“Kamu kebingungan banget tadi,” gumamnya tiba-tiba.

“Aku nggak tahu kalau kamu duduk di sini. Padahal tadinya aku mau jalan sampai ke ujung,” ujarku sambil menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.

Dia melepaskan derai tawa di udara. Tawa yang begitu renyah sehingga aku terpikir untuk mengabadikannya dengan kamera.

Usai tawa itu, suasana di sekitar kami berubah canggung. Aku terpikir untuk membuka satu percakapan, tapi tidak tahu harus memulai dari mana.

Kudengar dia bertanya, “Kemarin lancar ketemu sama editor-nya?”

Aku menganggukkan kepala dan bercerita mengenai perjalananku dari mulai duduk di dalam gerbong KRL menuju Stasiun Lenteng Agung, sampai keluar dari kantor penerbit.

“Editor-nya bahkan kasih tantangan tiga puluh hari menulis. Kami udah brainstorming kemarin,” ulasku bersemangat. “Aku ambil setting tempatnya di Bangka dan harus riset tentang suku-suku apa aja yang ada di sana.”

“Kamu asli sana, harusnya itu nggak bakal bikin kamu kesulitan.” Dia menatapku lekat-lekat. Sepasang bola mata berwarna cokelat cerah itu seakan mengajakku tenggelam ke dasar sana.

Teringat pada sesuatu yang hendak kusampaikan padanya. “Aku dapat tawaran kerja di Bali, di bagian pemasaran hotel. Katanya sih hotel itu baru beroperasi setahun. Jadi butuh tenaga kerja yang bisa dipercaya.”

“Pemasaran?” Kedua alis tebalnya mengerut. “Menyimpang banget dari passion kamu, Ray.”

“Aku tahu. Makanya aku belum berani mengiyakan tawaran itu,” ujarku terus terang. “Kamu tahu sendiri, Bali berbeda dengan Jakarta. Budayanya cenderung kebarat-baratan.” Klub malam, bisnis prostitusi yang tersembunyi, ancaman para teroris; sepertinya semua alasan itu terasa cukup bagiku untuk tidak berkarier di Bali.
  
Apa pun yang pilihan yang kamu ambil, aku selalu dukung yang terbaik untuk kamu.”

“Terima kasih, Awan.”

Kepalaku tertunduk dalam, menyadari bahwa dia tidak perlu mengucapkan hal itu kepadaku. Karena pada akhirnya, semua itu tak berarti apa-apa. Kebaikan yang dia miliki sudah tercurah sepenuhnya untuk orang lain.

Dan orang lain itu bukan aku.

Aku sudah tahu begitu banyak tanpa harus mendengar kisah apa pun dari dia. Semua sajak yang dia tulis selalu dipersembahkan untuk orang yang mencintainya sejak lama. Seseorang yang sudi berkorban untuk dia dalam kondisi tersulit sekalipun.

Keheningan yang menggantung di antara kami seketika buyar saat kudengar ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari seseorang.

Awan memandang layar ponselnya tanpa berkedip. Isi pesan itu berhasil menyedot hampir seluruh perhatiannya. Namun, dia tak menunjukkan tanda-tanda untuk mengirim sebuah pesan balasan. 

Ragu-ragu aku bertanya, “Siapa, Wan?”

“Linda,” ujarnya lirih. “Aku harus pulang sekarang, Ray.”

Seharusnya aku tidak perlu bertanya sesuatu yang terdengar bodoh seperti pertanyaanku barusan.
Seharusnya aku sudah tahu dari awal, pengirim pesan itu adalah kekasihnya. Seorang pacar akan senantiasa membuat ponsel kita berdering 24 jam dalam sehari – 7 kali dalam seminggu.

Aku mendongakkan kepala sewaktu dia mulai beranjak dari duduknya. Menyampirkan ranselnya di bahu tanpa mau melirikku sedikit pun.

“Aku pulang, ya.”

“Hati-hati,” balasku dengan suara bergetar.

Awan perlahan melangkahkan kakinya. Punggungnya semakin terlihat menjauh. Menaiki sejumlah anak tangga dan menghampiri seseorang yang sedang menantinya di bibir jalan.

Seseorang yang menjadi tempatnya untuk berpulang.

Langit kota Bandung satu jam lebih gelap. Warna jingga tumpah di sepanjang cakrawala. Senja kini semakin tua. Kekagumanku terhadap dirinya pun terasa sia-sia.

***

Dear Awan...
You – you alone will have the stars as no one else has them
In one of the stars I shall be living
In one of them I shall be laughing
And so it will be as if all the stars were laughing, when you look at the sky at the night
You – only you – will have stars that can laugh.

Sincerely, Rayna
Senin, 02 Februari 2015

Chapter 1 - Problem

Tidak ada yang berbeda dengan ruang rapat ini. Semuanya masih tampak sama. Dimulai dari meja kayu mahoni yang selalu ditempati orang-orang dengan wajah mengantuk, tumpukan kertas dan cangkir-cangkir berisi ampas kopi, sampai suasana hening yang menggantung di menit-menit terakhir. 

Pendingin udara di dalam ruangan ini telah dinyalakan. Tapi entah kenapa, aku tetap merasa kepanasan. Terlebih ketika aku melirik ke arah Uki yang sedang memeriksa konsep photoshoot rancanganku. Jantungku berguncang semakin cepat, berharap-harap cemas. Sampai pada akhirnya – 

“Draf lo kacau!”

Keheningan di ruangan ini makin mencekam ketika Uki melempar helai demi helai print-out sketsaku ke tengah meja rapat. Beberapa orang di sekelilingku mendadak tercenung. Tidak ada satu pun di antara mereka yang bersedia melayangkan opini atau gagasan penudukung meskipun kami berada dalam tim yang sama.

Uki, selaku Direktur Kreatif, berpikir hasil kerja kerasku masih belum dapat memenuhi standar yang dia harapkan.

“Udah berapa kali gue bilang, photoshoot di pantai is so boring. Bukan zamannya lagi!” Uki mengimbas dengan suara lantang, “Coba deh, gue mau dengar alasan kenapa kita harus setuju sama pemilihan tempat lo!”

“Kita butuh konsep foto yang jelas, bukan yang asal jadi kayak gitu!” Uki melanjutkan dengan suara lantang yang tak kunjung mereda.

Aku meraih lembar-lembar kertas yang berserakan di atas meja rapat, berusaha menjawab meskipun alasanku terdengar bodoh, “Ya – tujuannya sih biar pembaca tahu, Indonesia punya tempat wisata seeksotis itu.”

“Kenapa lo nggak bikin majalah travelling aja sekalian?” celetuk Andhika tiba-tiba, disusul dengan gemerincing tawanya di udara.

Aku menekuni kembali drafku dengan saksama. Menyaksikan guratan pensil yang aneh, kombinasi wardrobe dan paduan warna yang kacau, ragam deskripsi yang antah-berantah, ditambah lagi coretan kecil yang tercantum di mana-mana. Kurasa poin-poin itulah yang akhirnya membuatku sadar, betapa hinanya karyaku yang menjijikkan ini.

“Dam, ayolah. Kita bukan mau photoshoot untuk bikini sama pakaian underwear. Lo tahu sendiri kan urban fashion itu gimana? You’ve been there before!

“Majalahnya bakal terbit awal bulan depan. Sementara kita masih belum serahin portfolio final sama isi artikel ke pihak redaksi.” Itu suara Bian, salah satu rekan dari departemen penjualan.

Mulutku terkunci rapat. Sementara itu aku mulai membayangkan deadline yang masih tersisa tiga minggu lagi. Betapa tiga minggu itu dapat terasa sangat cepat tanpa kita sadari. 

“Draf Andhika udah beres. Draf Sissy juga. Punya elo aja yang belum!” tambah Uki, terlihat sedang menahan kekesalannya. “Selama ini elo ngapain aja?”

Aku merenungi kalimat Uki barusan, menerjemahkannya ke dalam satu kalimat sederhana yang berarti; di mana otak lo, Adaaaam?

Dan saat aku merasa jengah atas segala tudingan dan spekulasi ini, aku pun bergumam demi membela diri, “Tapi kan, itu bukan sepenuhnya kesalahan gue.”

“Lah? Bisa banget lo berpikir kayak gitu sedangkan lo bertanggung jawab penuh atas tugas ini?”

“Jenny kan ada. Seenggaknya kalo gue keteteran, dia bisa kasih backup juga dong.” Ucapanku serta merta membuat gadis berkuncir kuda di ujung sana tertoleh, matanya membelalak sebesar piring seakan tidak menerima perkataanku barusan. Kemudian aku menambahkan, “Lagian, Nanda juga dapet di bagian wardrobe, kan?”

“Beda departemennya! Jenny di bagian ilustrasi. Urusan dia ya – antara gue sama tim editor. Nanda sibuk ngurusin wardrobe, talent, sama urusan perizinan. Dia nggak punya akses untuk campur project lo.” Uki menyahut, naik pitam. “Jadi, lo nggak bisa seenaknya limpahin kesalahan lo ke mereka, Dam!”

Aku membatu. Perutku terasa melilit selagi aneka alasan di kepalaku mendadak tercerai-berai tak bersisa.
Kini, semua mata di ruangan ini tertuju pada sosokku yang benar-benar menyedihkan. Menatapku tajam seolah penuh penghakiman dan siap menjatuhkan hukuman seberat-beratnya. Dan, andai saja ada satu keajaiban, aku sangat berharap dapat menghilang dan lenyap dari hadapan mereka, tanpa perlu berada di situasi seperti ini.

Aku menundukkan wajah sedalam-dalamnya, menahan malu atas satu bentuk ketololan yang baru pertama kali terjadi selama aku menjadi photo stylist dalam tim ini. Sebelumnya aku selalu mampu menangani project seberat apa pun meski sedang berada di bawah tekanan. Teman-teman kerap mengandalkan kemampuanku yang out of the box, yang selalu menciptakan ide-ide unik dan segar. 

Kini, aku tak bisa menajamkan fokus. Pikiranku bercabang ke mana-mana. Penglihatanku pun mendadak buyar.

“Jadi, kapan lo bakal beresin draf-nya?”

“Gue pastikan konsep yang baru bakalan kelar sebelum deadline.” Tidak tahu dari mana suara itu berasal, namun yang harus kulakukan saat ini hanyalah meyakinkan ketujuh pasang mata di sekelilingku bahwa aku sanggup menuntaskan pekerjaan itu.

Kuperhatikan Uki menarik napas dalam-dalam sebelum dia kembali ke kursi putar itu. “Kali ini jangan bikin gue kecewa.” Senang mengetahui dia masih memberiku kesempatan kedua untuk pekerjaan ini. “Tapi kalau lo masih gagal, siap-siap aja kalau Andhika yang bakal menangani project berikutnya. Bukan lo lagi.”

Pada saat yang sama, aku bahagia sekaligus tercengang. Semua orang di ruangan ini pun serta-merta mengarahkan pandangan pada Andhika, satu-satunya orang yang biasa menangani urusan make up dan masalah tata rias talent. Sama sekali tidak sanggup membayangkan jika suatu hari nanti karierku mendadak terhenti hanya karena permasalahan sepele seperti ini.

Jadi, Adam Prawira... bersiaplah! Because the challenge has only just begun!

***

Alih-alih pulang ke rumah untuk beristirahat sambil memikirkan strategi jitu dan mulai menciptakan konsep photoshoot yang terbaru, aku malah menyempatkan diri melipir ke Plaza Semanggi demi memenuhi janji dengan seorang teman lama. 

Dia adalah Rama, maksudku Rahmawati.

Kami sudah berteman sejak lama sejak masih duduk di bangku SMP. Sebelumnya, kami jarang sekali bertemu. Karena setelah lulus dari SMP, aku dan Rama sama-sama lost contact. Namun, baru-baru ini Rama menemukanku di Twitter. Mulai dari situlah, pertemanan kami kembali terjalin.

Rahmawati adalah perempuan dengan penampilan maskulin. Potongan rambutnya selalu trendi, pendek dan tercukur rapi. Tingkah lakunya pun menyerupai seorang preman pasar – gahar dan memiliki tubuh yang cukup kekar. Itulah sebabnya, kenapa orang-orang lebih mengenal dia sebagai Rama, bukan Rahmawati.

Dan kalau bukan karena alasan pertemanan, percayalah, aku lebih baik mendekam di dalam kamarku semalaman dan menuntaskan apa yang seharusnya menjadi tanggung jawabku.

“Serius lo digituin?” tanya Rama dengan mata membelalak penuh. Ekspresi mukanya menunjukkan rasa tidak percaya seusai mendengar cerita yang menyangkut pekerjaanku.

Aku mengangguk tanpa suara. Mataku mengitari ke sekitar, menyaksikan para penghuni SAS Cafe yang sedang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Sementara, sebagian pikiranku masih tertinggal di kantor, teringat bagaimana draf rancanganku ditolak secara terang-terangan.

“Kok bisa-bisanya, sih? Bukannya elo dikenal sebagai anak emas sama temen-temen elo?” Rama kembali memprotes, seusai menyeruput Virgin Fruit Punch-nya. “Bahkan setahu gue, lo nggak pernah punya problem sefatal ini sebelumnya, kan?”

Sebetulnya memang begitu. Hanya saja, keadaannya kini telah berubah. Aku bukan lagi Adam yang selalu berpikir dan bertindak rasional. Seisi kepalaku hanya dipenuhi bayang-bayang Texas. Sosoknya yang sulit kugapai justru membuat keadaanku semakin tertekan.

Aku sendiri sempat berpikir, barangkali selama dua tahun terakhir ini aku seperti seonggok mayat hidup. Tidak mati, tapi tidak benar-benar hidup.

“Lo tahu, kadang-kadang gue sering berpikir buat resign aja. Jadi, gue bisa free tanpa perlu dikelilingi tugas dan orang-orang itu lagi.”

“Dam, cari kerja di Jakarta tuh susahnya minta ampun. Lo punya ijazah dan sertifikat dari perguruan tinggu pun nggak bisa jadi jaminan.” Dia menatapku lekat-lekat, ucapannya terdengar penuh penekanan. “Lo nggak tahu sadar betapa banyak pendatang dari luar daerah yang berlomba-lomba cari kerja di sini?”

Jakarta – sebuah kota sempit yang memiliki populasi penduduk di atas rata-rata, jumlah pengangguran semakin bertambah, dan lonjakan angka kelahiran pun kian hari kian tak terkira. Aku sendiri tidak mengerti apa yang akan terjadi pada kota ini dua puluh atau tiga puluh tahun kemudian.

“Resign atau cari kerja baru bukan solusi. Itu sama aja kayak lo dapet masalah, tapi yang bisa lo lakuin cuma lari dan cari tempat sembunyi.”

Ucapan Rama praktis membuatku terenyuh yang sejak tadi lebih memilih bungkam. Aku pernah mendengar kalimat serupa sebelumnya.

When you run from your problems, the location may changed, but your problems will be right there waiting for you.

Begitu bunyinya lebih kurang.

Rama kemudian bercerita apa yang akan kujalani apabila aku sampai bersikeras mengundurkan diri. Aku harus menjalani rutinitas membosankan; membuat resume semenarik mungkin, keluar masuk ruang interview, melewati sejumlah tes ini-itu, lalu menunggu keputusan yang tak pasti. 

Jauh lebih sengsara jika aku mau berusaha lebih giat untuk menuntaskan apa yang sepatutnya menjadi kewajibanku.

“Lagian kalau cuma masalah ide, ngapain elo mesti pusing-pusing, sih? Ide bisa datang di saat yang nggak diketahui, kok.”

Kami terdiam sejenak. Sementara Rama kembali menekuni minumannya, aku melayangkan tatapan ke hamparan gedung yang menjulang tinggi. Kota ini sudah terlalu sesak oleh keberadaan tower pencakar langit dan aneka hunian bertingkat di sana-sini. Lalu lintas pun semakin semrawut.

Selanjutnya kudengar dia berkata, “Lo masih ingat Prisil, kan?”

Tentu saja. Gadis berkulit sawo matang dengan rambut lurus sebahu. Rama pernah mengenalkannya padaku beberapa bulan lalu. Dia juga berkisah mengenai hubungan keduanya yang terjalin selama 5 tahun terakhir. Itu terjadi pada tahun pertama mereka di perguruan tinggi.

Kisah klise seperti yang kualami dengan Texas.

Dan seperti orang-orang normal pada umumnya, Rama dan Prisil memang kerap diterpa masalah selama berpacaran. Putus-nyambung sudah menjadi hal lumrah. Pernah bertengkar sampai salah satu di antara mereka minggat ke luar kota. Aku jadi tidak heran jika mendapati keduanya kembali bermesraan setelah insiden putus-memutus itu.

“Kenapa dia?”

Rama membuang asap rokok dari mulutnya, menyodorkan layar ponselnya yang menampilkan sosok Prisil tengah berpose mesra dengan seorang pria – bukan, maksudku Buchi[1][1] – di sebuah ranjang besar seperti di hotel. Keduanya berada di dalam selimut yang sama, menutupi wilayah dada mereka dan tersenyum ke arah kamera. 

“Ini – Prisil sama pacar barunya?” tanyaku terbata-bata.

Rama menggeleng lesu. “Mantan dia pas zaman SMA.”

Mengalirlah sebuah cerita bagaimana Rama bisa sampai menemukan foto itu. Semua berawal dari Prisil yang mendadak ingin mengakhiri hubungan mereka. Padahal hubungan mereka baik-baik saja belakangan ini. Rama bersikukuh mencari tahu apa penyebab utama sehingga Prisil mempunyai gagasan yang demikian. Barangkali ada alasan yang lebih spesifik.

Foto itu sendiri ditemukan Rama di salah satu album foto akun Facebook milik Prisil. Spekulasi mulai bermunculan. Rama pun menghujani Prisil dengan sejumlah tudingan tanpa memberinya kesempatan untuk menjelaskan. Berpikir bahwa penyebab kerenggangan hubungan mereka karena ulah sang mantan.

“BBM gue langsung dihapus, akun sosmed gue semuanya di-block sama dia,” tutur Rama, membuat pengakuan. 

"Cewek emang gitu kalau lagi emosian. Harusnya sih lo nggak perlu kelewat insecure, Ram.” Bagaimanapun juga, aku masih mengerti apa yang diinginkan oleh perempuan. Mereka hanya mau didengar dan diberi pelukan ketika kondisi hatinya sedang berantakan.

“Gimana gue nggak emosi? Lo aja kalau di posisi gue pasti susah berpikir rasional.” Matanya berpendar sedih. Seluruh luka, kecewa, dan kepiluan itu seolah berkumpul menjadi satu. “Yang paling parah, ada satu kalimat dia yang menohok banget.”

Aku berusaha menebak, “Lo terlalu baik sama gue?” Mengingat itu adalah kalimat usang yang seringkali diucapkan seseorang saat hendak menyudahi suatu hubungan.

“Dia bilang – “ Rama berhenti sejenak, menetralkan derap napasnya sebelum melanjutkan, “Sampai kapan gue mau kayak gini terus?”

Aku tertegun mendengar pengucapan Rama. Semua itu seperti memecutku dan membuatku berpikir, mau berapa lama menjalani hidup sebagai seorang gay? 

“Lo jawab apa?” tanggapku, penasaran.

Rama hanya menggeleng. Tidak terlalu yakin gelengan itu karena dia tidak berkenan memaparkan jawaban atau tidak mengiyakan pertanyaan Prisil. Dia hanya berkata, “Gue sih pengin lurus. Pengin banget. Tapi entah kenapa, rasanya susah aja.”

Aku memahami betul bagaimana kekalutan yang dirasakan Rama saat ini. Sebelumnya aku pernah berada di posisi dia, pernah merasakan apa yang dia rasakan. Berusaha menjauhi Texas dan mengabaikan pesonanya, hanya karena sebagian orang beranggapan menjadi seorang gay adalah pilihan yang salah.
Padahal kenyataannya, being gay is not a choice.

It’s a gift.

“Gue juga pengin kayak cewek-cewek di luar sana, Dam. Berpenampilan feminin, nikah sama cowok, melahirkan dan punya anak, punya rumah tangga. Lo juga gitu, kan?”

Milyaran tanda tanya semakin giat menghantam kepalaku, seakan-akan mendesakku membuat satu pernyataan yang sekiranya dapat memperkuat pendirianku. Tapi, satu jawaban pun tak kudapati. Logikaku mendadak lumpuh.

“Lo sendiri kapan mau jadi straight?”

Lagi-lagi, aku tak menyahut. Bukan karena aku takut membuat keputusan yang menyangkut masa depan, tapi karena kapasitas pikiranku tidak sanggup menjangkau lebih jauh topik pembahasan kami.

Walhasil, aku hanya mengedikkan bahu, tidak tahu harus membubuhi jawaban seperti apa lagi.[]