“Alungkeun ka dieu atuh, Bray!”
Lengkingan suara yang cukup
nyaring itu membuatku spontan menoleh ke belakang. Menyaksikan seorang anak kecil berambut cepak
yang tengah menanti kehadiran bola dari temannya. Benda bundar berwarna putih
itu melambung cukup tinggi sampai akhirnya mendarat dengan selamat. Dia berlari
ke sana kemari hanya untuk mencetak gol di gawang lawan.
“Goooool!!!!” Bocah lelaki yang
mengenakan kaus Madrid itu berteriak kegirangan selagi tangannya teracung di
udara. Ketiga anak yang satu tim dengannya ikut merayakan kemenangan.
Aku jadi teringat seseorang yang
pernah berkata bahwa bahagia itu sangat
sederhana. Kau tidak perlu keliling dunia kalau ada hal kecil di sekitarmu yang
bisa membuatmu tersenyum.
Angin berembus pelan meniup
wajahku. Arloji yang melilit di pergelangan tanganku menunjukkan pukul empat
lebih tiga puluh menit. Hari sudah semakin petang, dan tempat ini masih
terlihat ramai. Sebagian orang ada yang tengah duduk di tangga Monumen
Perjuangan, sebagian lagi lebih memilih jogging
di area taman.
Seekor anjing Golden Retriever
melintas di depanku bersama pemiliknya. Mereka singgah di salah satu sudut yang
ditumbuhi kembang sepatu berwarna-warni. Kilau matahari sore menyeruak di
antara celah-celah pelepah pohon pinang. Aku lekas menenggelamkan buku The
Street Lawyer ke dalam ransel dan beranjak bangkit dari kursi besi yang
kududuki. Sepasang kakiku mulai melangkah menuju pintu keluar.
Di seberang sana Lapangan Gasibu.
Namun jalanan tampak padat oleh sejumlah kendaraan yang sibuk berlalu lalang.
Jam-jam seperti ini adalah jam di mana bunyi klakson saling beradu dengan caci
maki para pengguna lainnya.
Aku tidak pernah mahir dalam
urusan menyeberang jalan. Keramaian dan lalu lintas yang rumit selalu membuat
ketakutanku semakin parah. Dan sewaktu aku hinggap di sebuah pembatas jalan
yang memisah dua ruas jalan, satu pesan baru muncul di layar ponselku.
Kamu
di mana? Aku udah d Lapangan Gasibu.
Dadaku seakan bergemuruh. Aku
mendadak diserang rasa takut dan bahagia secara bersamaan. Dan selama beberapa
saat, aku masih berdiri di sana mengamati lalu lintas.
***
Kami pertama kali berkenalan di
sebuah komunitas menulis online. Setiap
anggota diberi akses untuk mengunggah tulisan mereka, memberi komentar pada post anggota yang lain, sekaligus
menambah teman ke dalam friendlist.
Itu terjadi sekitar dua tahun
yang lalu.
Aku lupa tanggal berapa tepatnya.
Tapi seingatku, itu adalah pertengahan bulan Juni. Aku baru saja mengunggah
tulisanku yang berjudul City Of Tears. Cerpen itu bercerita tentang seorang perempuan
yang berjuang mencari cinta sejatinya di kota Paris, namun berakhir dengan air
mata. Terdengar tragis memang.
Komentar pertama datang dari
seorang pemilik akun yang tak kukenal sebelumnya. Dia terpukau oleh alur
ceritaku yang unpredictable. Dia juga
mengaku bahwa tulisanku tidak melankolis sama sekali, meskipun kisahnya sangat
menyentuh.
Orang itu bernama Awan, mahasiswa
tingkat pertama di sebuah Universitas Islam di Bandung. Awalnya aku menduga dia
satu tahun di atasku, atau barangkali kami seumuran. Tapi justru dia lebih muda
setahun.
Aku dan Awan menjaga komunikasi
lewat Yahoo Messenger dan e-mail.
Sekadar bercerita mengenai sajak yang sedang ditulisnya, saling berbagi ide dan
advice satu sama lain, bahkan tak
jarang dia memberiku semangat untuk lekas menuntaskan naskah novelku. Semua itu
terus berjalan sampai suatu ketika –
Awan menuliskan nomor ponselnya di sebuah surel tanpa subjek.
Setiap sajak yang dia tulis
kukagumi dengan caraku sendiri.Tulisannya begitu sederhana, namun sanggup
membuat orang jatuh cinta. Itulah yang terjadi padaku saat membaca sajaknya
yang diberi judul ‘Ruang’. Pada salah salah satu bait, ada kalimat yang
berbunyi; aku lebih suka
waktu berjalan apa adanya. Tidak begitu cepat seperti saat aku dengannya, tidak
juga terlalu lambat ketika aku tak bersamanya.
Tanpa pernah aku sadari, waktu
telah mengubah kekaguman itu menjadi rasa suka yang tak biasa.
***
Kalau
ketemu orang pake jaket jins bawa ransel hijau tua, tegur aja.
Pesan itu telah terkirim sejak
aku tiba di Lapangan Gasibu. Mengedarkan pandangan ke sekitar sambil menempelkan
ponsel di telingaku. Nomornya mendadak tidak aktif, sementarakakiku terus
terayun di atas halaman ber-paving. Sesekali menoleh ke sana kemari hanya
untuk memastikan dia benar-benar berada di sini.
“Rayna!”
Terdengar seseorang memanggil
namaku dari arah belakang. Sebuah suara yang belum pernah kukenal sebelumnya.
Aku praktis membalikkan badan.
Mematung sejenak saat aku berhasil menemukan si pemilik suara itu.
Dia benar-benar berada di sana.
Duduk seorang diri di atas bangku semen. Kemeja cokelat membungkus tubuh
tegapnya. Tersenyum ke arahku seakan-akan memanggilku untuk segera mendekat.
Aku menuju bangku itu dengan
perasaan tak keruan. Mengambil posisi duduk di sebelahnya sambil mengulurkan
jabat tangan. Dan sewaktu kulit kami bersentuhan, aku dapat merasakan rasa geli
dan sensasi aneh yang menjalar di sekujur tubuhku.
“Kamu kebingungan banget tadi,”
gumamnya tiba-tiba.
“Aku nggak tahu kalau kamu duduk
di sini. Padahal tadinya aku mau jalan sampai ke ujung,” ujarku sambil
menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.
Dia melepaskan derai tawa di
udara. Tawa yang begitu renyah sehingga aku terpikir untuk mengabadikannya
dengan kamera.
Usai tawa itu, suasana di sekitar
kami berubah canggung. Aku terpikir untuk membuka satu percakapan, tapi tidak
tahu harus memulai dari mana.
Kudengar dia bertanya, “Kemarin
lancar ketemu sama editor-nya?”
Aku menganggukkan kepala dan
bercerita mengenai perjalananku dari mulai duduk di dalam gerbong KRL menuju
Stasiun Lenteng Agung, sampai keluar dari kantor penerbit.
“Editor-nya bahkan kasih
tantangan tiga puluh hari menulis. Kami udah brainstorming kemarin,” ulasku bersemangat. “Aku ambil setting tempatnya di Bangka dan harus
riset tentang suku-suku apa aja yang ada di sana.”
“Kamu asli sana, harusnya itu
nggak bakal bikin kamu kesulitan.” Dia menatapku lekat-lekat. Sepasang bola mata
berwarna cokelat cerah itu seakan mengajakku tenggelam ke dasar sana.
Teringat pada sesuatu yang hendak
kusampaikan padanya. “Aku dapat tawaran kerja di Bali, di bagian pemasaran
hotel. Katanya sih hotel itu baru beroperasi setahun. Jadi butuh tenaga kerja
yang bisa dipercaya.”
“Pemasaran?” Kedua alis tebalnya mengerut.
“Menyimpang banget dari passion kamu,
Ray.”
“Aku tahu. Makanya aku belum berani
mengiyakan tawaran itu,” ujarku terus terang. “Kamu tahu sendiri, Bali berbeda
dengan Jakarta. Budayanya cenderung kebarat-baratan.” Klub malam, bisnis prostitusi yang tersembunyi, ancaman para teroris;
sepertinya semua alasan itu terasa cukup bagiku untuk tidak berkarier di Bali.
“Apa pun yang pilihan yang
kamu ambil, aku
selalu dukung yang terbaik untuk kamu.”
“Terima kasih, Awan.”
Kepalaku tertunduk dalam,
menyadari bahwa dia tidak perlu mengucapkan hal itu kepadaku. Karena pada
akhirnya, semua itu tak berarti apa-apa. Kebaikan yang dia miliki sudah
tercurah sepenuhnya untuk orang lain.
Dan orang lain itu bukan aku.
Aku sudah tahu begitu banyak
tanpa harus mendengar kisah apa pun dari dia. Semua sajak yang dia tulis selalu
dipersembahkan untuk orang yang mencintainya sejak lama. Seseorang yang sudi
berkorban untuk dia dalam kondisi tersulit sekalipun.
Keheningan yang menggantung di
antara kami seketika buyar saat kudengar ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk
dari seseorang.
Awan memandang layar ponselnya
tanpa berkedip. Isi pesan itu berhasil menyedot hampir seluruh perhatiannya.
Namun, dia tak menunjukkan tanda-tanda untuk mengirim sebuah pesan balasan.
Ragu-ragu aku bertanya, “Siapa,
Wan?”
“Linda,” ujarnya lirih. “Aku
harus pulang sekarang, Ray.”
Seharusnya aku tidak perlu
bertanya sesuatu yang terdengar bodoh seperti pertanyaanku barusan.
Seharusnya aku sudah tahu dari
awal, pengirim pesan itu adalah kekasihnya. Seorang pacar akan senantiasa
membuat ponsel kita berdering 24 jam dalam sehari – 7 kali dalam seminggu.
Aku mendongakkan kepala sewaktu
dia mulai beranjak dari duduknya. Menyampirkan ranselnya di bahu tanpa mau
melirikku sedikit pun.
“Aku pulang, ya.”
“Hati-hati,” balasku dengan suara
bergetar.
Awan perlahan melangkahkan
kakinya. Punggungnya semakin terlihat menjauh. Menaiki sejumlah anak tangga dan
menghampiri seseorang yang sedang menantinya di bibir jalan.
Seseorang
yang menjadi tempatnya untuk berpulang.
Langit kota Bandung satu jam
lebih gelap. Warna jingga tumpah di sepanjang cakrawala. Senja kini semakin
tua. Kekagumanku terhadap dirinya pun terasa sia-sia.
***
Dear
Awan...
You
– you alone will have the stars as no one else has them
In
one of the stars I shall be living
In
one of them I shall be laughing
And
so it will be as if all the stars were laughing, when you look at the sky at
the night
You
– only you – will have stars that can laugh.
Sincerely,
Rayna
Be First to Post Comment !
Posting Komentar