Write. Anywhere. Anytime.

Sabtu, 14 Februari 2015

Pertemuan Pertama (Perkara Senja Di Kota Bandung)

Alungkeun ka dieu atuh, Bray!”

Lengkingan suara yang cukup nyaring itu membuatku spontan menoleh ke belakang.  Menyaksikan seorang anak kecil berambut cepak yang tengah menanti kehadiran bola dari temannya. Benda bundar berwarna putih itu melambung cukup tinggi sampai akhirnya mendarat dengan selamat. Dia berlari ke sana kemari hanya untuk mencetak gol di gawang lawan.

“Goooool!!!!” Bocah lelaki yang mengenakan kaus Madrid itu berteriak kegirangan selagi tangannya teracung di udara. Ketiga anak yang satu tim dengannya ikut merayakan kemenangan.

Aku jadi teringat seseorang yang pernah berkata bahwa bahagia itu sangat sederhana. Kau tidak perlu keliling dunia kalau ada hal kecil di sekitarmu yang bisa membuatmu tersenyum.

Angin berembus pelan meniup wajahku. Arloji yang melilit di pergelangan tanganku menunjukkan pukul empat lebih tiga puluh menit. Hari sudah semakin petang, dan tempat ini masih terlihat ramai. Sebagian orang ada yang tengah duduk di tangga Monumen Perjuangan, sebagian lagi lebih memilih jogging di area taman.

Seekor anjing Golden Retriever melintas di depanku bersama pemiliknya. Mereka singgah di salah satu sudut yang ditumbuhi kembang sepatu berwarna-warni. Kilau matahari sore menyeruak di antara celah-celah pelepah pohon pinang. Aku lekas menenggelamkan buku The Street Lawyer ke dalam ransel dan beranjak bangkit dari kursi besi yang kududuki. Sepasang kakiku mulai melangkah menuju pintu keluar.

Di seberang sana Lapangan Gasibu. Namun jalanan tampak padat oleh sejumlah kendaraan yang sibuk berlalu lalang. Jam-jam seperti ini adalah jam di mana bunyi klakson saling beradu dengan caci maki para pengguna lainnya. 

Aku tidak pernah mahir dalam urusan menyeberang jalan. Keramaian dan lalu lintas yang rumit selalu membuat ketakutanku semakin parah. Dan sewaktu aku hinggap di sebuah pembatas jalan yang memisah dua ruas jalan, satu pesan baru muncul di layar ponselku.

Kamu di mana? Aku udah d Lapangan Gasibu.

Dadaku seakan bergemuruh. Aku mendadak diserang rasa takut dan bahagia secara bersamaan. Dan selama beberapa saat, aku masih berdiri di sana mengamati lalu lintas.

***

Kami pertama kali berkenalan di sebuah komunitas menulis online. Setiap anggota diberi akses untuk mengunggah tulisan mereka, memberi komentar pada post anggota yang lain, sekaligus menambah teman ke dalam friendlist.

Itu terjadi sekitar dua tahun yang lalu.

Aku lupa tanggal berapa tepatnya. Tapi seingatku, itu adalah pertengahan bulan Juni. Aku baru saja mengunggah tulisanku yang berjudul City Of Tears. Cerpen itu bercerita tentang seorang perempuan yang berjuang mencari cinta sejatinya di kota Paris, namun berakhir dengan air mata. Terdengar tragis memang.

Komentar pertama datang dari seorang pemilik akun yang tak kukenal sebelumnya. Dia terpukau oleh alur ceritaku yang unpredictable. Dia juga mengaku bahwa tulisanku tidak melankolis sama sekali, meskipun kisahnya sangat menyentuh.

Orang itu bernama Awan, mahasiswa tingkat pertama di sebuah Universitas Islam di Bandung. Awalnya aku menduga dia satu tahun di atasku, atau barangkali kami seumuran. Tapi justru dia lebih muda setahun.

Aku dan Awan menjaga komunikasi lewat Yahoo Messenger dan e-mail. Sekadar bercerita mengenai sajak yang sedang ditulisnya, saling berbagi ide dan advice satu sama lain, bahkan tak jarang dia memberiku semangat untuk lekas menuntaskan naskah novelku. Semua itu terus berjalan sampai suatu ketika –  Awan menuliskan nomor ponselnya di sebuah surel tanpa subjek.

Setiap sajak yang dia tulis kukagumi dengan caraku sendiri.Tulisannya begitu sederhana, namun sanggup membuat orang jatuh cinta. Itulah yang terjadi padaku saat membaca sajaknya yang diberi judul ‘Ruang’. Pada salah salah satu bait, ada kalimat yang berbunyi; aku lebih suka waktu berjalan apa adanya. Tidak begitu cepat seperti saat aku dengannya, tidak juga terlalu lambat ketika aku tak bersamanya.
Tanpa pernah aku sadari, waktu telah mengubah kekaguman itu menjadi rasa suka yang tak biasa.

***

Kalau ketemu orang pake jaket jins bawa ransel hijau tua, tegur aja.

Pesan itu telah terkirim sejak aku tiba di Lapangan Gasibu. Mengedarkan pandangan ke sekitar sambil menempelkan ponsel di telingaku. Nomornya mendadak tidak aktif, sementarakakiku terus terayun di atas halaman ber­-paving. Sesekali menoleh ke sana kemari hanya untuk memastikan dia benar-benar berada di sini.

“Rayna!”

Terdengar seseorang memanggil namaku dari arah belakang. Sebuah suara yang belum pernah kukenal sebelumnya.

Aku praktis membalikkan badan. Mematung sejenak saat aku berhasil menemukan si pemilik suara itu.
Dia benar-benar berada di sana. Duduk seorang diri di atas bangku semen. Kemeja cokelat membungkus tubuh tegapnya. Tersenyum ke arahku seakan-akan memanggilku untuk segera mendekat.

Aku menuju bangku itu dengan perasaan tak keruan. Mengambil posisi duduk di sebelahnya sambil mengulurkan jabat tangan. Dan sewaktu kulit kami bersentuhan, aku dapat merasakan rasa geli dan sensasi aneh yang menjalar di sekujur tubuhku.

“Kamu kebingungan banget tadi,” gumamnya tiba-tiba.

“Aku nggak tahu kalau kamu duduk di sini. Padahal tadinya aku mau jalan sampai ke ujung,” ujarku sambil menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.

Dia melepaskan derai tawa di udara. Tawa yang begitu renyah sehingga aku terpikir untuk mengabadikannya dengan kamera.

Usai tawa itu, suasana di sekitar kami berubah canggung. Aku terpikir untuk membuka satu percakapan, tapi tidak tahu harus memulai dari mana.

Kudengar dia bertanya, “Kemarin lancar ketemu sama editor-nya?”

Aku menganggukkan kepala dan bercerita mengenai perjalananku dari mulai duduk di dalam gerbong KRL menuju Stasiun Lenteng Agung, sampai keluar dari kantor penerbit.

“Editor-nya bahkan kasih tantangan tiga puluh hari menulis. Kami udah brainstorming kemarin,” ulasku bersemangat. “Aku ambil setting tempatnya di Bangka dan harus riset tentang suku-suku apa aja yang ada di sana.”

“Kamu asli sana, harusnya itu nggak bakal bikin kamu kesulitan.” Dia menatapku lekat-lekat. Sepasang bola mata berwarna cokelat cerah itu seakan mengajakku tenggelam ke dasar sana.

Teringat pada sesuatu yang hendak kusampaikan padanya. “Aku dapat tawaran kerja di Bali, di bagian pemasaran hotel. Katanya sih hotel itu baru beroperasi setahun. Jadi butuh tenaga kerja yang bisa dipercaya.”

“Pemasaran?” Kedua alis tebalnya mengerut. “Menyimpang banget dari passion kamu, Ray.”

“Aku tahu. Makanya aku belum berani mengiyakan tawaran itu,” ujarku terus terang. “Kamu tahu sendiri, Bali berbeda dengan Jakarta. Budayanya cenderung kebarat-baratan.” Klub malam, bisnis prostitusi yang tersembunyi, ancaman para teroris; sepertinya semua alasan itu terasa cukup bagiku untuk tidak berkarier di Bali.
  
Apa pun yang pilihan yang kamu ambil, aku selalu dukung yang terbaik untuk kamu.”

“Terima kasih, Awan.”

Kepalaku tertunduk dalam, menyadari bahwa dia tidak perlu mengucapkan hal itu kepadaku. Karena pada akhirnya, semua itu tak berarti apa-apa. Kebaikan yang dia miliki sudah tercurah sepenuhnya untuk orang lain.

Dan orang lain itu bukan aku.

Aku sudah tahu begitu banyak tanpa harus mendengar kisah apa pun dari dia. Semua sajak yang dia tulis selalu dipersembahkan untuk orang yang mencintainya sejak lama. Seseorang yang sudi berkorban untuk dia dalam kondisi tersulit sekalipun.

Keheningan yang menggantung di antara kami seketika buyar saat kudengar ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari seseorang.

Awan memandang layar ponselnya tanpa berkedip. Isi pesan itu berhasil menyedot hampir seluruh perhatiannya. Namun, dia tak menunjukkan tanda-tanda untuk mengirim sebuah pesan balasan. 

Ragu-ragu aku bertanya, “Siapa, Wan?”

“Linda,” ujarnya lirih. “Aku harus pulang sekarang, Ray.”

Seharusnya aku tidak perlu bertanya sesuatu yang terdengar bodoh seperti pertanyaanku barusan.
Seharusnya aku sudah tahu dari awal, pengirim pesan itu adalah kekasihnya. Seorang pacar akan senantiasa membuat ponsel kita berdering 24 jam dalam sehari – 7 kali dalam seminggu.

Aku mendongakkan kepala sewaktu dia mulai beranjak dari duduknya. Menyampirkan ranselnya di bahu tanpa mau melirikku sedikit pun.

“Aku pulang, ya.”

“Hati-hati,” balasku dengan suara bergetar.

Awan perlahan melangkahkan kakinya. Punggungnya semakin terlihat menjauh. Menaiki sejumlah anak tangga dan menghampiri seseorang yang sedang menantinya di bibir jalan.

Seseorang yang menjadi tempatnya untuk berpulang.

Langit kota Bandung satu jam lebih gelap. Warna jingga tumpah di sepanjang cakrawala. Senja kini semakin tua. Kekagumanku terhadap dirinya pun terasa sia-sia.

***

Dear Awan...
You – you alone will have the stars as no one else has them
In one of the stars I shall be living
In one of them I shall be laughing
And so it will be as if all the stars were laughing, when you look at the sky at the night
You – only you – will have stars that can laugh.

Sincerely, Rayna
Be First to Post Comment !
Posting Komentar