Write. Anywhere. Anytime.

Kamis, 19 Februari 2015

Chapter 3 - Apollo Bar

Setelah sekian lama dan untuk ketiga kalinya, aku mengunjungi Apollo.

Karena entah bagaimana, rumah seolah berubah menjadi tempat yang amat membosankan. Tak ada lagi kenyamanan dan kehangatan. Aku sendiri tidak menyangka jika peristiwa waktu itu bisa membawa dampak buruk terhadap sesuatu yang belum pernah kuprediksi sebelumnya. Papa mulai jarang pulang dan lebih memilih bermukim di rumah dinasnya. Bunda semakin sibuk dengan pekerjaannya di klinik. Sementara itu, aku dapat merasakan hubunganku dengan David semakin menjauh.

Seperti ada tembok besar yang membuat kami lupa satu sama lain.

Aku sepenuhnya sadar, semua itu disebabkan olehku – murni kesalahanku. Fakta sederhana bahwa akulah satu-satunya orang yang menyeret adikku ke dalam masalah. Satu-satunya orang yang terlalu percaya diri untuk tampil di tengah gerombolan anak-anak. Tanpa pernah menebak, mereka pasti memvisualisasikanku sebagai pria lemah lembut dan gemulai.

Dan tujuan utamaku mendatangi tempat ini bukan karena aku hendak menatap warna-warni lampu disko sambil menikmati sebotol bir sampai tak sadarkan diri. Aku hanya ingin menemui Bagas. Sekadar bertatap muka dan menceritakan betapa rumitnya masalah yang muncul akhir-akhir ini. Atau barangkali, Bagas mempunya satu cerita mengenai Texas yang belum pernah kuketahui sebelumnya.

“Bir atau cocktail?” Seorang bartender menghampiriku yang tengah melamun di meja bar. Dia berdiri di sana sambil ber-juggling ria dengan botol shaker-nya.

Aku memandang cowok itu dengan alis mengernyit. Berpikir apakah semua bartender di tempat ini harus mahir beratraksi penuh gaya – memutar, melempar botol di udara, lalu menangkapnya – di depan pelanggannya.

“Nanti aja.”

Tidak butuh waktu lama sampai bartender itu menghampiri pelanggan yang lain di ujung bar. Tiga pria metropolitan dengan setelan trendi yang sibuk jelalatan ke sana kemari. Barangkali sedang mencari mangsa di antara lautan manusia yang tengah asyik berjoget itu.

Mengedarkan pandangan ke sepanjang meja bar selagi aku memulai pencarian. Orang-orang dengan kemeja hitam, slayer hitam terikat di kepala, piercing di telinga – terlihat seperti satu keharusan bagi para bartender itu.

Dalam hati aku bertanya, mengapa Bagas sama sekali tidak terlihat?

“Eh, Bro!” panggilku kepada seorang bartender lain yang tengah mengelap meja kerjanya.

Dia menyampirkan lapnya ke bahu. Menghampiriku dan melempar pertanyaan yang sama, “Bir atau cocktail?”

“Bukan...” Aku menggeleng takjub. “Gue mau cari Bagas. Ada lihat dia nggak?”

“Bagas – “ Dia memutar kedua bola matanya. “Bagas yang mana, ya?”

“Bagas yang kerja di sini, yang jadi bartender,” ujarku sambil mengetuk ujung jari tengah di atas meja bar.

“Waduh, gue kurang tahu, Bro. Gue baru dua bulan kerja di sini masalahnya.”

Musik berdentum semakin keras. Lampu laser bergerak lincah seperti sorotan mercusuar. Aku memperhatikan panggung yang kini mengeluarkan efek asap berwarna-warni. Samar-samar terlihat beberapa pria yang muncul di antara gumpalan asap itu.

Pria-pria berbadan tegap yang hanya mengenakan briefs sebagai pelengkap.

Sorak-sorai penonton melambung di udara menyambut kedatangan mereka. Tentu saja, inilah satu pertunjukan yang ditunggu-tunggu. Tidak ada yang lebih menyenangkan selain menonton aksi seronok para pria nyaris bugil di atas panggung. Tak ada larangan bagi siapa pun yang mau menggoda atau meraba-raba tubuh mereka. Bahkan, ada yang rela merogoh kocek lebih dalam hanya untuk menikmati fasilitas short-time dengan para penari erotis itu.

Aku tiba-tiba teringat seseorang.

“Kalau sama Tommy yang anak go-go boy, lo kenal?” tanyaku setengah berteriak, mencoba menyaingi lagu I Don’t Like You-nya Eva Simons yang di-remix sedemikian oleh DJ.

Tommy kerja di Apollo juga. Semua orang mengenalnya sebagai go-go dancer. Meskipun harus kukatakan – dia juga berprofesi sebagai escort yang biasa dipanggil untuk acara-acara tertentu. Bagas yang mengenalkannya padaku dulu. Selain itu, Tommy pernah memiliki keterkaitan dnegan Texas, di mana keduanya sempat berpacaran untuk waktu yang singkat di masa lalu.

Dan seandainya  aku bertemu Tommy, barangkali dia juga tahu keberadaan Bagas.

“Kurang tahu juga, Bro,” jawabnya polos. “Setahu gue emang banyak dancer lama yang udah pada cabut.”

Aku tertunduk lesu. Meratapi semua agenda yang telah tersusun rapi, namun hancur berantakan dalam waktu kurang dari 1 jam. Tidak ada satu pun dari rencana itu yang berjalan sesuai keinginan. Aku bahkan tidak tahu harus melarikan diri ke mana. Tak ada lagi tempat yang bisa dijadikan persinggahan.

Sebagian besar pengunjung Apollo kini mengerumuni area panggung. Lantai dansa terasa lengang. Mengamati kemeriahan yang berlangsung di atas sana dari kejauhan. Ada empat orang pria muscle bertopi pelaut sedang meliuk-liuk seperti ulat. Tubuh mereka yang dibanjiri keringat tampak berkilauan di bawah sorot lampu. Dua di antara empat orang itu saling berhadapan dan menggerayangi satu sama lain.

Dua tahun lalu, aku pernah menyaksikan pertunjukan serupa di sini. Texas duduk di sebelahku waktu itu, lebih tertarik berbincang dengan Bagas yang baru kukenal dalam hitungan menit. Sesekali Texas menegurku hanya untuk menawarkan minum dan mengajakku bergabung dalam percakapan mereka.

Tapi aku mengabaikan imbauannya. Tak pernah merasa nyaman saat berbincang dengan orang-orang baru.

“Punya lighter?”

Aku tersentak kaget dan praktis menyudahi semua lamunan. Menolehkan kepala pada seorang cowok bertubuh jangkung yang tiba-tiba saja berada di sebelahku. Sebatang rokok putih teracung di antara telunjuk dan jari tengahnya. Dia terus menatapku dalam-dalam sampai aku terdiam dalam kebingungan.

Cricket? Umm – “ Aku mulai bertingkah tidak keruan, melirik ke sekitar kemudia meraba saku jinsku. “Sori, gue nggak merokok.” Karena memang benar, aku sudah berhenti merokok sejak dua tahun terakhir.

Dia mengangguk sambil menyeringai. “That’s okay.” Cowok asing berkemeja denim ini pun membalikkan badan dan memanggil seorang bartender. Berbicara sedemikian dekat untuk meredam bunyi bising yang berasal dari sound system. Tak beberapa lama, bartender itu kembali dengan membawa sebuah korek gas Zippo dan meletakkannya di atas meja.

Api Zippo perlahan menyambar ujung rokok sampai mengeluarkan asap kecil. Refleks membungkam mulut dan hidung dengan kedua telapak tangan supaya terhindar dari zat beracun itu.

“Lo terganggu?” Cowok itu memandangku dengan tatapan bersalah. “Maaf. Gue nggak tahu lo alergi asap rokok.”

Dan sebelum aku sempat menanggapi ucapannya, dia lebih dulu mematikan rokok itu ke alam asbak di hadapannya.

“Dulunya gue emang bukan perokok. Anti banget malah sama asapnya.” Dia mengulas tanpa kuminta. Meneguk cairan merah di gelasnya sebelum bercerita, “Sekarang boro-boro mau berhenti, sehari aja biasa habis dua bungkus.”

Aku hanya tersenyum tipis, tidak tahu menunjukkan reaksi yang tepat terhadap kisahnya. Dalam hati menduga-duga, cowok ini pasti sedang kesepian. Dia datang ke sini untuk menghibur diri; minum-minum sambil mencari teman untuk berbagi cerita.

Musik di sekeliling kami memelan sejenak. Lampu laser masih berkelap-kelip, hanya saja dalam kecepatan yang sedikit lambat. Leherku terjulur untuk mencari tahu keanehan yang sedang terjadi.

Cowok dengan potongan rambut a la Morrisey itu bersuara, “Bagian dari pertunjukan. DJ sengaja bikin situasi kayak gitu supaya audience ikutan cooling down.”

Tingkahku barusan mungkin agak konyol dan kelewat parno. Karena terus terang saja, pengalamanku di dunia malam masih sangat kurang. Bisa dibilang, aku perlu membiasakan diri dengan hal-hal seperti ini.

“Sama siapa ke sini?”

“Sendiri,” jawabku datar. “Lo?”

Dia mengedikkan jempolnya ke balik bahu, satu isyarat bahwa dia tidak datang sendirian.Dugaanku sebelumnya ternyata salah besar.

“Gabung yuk! Temen-temen gue lagi di table tuh.”

Perasaanku semakin tidak enak. Mencium sesuatu yang ganjil dari ucapannya. Perutku seperti dipelintir sewaktu kami berpandangan.

Sekilas kulirik arloji digital di pergelangan tanganku. “Gue mesti pulang.” Ucapanku terdengar seperti Cinderella yang kehilangan sepatu kaca.

“Cepat amat! Acaranya kan masih belum selesai.”

“Mendadak ngantuk nih.” Ralat, maksudku mendadak jenuh.

“Lo yakin?” Sepertinya dia sedang berusaha mengulur-ulur kepergianku.

Aku mengangguk mantap, tidak perlu membantah maupun mengalah. Meyakinkan diri untuk turun dari kursi tanpa perlu berpikir dua kali. Berusaha membuang muka saat melewati meja yang dihinggapi sekelompok pria bertampang mesum. Dan pada saat itu, aku sepenuhnya menyadari bahwa tidak ada gunanya berlama-lama di tempat ini.
Be First to Post Comment !
Posting Komentar