Setelah sekian
lama dan untuk ketiga kalinya, aku mengunjungi Apollo.
Karena
entah bagaimana, rumah seolah berubah menjadi tempat yang amat membosankan. Tak
ada lagi kenyamanan dan kehangatan. Aku sendiri tidak menyangka jika peristiwa
waktu itu bisa membawa dampak buruk terhadap sesuatu yang belum pernah
kuprediksi sebelumnya. Papa mulai jarang pulang dan lebih memilih bermukim di
rumah dinasnya. Bunda semakin sibuk dengan pekerjaannya di klinik. Sementara
itu, aku dapat merasakan hubunganku dengan David semakin menjauh.
Seperti
ada tembok besar yang membuat kami lupa satu sama lain.
Aku
sepenuhnya sadar, semua itu disebabkan olehku – murni kesalahanku. Fakta
sederhana bahwa akulah satu-satunya orang yang menyeret adikku ke dalam
masalah. Satu-satunya orang yang terlalu percaya diri untuk tampil di tengah
gerombolan anak-anak. Tanpa pernah menebak, mereka pasti memvisualisasikanku
sebagai pria lemah lembut dan gemulai.
Dan
tujuan utamaku mendatangi tempat ini bukan karena aku hendak menatap
warna-warni lampu disko sambil menikmati sebotol bir sampai tak sadarkan diri.
Aku hanya ingin menemui Bagas. Sekadar bertatap muka dan menceritakan betapa
rumitnya masalah yang muncul akhir-akhir ini. Atau barangkali, Bagas mempunya
satu cerita mengenai Texas yang belum pernah kuketahui sebelumnya.
“Bir
atau cocktail?” Seorang bartender
menghampiriku yang tengah melamun di meja bar. Dia berdiri di sana sambil ber-juggling ria dengan botol shaker-nya.
Aku
memandang cowok itu dengan alis mengernyit. Berpikir apakah semua bartender di
tempat ini harus mahir beratraksi penuh gaya – memutar, melempar botol di
udara, lalu menangkapnya – di depan pelanggannya.
“Nanti
aja.”
Tidak
butuh waktu lama sampai bartender itu menghampiri pelanggan yang lain di ujung
bar. Tiga pria metropolitan dengan setelan trendi yang sibuk jelalatan ke sana
kemari. Barangkali sedang mencari mangsa di antara lautan manusia yang tengah
asyik berjoget itu.
Mengedarkan
pandangan ke sepanjang meja bar selagi aku memulai pencarian. Orang-orang
dengan kemeja hitam, slayer hitam
terikat di kepala, piercing di
telinga – terlihat seperti satu keharusan bagi para bartender itu.
Dalam
hati aku bertanya, mengapa Bagas sama
sekali tidak terlihat?
“Eh, Bro!”
panggilku kepada seorang bartender lain yang tengah mengelap meja kerjanya.
Dia
menyampirkan lapnya ke bahu. Menghampiriku dan melempar pertanyaan yang sama,
“Bir atau cocktail?”
“Bukan...”
Aku menggeleng takjub. “Gue mau cari Bagas. Ada lihat dia nggak?”
“Bagas
– “ Dia memutar kedua bola matanya. “Bagas yang mana, ya?”
“Bagas
yang kerja di sini, yang jadi bartender,” ujarku sambil mengetuk ujung jari
tengah di atas meja bar.
“Waduh,
gue kurang tahu, Bro. Gue baru dua bulan kerja di sini masalahnya.”
Musik
berdentum semakin keras. Lampu laser bergerak lincah seperti sorotan mercusuar.
Aku memperhatikan panggung yang kini mengeluarkan efek asap berwarna-warni.
Samar-samar terlihat beberapa pria yang muncul di antara gumpalan asap itu.
Pria-pria
berbadan tegap yang hanya mengenakan briefs
sebagai pelengkap.
Sorak-sorai
penonton melambung di udara menyambut kedatangan mereka. Tentu saja, inilah
satu pertunjukan yang ditunggu-tunggu. Tidak ada yang lebih menyenangkan selain
menonton aksi seronok para pria nyaris bugil di atas panggung. Tak ada larangan
bagi siapa pun yang mau menggoda atau meraba-raba tubuh mereka. Bahkan, ada
yang rela merogoh kocek lebih dalam hanya untuk menikmati fasilitas short-time dengan para penari erotis
itu.
Aku
tiba-tiba teringat seseorang.
“Kalau
sama Tommy yang anak go-go boy, lo
kenal?” tanyaku setengah berteriak, mencoba menyaingi lagu I Don’t Like You-nya Eva
Simons yang di-remix sedemikian oleh DJ.
Tommy
kerja di Apollo juga. Semua orang mengenalnya sebagai go-go dancer. Meskipun harus kukatakan – dia juga berprofesi
sebagai escort yang biasa dipanggil
untuk acara-acara tertentu. Bagas yang mengenalkannya padaku dulu. Selain itu,
Tommy pernah memiliki keterkaitan dnegan Texas, di mana keduanya sempat
berpacaran untuk waktu yang singkat di masa lalu.
Dan
seandainya aku bertemu Tommy, barangkali
dia juga tahu keberadaan Bagas.
“Kurang
tahu juga, Bro,” jawabnya polos. “Setahu gue emang banyak dancer lama yang udah pada cabut.”
Aku
tertunduk lesu. Meratapi semua agenda yang telah tersusun rapi, namun hancur
berantakan dalam waktu kurang dari 1 jam. Tidak ada satu pun dari rencana itu
yang berjalan sesuai keinginan. Aku bahkan tidak tahu harus melarikan diri ke
mana. Tak ada lagi tempat yang bisa dijadikan persinggahan.
Sebagian
besar pengunjung Apollo kini mengerumuni area panggung. Lantai dansa terasa
lengang. Mengamati kemeriahan yang berlangsung di atas sana dari kejauhan. Ada
empat orang pria muscle bertopi
pelaut sedang meliuk-liuk seperti ulat. Tubuh mereka yang dibanjiri keringat
tampak berkilauan di bawah sorot lampu. Dua di antara empat orang itu saling
berhadapan dan menggerayangi satu sama lain.
Dua
tahun lalu, aku pernah menyaksikan pertunjukan serupa di sini. Texas duduk di
sebelahku waktu itu, lebih tertarik berbincang dengan Bagas yang baru kukenal
dalam hitungan menit. Sesekali Texas menegurku hanya untuk menawarkan minum dan
mengajakku bergabung dalam percakapan mereka.
Tapi
aku mengabaikan imbauannya. Tak pernah merasa nyaman saat berbincang dengan
orang-orang baru.
“Punya
lighter?”
Aku
tersentak kaget dan praktis menyudahi semua lamunan. Menolehkan kepala pada
seorang cowok bertubuh jangkung yang tiba-tiba saja berada di sebelahku.
Sebatang rokok putih teracung di antara telunjuk dan jari tengahnya. Dia terus
menatapku dalam-dalam sampai aku terdiam dalam kebingungan.
“Cricket? Umm – “ Aku mulai bertingkah
tidak keruan, melirik ke sekitar kemudia meraba saku jinsku. “Sori, gue nggak
merokok.” Karena memang benar, aku sudah berhenti merokok sejak dua tahun
terakhir.
Dia
mengangguk sambil menyeringai. “That’s
okay.” Cowok asing berkemeja denim ini pun membalikkan badan dan memanggil
seorang bartender. Berbicara sedemikian dekat untuk meredam bunyi bising yang
berasal dari sound system. Tak
beberapa lama, bartender itu kembali dengan membawa sebuah korek gas Zippo dan
meletakkannya di atas meja.
Api
Zippo perlahan menyambar ujung rokok sampai mengeluarkan asap kecil. Refleks
membungkam mulut dan hidung dengan kedua telapak tangan supaya terhindar dari
zat beracun itu.
“Lo
terganggu?” Cowok itu memandangku dengan tatapan bersalah. “Maaf. Gue nggak
tahu lo alergi asap rokok.”
Dan
sebelum aku sempat menanggapi ucapannya, dia lebih dulu mematikan rokok itu ke
alam asbak di hadapannya.
“Dulunya
gue emang bukan perokok. Anti banget malah sama asapnya.” Dia mengulas tanpa
kuminta. Meneguk cairan merah di gelasnya sebelum bercerita, “Sekarang
boro-boro mau berhenti, sehari aja biasa habis dua bungkus.”
Aku
hanya tersenyum tipis, tidak tahu menunjukkan reaksi yang tepat terhadap
kisahnya. Dalam hati menduga-duga, cowok ini pasti sedang kesepian. Dia datang
ke sini untuk menghibur diri; minum-minum sambil mencari teman untuk berbagi
cerita.
Musik
di sekeliling kami memelan sejenak. Lampu laser masih berkelap-kelip, hanya
saja dalam kecepatan yang sedikit lambat. Leherku terjulur untuk mencari tahu
keanehan yang sedang terjadi.
Cowok
dengan potongan rambut a la Morrisey itu bersuara, “Bagian dari pertunjukan. DJ
sengaja bikin situasi kayak gitu supaya audience
ikutan cooling down.”
Tingkahku
barusan mungkin agak konyol dan kelewat parno. Karena terus terang saja,
pengalamanku di dunia malam masih sangat kurang. Bisa dibilang, aku perlu
membiasakan diri dengan hal-hal seperti ini.
“Sama
siapa ke sini?”
“Sendiri,”
jawabku datar. “Lo?”
Dia
mengedikkan jempolnya ke balik bahu, satu isyarat bahwa dia tidak datang
sendirian.Dugaanku sebelumnya ternyata salah besar.
“Gabung
yuk! Temen-temen gue lagi di table tuh.”
Perasaanku
semakin tidak enak. Mencium sesuatu yang ganjil dari ucapannya. Perutku seperti
dipelintir sewaktu kami berpandangan.
Sekilas
kulirik arloji digital di pergelangan tanganku. “Gue mesti pulang.” Ucapanku
terdengar seperti Cinderella yang kehilangan sepatu kaca.
“Cepat
amat! Acaranya kan masih belum selesai.”
“Mendadak
ngantuk nih.” Ralat, maksudku
mendadak jenuh.
“Lo
yakin?” Sepertinya dia sedang berusaha mengulur-ulur kepergianku.
Aku mengangguk
mantap, tidak perlu membantah maupun mengalah. Meyakinkan diri untuk turun dari
kursi tanpa perlu berpikir dua kali. Berusaha membuang muka saat melewati meja
yang dihinggapi sekelompok pria bertampang mesum. Dan pada saat itu, aku
sepenuhnya menyadari bahwa tidak ada gunanya berlama-lama di tempat ini.
Be First to Post Comment !
Posting Komentar