Rutinitas yang biasanya dikerjakan Papa atau Bunda kini dialihkan kepadaku. Aku menangani David sejak tadi pagi. Mulai dari menyiapkan bekal makanan, memeriksa penampilan David agar terlihat menarik, mengantarnya tepat di depan pintu kelas, sampai menjemputnya saat jam pelajaran di sekolah berakhir.
Tidak sedikit pun aku merasa kesulitan terhadap seluruh rangkaian pekerjaan itu. Aku menekuninya dengan sepenuh hati tanpa merasa terbebani. Karena sedari dulu, aku percaya, lebih baik mengerjakan sesuatu yang kecil dengan penuh cinta daripada melakoni sesuatu yang besar secara terpaksa.
Namun, sesuatu yang tidak biasa mulai terasa saat kami dalam perjalanan pulang. David terus memelintir ujung tali tasnya tanpa bicara sedikit pun. Pandangannya kosong. Aku tidak tahu persis apakah dia sedang sedih karena kehilangan sesuatu, atau rindu terhadap seseorang... Satu hal yang pasti, dia terlihat seperti menjaga jarak denganku.
Aku mulai bertanya, “David mikirin apa, sih?”
Dia hanya menggeleng, tanpa mengucap satu patah kata pun dari bibir mungilnya.
“Tadi dimarahi guru, ya? Atau uang jajannya hilang pas jam istirahat?” Menduga-duga, hal seperti itu adalah penyebabnya. “Kamu kalau ada masalah, cerita aja sama Kakak. Janji deh nggak bakal kasih tahu siapa-siapa.”
“David mau tanya sesuatu,” David mendesis. Suaranya terlalu lirih hingga nyaris tak terdengar di telinga. “Tapi Kak Adam jangan marah.”
Aku meletakkan tanganku di atas kepalanya. “Tanya aja,” ucapku sambil mengusap rambut ikalnya.
“Pas istirahat, teman-teman iseng sama David. Mereka ngolok-olok Kakak.” David berhenti beberapa detik untuk mengambil napas. Tapi aku semakin tidak sabar menanti kelanjutan kisah itu sampai kudengar dia berbicara, “Kata mereka, Kakak kayak bencong.”
Perutku menegang tak keruan. Aku mendadak kesulitan memenuhi paru-paruku dengan oksigen seusai mendengar penuturan David barusan. Sedikit pun tidak mengerti bagaimana dan seperti apa asal muasal kejadian itu.
Tapi kemudian, pikiranku kembali terlempar pada momen di mana semua itu bermula.
Aku berjalan di halaman SD Bhakti Mulya, bersama David di sisi kiriku. Melewati selasar yang dipenuhi para siswa dengan seragam olahraga putih-biru. Beberapa di antara mereka ada yang masih ditemani orangtua masing-masing. Dan memang, beberapa pasang mata sempat melihat kedatanganku ketika aku hendak tiba di pintu kelas David.
Awalnya aku berasumsi, mungkin mereka pikir aku ini single parent atau sosok pria yang memiliki anak di usia muda.
Tapi ternyata, perkiraanku salah.
“Jawab, Kak...” rengek David, memandangku nanar.
“Teman-teman David mungkin cuma bercanda. Namanya juga anak-anak, kan?” ujarku, berusaha menjelaskan. “Jangan terlalu dipikirin.”
“Kalau cuma main-main, kenapa mereka suruh aku – supaya jauh-jauh dari Kak Adam?” Suara David meninggi, meskipun kalimat terakhir itu diucapkan dengan sedikit terbata-bata. “Mereka bilang nggak boleh main sama Kakak lagi, nanti aku jadi bencong!”
Kontan, aku terenyuh. Menyadari bahwa aku telah terlibat dalam kasus klasik di masa perkembangan kanak-kanak dan lingkungan sekitarnya.
Aku baru mau menjawab saat seorang pengendara sepeda motor menyalip tiba-tiba di depan kami. Bunyi knalpotnya yang bising meninggalkan asap pekat sehingga jalanan di depan tampak kabur. Menekan klakson keras-keras sambil mengumpat dalam hati. Sebagian kekesalan itu berasal dari kisah David yang membuatku tak habis pikir.
“Gini aja, besok Kakak datang ke sekolah buat nasihati teman-teman David, ya. Biar mereka minta maaf sama David.”
Sungguhpun aku berharap David setuju dengan saran yang kuberikan. Dengan begitu, masalah ini tidak perlu dipikirkan berlarut-larut. Tapi aku sadar, David bukan lagi anak kecil yang tidak tahu apa-apa seperti pertama kali Bunda membawanya ke dalam keluarga kami. David yang sekarang telah tumbuh cerdas dan memiliki daya ingat yang kuat.
“Nggak mau!” David menepuk jok yang didudukinya. “Pokoknya besok David nggak mau sekolah!”
Dia membuang muka ke luar jendela di sebelahnya. Enggan sekali bertatapan denganku barang sedetik. Sempat terpikir untuk menepikan mobil dan membuat satu keputusan dengan David. Tapi, aku segera membuang pikiran itu dari kepalaku. Sudah terlalu lelah dan putus asa untuk membicarakan hal ini lebih jauh.
Lagi pula, membodohi anak kecil bukanlah kemampuanku.
Be First to Post Comment !
Posting Komentar