Write. Anywhere. Anytime.

Senin, 02 Februari 2015

Chapter 1 - Problem

Tidak ada yang berbeda dengan ruang rapat ini. Semuanya masih tampak sama. Dimulai dari meja kayu mahoni yang selalu ditempati orang-orang dengan wajah mengantuk, tumpukan kertas dan cangkir-cangkir berisi ampas kopi, sampai suasana hening yang menggantung di menit-menit terakhir. 

Pendingin udara di dalam ruangan ini telah dinyalakan. Tapi entah kenapa, aku tetap merasa kepanasan. Terlebih ketika aku melirik ke arah Uki yang sedang memeriksa konsep photoshoot rancanganku. Jantungku berguncang semakin cepat, berharap-harap cemas. Sampai pada akhirnya – 

“Draf lo kacau!”

Keheningan di ruangan ini makin mencekam ketika Uki melempar helai demi helai print-out sketsaku ke tengah meja rapat. Beberapa orang di sekelilingku mendadak tercenung. Tidak ada satu pun di antara mereka yang bersedia melayangkan opini atau gagasan penudukung meskipun kami berada dalam tim yang sama.

Uki, selaku Direktur Kreatif, berpikir hasil kerja kerasku masih belum dapat memenuhi standar yang dia harapkan.

“Udah berapa kali gue bilang, photoshoot di pantai is so boring. Bukan zamannya lagi!” Uki mengimbas dengan suara lantang, “Coba deh, gue mau dengar alasan kenapa kita harus setuju sama pemilihan tempat lo!”

“Kita butuh konsep foto yang jelas, bukan yang asal jadi kayak gitu!” Uki melanjutkan dengan suara lantang yang tak kunjung mereda.

Aku meraih lembar-lembar kertas yang berserakan di atas meja rapat, berusaha menjawab meskipun alasanku terdengar bodoh, “Ya – tujuannya sih biar pembaca tahu, Indonesia punya tempat wisata seeksotis itu.”

“Kenapa lo nggak bikin majalah travelling aja sekalian?” celetuk Andhika tiba-tiba, disusul dengan gemerincing tawanya di udara.

Aku menekuni kembali drafku dengan saksama. Menyaksikan guratan pensil yang aneh, kombinasi wardrobe dan paduan warna yang kacau, ragam deskripsi yang antah-berantah, ditambah lagi coretan kecil yang tercantum di mana-mana. Kurasa poin-poin itulah yang akhirnya membuatku sadar, betapa hinanya karyaku yang menjijikkan ini.

“Dam, ayolah. Kita bukan mau photoshoot untuk bikini sama pakaian underwear. Lo tahu sendiri kan urban fashion itu gimana? You’ve been there before!

“Majalahnya bakal terbit awal bulan depan. Sementara kita masih belum serahin portfolio final sama isi artikel ke pihak redaksi.” Itu suara Bian, salah satu rekan dari departemen penjualan.

Mulutku terkunci rapat. Sementara itu aku mulai membayangkan deadline yang masih tersisa tiga minggu lagi. Betapa tiga minggu itu dapat terasa sangat cepat tanpa kita sadari. 

“Draf Andhika udah beres. Draf Sissy juga. Punya elo aja yang belum!” tambah Uki, terlihat sedang menahan kekesalannya. “Selama ini elo ngapain aja?”

Aku merenungi kalimat Uki barusan, menerjemahkannya ke dalam satu kalimat sederhana yang berarti; di mana otak lo, Adaaaam?

Dan saat aku merasa jengah atas segala tudingan dan spekulasi ini, aku pun bergumam demi membela diri, “Tapi kan, itu bukan sepenuhnya kesalahan gue.”

“Lah? Bisa banget lo berpikir kayak gitu sedangkan lo bertanggung jawab penuh atas tugas ini?”

“Jenny kan ada. Seenggaknya kalo gue keteteran, dia bisa kasih backup juga dong.” Ucapanku serta merta membuat gadis berkuncir kuda di ujung sana tertoleh, matanya membelalak sebesar piring seakan tidak menerima perkataanku barusan. Kemudian aku menambahkan, “Lagian, Nanda juga dapet di bagian wardrobe, kan?”

“Beda departemennya! Jenny di bagian ilustrasi. Urusan dia ya – antara gue sama tim editor. Nanda sibuk ngurusin wardrobe, talent, sama urusan perizinan. Dia nggak punya akses untuk campur project lo.” Uki menyahut, naik pitam. “Jadi, lo nggak bisa seenaknya limpahin kesalahan lo ke mereka, Dam!”

Aku membatu. Perutku terasa melilit selagi aneka alasan di kepalaku mendadak tercerai-berai tak bersisa.
Kini, semua mata di ruangan ini tertuju pada sosokku yang benar-benar menyedihkan. Menatapku tajam seolah penuh penghakiman dan siap menjatuhkan hukuman seberat-beratnya. Dan, andai saja ada satu keajaiban, aku sangat berharap dapat menghilang dan lenyap dari hadapan mereka, tanpa perlu berada di situasi seperti ini.

Aku menundukkan wajah sedalam-dalamnya, menahan malu atas satu bentuk ketololan yang baru pertama kali terjadi selama aku menjadi photo stylist dalam tim ini. Sebelumnya aku selalu mampu menangani project seberat apa pun meski sedang berada di bawah tekanan. Teman-teman kerap mengandalkan kemampuanku yang out of the box, yang selalu menciptakan ide-ide unik dan segar. 

Kini, aku tak bisa menajamkan fokus. Pikiranku bercabang ke mana-mana. Penglihatanku pun mendadak buyar.

“Jadi, kapan lo bakal beresin draf-nya?”

“Gue pastikan konsep yang baru bakalan kelar sebelum deadline.” Tidak tahu dari mana suara itu berasal, namun yang harus kulakukan saat ini hanyalah meyakinkan ketujuh pasang mata di sekelilingku bahwa aku sanggup menuntaskan pekerjaan itu.

Kuperhatikan Uki menarik napas dalam-dalam sebelum dia kembali ke kursi putar itu. “Kali ini jangan bikin gue kecewa.” Senang mengetahui dia masih memberiku kesempatan kedua untuk pekerjaan ini. “Tapi kalau lo masih gagal, siap-siap aja kalau Andhika yang bakal menangani project berikutnya. Bukan lo lagi.”

Pada saat yang sama, aku bahagia sekaligus tercengang. Semua orang di ruangan ini pun serta-merta mengarahkan pandangan pada Andhika, satu-satunya orang yang biasa menangani urusan make up dan masalah tata rias talent. Sama sekali tidak sanggup membayangkan jika suatu hari nanti karierku mendadak terhenti hanya karena permasalahan sepele seperti ini.

Jadi, Adam Prawira... bersiaplah! Because the challenge has only just begun!

***

Alih-alih pulang ke rumah untuk beristirahat sambil memikirkan strategi jitu dan mulai menciptakan konsep photoshoot yang terbaru, aku malah menyempatkan diri melipir ke Plaza Semanggi demi memenuhi janji dengan seorang teman lama. 

Dia adalah Rama, maksudku Rahmawati.

Kami sudah berteman sejak lama sejak masih duduk di bangku SMP. Sebelumnya, kami jarang sekali bertemu. Karena setelah lulus dari SMP, aku dan Rama sama-sama lost contact. Namun, baru-baru ini Rama menemukanku di Twitter. Mulai dari situlah, pertemanan kami kembali terjalin.

Rahmawati adalah perempuan dengan penampilan maskulin. Potongan rambutnya selalu trendi, pendek dan tercukur rapi. Tingkah lakunya pun menyerupai seorang preman pasar – gahar dan memiliki tubuh yang cukup kekar. Itulah sebabnya, kenapa orang-orang lebih mengenal dia sebagai Rama, bukan Rahmawati.

Dan kalau bukan karena alasan pertemanan, percayalah, aku lebih baik mendekam di dalam kamarku semalaman dan menuntaskan apa yang seharusnya menjadi tanggung jawabku.

“Serius lo digituin?” tanya Rama dengan mata membelalak penuh. Ekspresi mukanya menunjukkan rasa tidak percaya seusai mendengar cerita yang menyangkut pekerjaanku.

Aku mengangguk tanpa suara. Mataku mengitari ke sekitar, menyaksikan para penghuni SAS Cafe yang sedang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Sementara, sebagian pikiranku masih tertinggal di kantor, teringat bagaimana draf rancanganku ditolak secara terang-terangan.

“Kok bisa-bisanya, sih? Bukannya elo dikenal sebagai anak emas sama temen-temen elo?” Rama kembali memprotes, seusai menyeruput Virgin Fruit Punch-nya. “Bahkan setahu gue, lo nggak pernah punya problem sefatal ini sebelumnya, kan?”

Sebetulnya memang begitu. Hanya saja, keadaannya kini telah berubah. Aku bukan lagi Adam yang selalu berpikir dan bertindak rasional. Seisi kepalaku hanya dipenuhi bayang-bayang Texas. Sosoknya yang sulit kugapai justru membuat keadaanku semakin tertekan.

Aku sendiri sempat berpikir, barangkali selama dua tahun terakhir ini aku seperti seonggok mayat hidup. Tidak mati, tapi tidak benar-benar hidup.

“Lo tahu, kadang-kadang gue sering berpikir buat resign aja. Jadi, gue bisa free tanpa perlu dikelilingi tugas dan orang-orang itu lagi.”

“Dam, cari kerja di Jakarta tuh susahnya minta ampun. Lo punya ijazah dan sertifikat dari perguruan tinggu pun nggak bisa jadi jaminan.” Dia menatapku lekat-lekat, ucapannya terdengar penuh penekanan. “Lo nggak tahu sadar betapa banyak pendatang dari luar daerah yang berlomba-lomba cari kerja di sini?”

Jakarta – sebuah kota sempit yang memiliki populasi penduduk di atas rata-rata, jumlah pengangguran semakin bertambah, dan lonjakan angka kelahiran pun kian hari kian tak terkira. Aku sendiri tidak mengerti apa yang akan terjadi pada kota ini dua puluh atau tiga puluh tahun kemudian.

“Resign atau cari kerja baru bukan solusi. Itu sama aja kayak lo dapet masalah, tapi yang bisa lo lakuin cuma lari dan cari tempat sembunyi.”

Ucapan Rama praktis membuatku terenyuh yang sejak tadi lebih memilih bungkam. Aku pernah mendengar kalimat serupa sebelumnya.

When you run from your problems, the location may changed, but your problems will be right there waiting for you.

Begitu bunyinya lebih kurang.

Rama kemudian bercerita apa yang akan kujalani apabila aku sampai bersikeras mengundurkan diri. Aku harus menjalani rutinitas membosankan; membuat resume semenarik mungkin, keluar masuk ruang interview, melewati sejumlah tes ini-itu, lalu menunggu keputusan yang tak pasti. 

Jauh lebih sengsara jika aku mau berusaha lebih giat untuk menuntaskan apa yang sepatutnya menjadi kewajibanku.

“Lagian kalau cuma masalah ide, ngapain elo mesti pusing-pusing, sih? Ide bisa datang di saat yang nggak diketahui, kok.”

Kami terdiam sejenak. Sementara Rama kembali menekuni minumannya, aku melayangkan tatapan ke hamparan gedung yang menjulang tinggi. Kota ini sudah terlalu sesak oleh keberadaan tower pencakar langit dan aneka hunian bertingkat di sana-sini. Lalu lintas pun semakin semrawut.

Selanjutnya kudengar dia berkata, “Lo masih ingat Prisil, kan?”

Tentu saja. Gadis berkulit sawo matang dengan rambut lurus sebahu. Rama pernah mengenalkannya padaku beberapa bulan lalu. Dia juga berkisah mengenai hubungan keduanya yang terjalin selama 5 tahun terakhir. Itu terjadi pada tahun pertama mereka di perguruan tinggi.

Kisah klise seperti yang kualami dengan Texas.

Dan seperti orang-orang normal pada umumnya, Rama dan Prisil memang kerap diterpa masalah selama berpacaran. Putus-nyambung sudah menjadi hal lumrah. Pernah bertengkar sampai salah satu di antara mereka minggat ke luar kota. Aku jadi tidak heran jika mendapati keduanya kembali bermesraan setelah insiden putus-memutus itu.

“Kenapa dia?”

Rama membuang asap rokok dari mulutnya, menyodorkan layar ponselnya yang menampilkan sosok Prisil tengah berpose mesra dengan seorang pria – bukan, maksudku Buchi[1][1] – di sebuah ranjang besar seperti di hotel. Keduanya berada di dalam selimut yang sama, menutupi wilayah dada mereka dan tersenyum ke arah kamera. 

“Ini – Prisil sama pacar barunya?” tanyaku terbata-bata.

Rama menggeleng lesu. “Mantan dia pas zaman SMA.”

Mengalirlah sebuah cerita bagaimana Rama bisa sampai menemukan foto itu. Semua berawal dari Prisil yang mendadak ingin mengakhiri hubungan mereka. Padahal hubungan mereka baik-baik saja belakangan ini. Rama bersikukuh mencari tahu apa penyebab utama sehingga Prisil mempunyai gagasan yang demikian. Barangkali ada alasan yang lebih spesifik.

Foto itu sendiri ditemukan Rama di salah satu album foto akun Facebook milik Prisil. Spekulasi mulai bermunculan. Rama pun menghujani Prisil dengan sejumlah tudingan tanpa memberinya kesempatan untuk menjelaskan. Berpikir bahwa penyebab kerenggangan hubungan mereka karena ulah sang mantan.

“BBM gue langsung dihapus, akun sosmed gue semuanya di-block sama dia,” tutur Rama, membuat pengakuan. 

"Cewek emang gitu kalau lagi emosian. Harusnya sih lo nggak perlu kelewat insecure, Ram.” Bagaimanapun juga, aku masih mengerti apa yang diinginkan oleh perempuan. Mereka hanya mau didengar dan diberi pelukan ketika kondisi hatinya sedang berantakan.

“Gimana gue nggak emosi? Lo aja kalau di posisi gue pasti susah berpikir rasional.” Matanya berpendar sedih. Seluruh luka, kecewa, dan kepiluan itu seolah berkumpul menjadi satu. “Yang paling parah, ada satu kalimat dia yang menohok banget.”

Aku berusaha menebak, “Lo terlalu baik sama gue?” Mengingat itu adalah kalimat usang yang seringkali diucapkan seseorang saat hendak menyudahi suatu hubungan.

“Dia bilang – “ Rama berhenti sejenak, menetralkan derap napasnya sebelum melanjutkan, “Sampai kapan gue mau kayak gini terus?”

Aku tertegun mendengar pengucapan Rama. Semua itu seperti memecutku dan membuatku berpikir, mau berapa lama menjalani hidup sebagai seorang gay? 

“Lo jawab apa?” tanggapku, penasaran.

Rama hanya menggeleng. Tidak terlalu yakin gelengan itu karena dia tidak berkenan memaparkan jawaban atau tidak mengiyakan pertanyaan Prisil. Dia hanya berkata, “Gue sih pengin lurus. Pengin banget. Tapi entah kenapa, rasanya susah aja.”

Aku memahami betul bagaimana kekalutan yang dirasakan Rama saat ini. Sebelumnya aku pernah berada di posisi dia, pernah merasakan apa yang dia rasakan. Berusaha menjauhi Texas dan mengabaikan pesonanya, hanya karena sebagian orang beranggapan menjadi seorang gay adalah pilihan yang salah.
Padahal kenyataannya, being gay is not a choice.

It’s a gift.

“Gue juga pengin kayak cewek-cewek di luar sana, Dam. Berpenampilan feminin, nikah sama cowok, melahirkan dan punya anak, punya rumah tangga. Lo juga gitu, kan?”

Milyaran tanda tanya semakin giat menghantam kepalaku, seakan-akan mendesakku membuat satu pernyataan yang sekiranya dapat memperkuat pendirianku. Tapi, satu jawaban pun tak kudapati. Logikaku mendadak lumpuh.

“Lo sendiri kapan mau jadi straight?”

Lagi-lagi, aku tak menyahut. Bukan karena aku takut membuat keputusan yang menyangkut masa depan, tapi karena kapasitas pikiranku tidak sanggup menjangkau lebih jauh topik pembahasan kami.

Walhasil, aku hanya mengedikkan bahu, tidak tahu harus membubuhi jawaban seperti apa lagi.[]
Be First to Post Comment !
Posting Komentar