Write. Anywhere. Anytime.

Minggu, 17 Mei 2015

Chapter 6 - Kenangan dalam Aksara


Langit sudah gelap ketika aku dan Heru tiba di Cilandak Town Square. Pada awalnya, aku memang enggan mematuhi ajakannya. Apalagi bepergian ke sebuah Mall, tempat yang sarat akan kerumunan umat dan segala jenis aktivitas. Aku tidak pernah merasa nyaman berada di tengah keramaian. Selalu berpikir, semua orang akan menyerangku dengan tatapan aneh.

Tapi mau bagaimana lagi, Heru bahkan tidak memberiku kesempatan untuk menolak ataupun bernegosiasi.

Setiap hari Sabtu, Cilandak Town Square selalu terlihat ramai dibandingkan hari-hari biasa. Seorang DJ akan hadir di tengah-tengah hall utama dan memainkan musik hingga larut malam. Tak heran jika sebagian besar para selebritis sering muncul di tempat ini. Hal itulah yang terjadi sewaktu kami meninggalkan lot parkir.

Seorang pria berperawakan sedang dengan topi jenis flat cap dan kacamata minus melintas di hadapan kami. Wajahnya tampak familier sekali. Dia pernah muncul di sebuah liputan salah satu stasiun televisi swasta, tapi aku lupa namanya siapa. Heru lekas menyadarkanku bahwa pria itu adalah Mas Joko Anwar.

Kami melewati restoran Burger King sebelum tiba di Aksara Bookstore. Heru sengaja membawaku ke sini karena dia yakin, toko buku ini juga menjual buku Memory Of Solferino.

Heru bergegas menuju undakan buku-buku yang disusun pada satu meja khusus. Semua novel best seller, majalah terbaru, dan aneka literatur terpajang rapi di sana. Sementara itu, aku berhenti di rak magazine, lantas meraih majalah entertainment dengan sosok Miranda Kerr yang menghiasi sampul depan. Tulisan-tulisan mencolok seperti; Tren Super Seru, Seks Gaya Asia, Kesan apa yang ia tangkap dalam 5 detik membuatku tertarik untuk mengintip isi majalah tersebut.

Satu demi satu halaman terlewati. Sederet artikel dan gosip membosankan berada di sana-sini. Meletakkan majalah itu ke tempat semula, sembari melayangkan pandangan ke sekitar. Tampak beberapa pengunjung sedang membaca buku secara gratis lantaran plastik pelindungnya telah terbuka. Sebagian lagi, ada yang tengah bercengkerama dengan seorang pramuniaga.

Situasi seperti ini membuatku teringat pada masa di mana aku dan Texas berbincang untuk pertama kalinya.

Aku berdiri di depan rak buku sambil menekuni Modul Praktikum Fisika Dasar milik perpustakaan sekolah. Materi yang terkandung dalam modul itu adalah hukum Newton dan prinsip dasar dinamika untuk gerak lurus. Texas juga berada di lorong yang sama denganku. Mengulurkan jabat tangan perkenalan sekaligus menyinggung tentang buku bacaanku.

Kami masih terlalu muda untuk jatuh cinta semasa itu. Tapi entah kenapa, aku dapat merasakan getaran aneh setiap kali berhadapan dengannya. Mustahil untuk memungkiri segenap keindahan yang dimiliki Texas. Pada sepasang alis tebal dan bulu matanya yang lebat, bola mata berwarna cokelat pekat, dan bibir merah yang kerap membentuk simpul senyum paling memikat.

“Adam...” Sebuah suara yang diselubungi kehangatan tiba-tiba hinggap telingaku.

Selama sekejap, aku sempat berhalusinasi jika pemilik suara itu adalah Texas. Tersenyum ketika mata kami berdua saling bertemu dalam satu garis maya. Menghambur ke dalam pelukannya tanpa peduli komentar orang-orang di sekeliling kami. Namun, semua angan-angan itu terpaksa kumuntahkan selagi aku menyadari sosok yang kini berdiri di hadapanku adalah Heru.

“Elo ternyata,” aku melengos kecewa.

Heru melipat kedua lengannya di depan dada. “Nggak di tempat rame, nggak di tempat sepi, kerjaan lo melamun aja,” gumamnya. “Nggak takut kesambet apa?”

Aku mengabaikan ucapannya dan lebih memilih bertanya, “Jadi gimana? Ketemu novel Solferino-nya?”

Dia menggeleng lesu. “Abis muter-muter ke semua rak buku, tapi gue sama sekali nggak ketemu buku yang dimaksud.”

“Udah coba tanya ke pegawainya?” Aku memberi solusi alternatif. “Biasanya kan mereka punya database semua judul buku di sini.”

“Udah,” tukas Heru. “Emang bukunya nggak ada.”

Sudah kuduga! Buku itu memang agak sulit didapatkan di Jakarta. Selain langka, novel yang ditulis langsung oleh Henry Dunant itu sudah terabaikan bagi mereka yang tidak tahu apa-apa tentang sejarah Palang Merah. Lagi pula, kalau memang benar-benar tersedia di Indonesia, buat apa aku bersusah payah membelinya di situs Amazon?

“Terus? Itu buku apaan?” Aku memperhatikan sebuah buku agak tebal bersampul hitam di genggamannya.

“Stephen King. Different Seasons. Kata Mbaknya, sih, bagus.” Dari judulnya, aku bisa menebak buku itu ber-genre fantasi atau horor thriller. Terbukti sewaktu Heru mengulas secara singkat salah satu chapter berjudul Rita Hayworth and Shawshank Redemption. Kisah seorang banker bernama Andy Dufresne yang dituduh bersalah lantaran membunuh istrinya yang selingkuh. Dufresne menjalani masa-masa tersulitnya selama menjadi tahanan di Shawshank, sebuah penjara di USA.

“Mau pinjam?” Dia menyodorkan buku itu kepadaku.

“Boleh, kalau lo nggak keberatan,” jawabku.

“Tapi ada syaratnya!”

Kebahagiaanku pupus seketika. “Apa?”

“Barteran sama buku Henry Dunant.”

Aku menggeleng mantap, sama sekali tidak terpengaruh pada seringai senyum dan tatapan Heru yang meskipun harus kuakui, sangat memesona. Tapi tetap saja, hal itu tidak akan membuatku berubah pikiran.

“Oke,” Heru mengedikkan bahu. “Mungkin belum diizinkan untuk memiliki kali, ya.”

Di ruang waktu berikutnya, kami berdua membatu dan saling berpandangan selagi irama musik melantun merdu lewat pengeras suara. Itu adalah Unbeliavable, lagunya Craig David.

But, you came and you change my whole world now
I’m somewhere I’ve never been before
Now, I see what love means...

Aku mendadak terenyuh dalam diam. Lagu itu seperti membungkus kami berdua dalam satu terowongan panjang di mana segalanya terasa hening, tanpa gravitasi, sekaligus damai. Tapi entah kenapa, lama kelamaan lagu itu terdengar memuakkan. Apalagi di tengah situasi awkward seperti ini.

Heru yang lebih dulu mengakhiri kecanggungan itu. “Kalau boleh tahu, isi twit lo kemarin sore itu tentang apa, Dam?”

Aku bergeming. Sedikit pun tidak siap untuk menjawab tentang apa, siapa, dan bagaimana penyebabnya sehingga aku terpikir untuk mempublikasikan kutipan itu ke sosial media.

“Prediksi gue, sih – pasti tentang mantan lo?”

“Bukan!” tanggapku, kelewat defensif.

Faktanya, Texas memang bukan mantan kekasihku. Hanya karena ada jarak di antara kami dan minimnya komunikasi, tidak berarti kami berdua telah resmi berpisah. Aku sendiri tidak berhak memproklamirkan siapa dan seperti apa status hubungan kami saat ini. Karena aku tahu, Texas sendiri telah memiliki hubungan asmara yang lebih jelas dengan Sarah, wanita pilihan hatinya.

“Gue tahu elo menyembunyikan sesuatu.” Heru berdiri tepat di hadapanku. “Kalau emang ada yang mau lo utarakan, ngomong aja. Gue bersedia mendengarkan, kok.”

Tenggorokanku tercekat. Sesuatu memaksa nuraniku untuk bercerita, “There was a time – when i need to forget all about my past and live my life like everyone else. Lo pasti bisa membayangkan gimana rasanya ketika semua kenangan dan suka-duka di masa lalu itu menghantui pikiran lo?” Aku menggelengkan kepala, berkedip beberapa kali sebelum melanjutkan, “Dan lo terbawa arus, nggak ada yang bisa lo lakuin selain menanti sesuatu yang nggak pasti.”

Memutuskan untuk berhenti sejenak lantaran tahu bahwa ceritaku sudah terlalu jauh. Bukan hal bijak jika aku memaparkan semua itu di hadapan Heru. Satu-satunya orang yang dapat menyelesaikan masalahmu hanya dirimu sendiri.

“Kenapa berhenti?” tanya Heru.

Aku menggeleng. “Can we skip this conversation?”

“That’s okay, Dam. Just let ‘em out.” Heru meremas telapak tanganku erat-erat. Matanya menyiratkan bahwa dia ingin mendengar satu cerita komplet tanpa melewatkan satu detail pun.

Tapi aku menepis tangannya dan berkata, “Gue tunggu di luar, ya. Gotta find some fresh air.
Be First to Post Comment !
Posting Komentar