Sebagian orang berpendapat, ketika hujan
turun, itu artinya ada seseorang di tempat yang jauh sedang menangis. Entah
menangis karena sedih, atau mungkin karena terharu. Keduanya sama-sama
menitikkan air mata.
Mendongakkan kepala selagi kedua
kakiku menyambangi jalanan yang terasa lengang daripada biasanya. Awan kelabu
membentuk gumpalan tebal di atas sana. Tampak sebuah kilatan kecil yang
menyala-nyala di kejauhan. Dalam hati aku membatin, sebentar lagi pasti akan turun hujan.
Aku menengok lagi ke arah
belakang. Sebuah bangunan berlantai tiga dengan pintu pagar yang menganga di
depannya. Selama beberapa saat, aku masih berdiri di sana sambil mengamati
tempat itu baik-baik. Membayangkan sepuluh bulan terakhir yang kulewati dengan
tawa dan air mata. Sepuluh bulan yang telah menorehkan banyak sekali peristiwa.
Itu adalah hari di mana aku
sedang meringkuk di dalam selimut dengan kondisi setengah terpejam. Beberapa
menit yang lalu, aku sudah terbangun dari tidur. Namun udara dingin dan sisa
hujan di luar sana membuatku enggan untuk beranjak turun. Mom tiba-tiba muncul
di ambang pintu kamarku. Napasnya putus-putus. Menyampaikan sesuatu yang –
terus terang saja – belum ingin kuketahui.
Mataku membelalak seusai
mendengar berita terlontar dari mulut Mom. Di satu sisi, aku tidak dapat
membendung rasa bahagia. Sebagian yang lain justru merasakan gejolak aneh yang
membuat perutku seperti dipelintir. Pukul sepuluh pagi, tanpa persiapan
apa-apa, aku langsung disuruh bekerja.
Aku mungkin sedang bermimpi.
Entah dari mana datangnya
kekuatan itu, aku menuruni tempat tidur dan segera menuju kamar mandi. Sekadar
membasahi tubuhku tanpa sempat menyentuh sabun maupun secuil shampo ke
kepalaku. Sementara mulutku terus merutuk kesal lantaran tidurku jadi
terganggu. Egois memang jika aku masih memikirkan waktu tidurku. Namun suatu
hari kelak, aku akhirnya menyadari bahwa itu bukanlah waktu tidur, melainkan
waktu bermalas-malasan.
Aku membetulkan kardus yang
kupeluk sejak tadi. Aneka kertas dan buku kosong, sejumlah alat tulis yang
tersimpan dalam kotak pensil, rasanya masih seperti mimpi. Aku bahkan masih
sulit memercayai bahwa ini akan jadi hari terakhirku.
Terbayang lagi saat aku melangkah
ke dalam ruangan dan duduk berhadapan dengan atasanku. Jantungku berdegup
sepuluh kali lebih cepat. Telapak tanganku mulai basah oleh keringat. Satu demi
satu kalimat telah terucap. Napasku kian memburu. Aku sama sekali tidak
mengerti bagaimana cara untuk mengendalikannya.
Lima belas menit berlalu dalam
keheningan. Bunyi jarum jam sanggup mengalahkan suaraku yang terlalu lirih.
Sampai semuanya telah tersampaikan pun, aku belum dapat bernapas dengan baik.
Rasanya seperti habis berlari 1000 kilometer.
Hal itu juga sepertinya dirasakan
oleh orang yang berhadapan denganku. Aku dapat melihat mata lelahnya
berkaca-kaca. Artikulasi kalimat yang dia ucapkan terdengar kurang jelas.
Mungkin aku salah. Tapi, mungkin aku juga benar. Bahwa dia pun merasakan
kehilangan.
Semua orang tentu merasakan kehilangan.
Memang tidak dapat kupungkiri,
banyak sekali yang kupelajari selama aku berada di sini. Seluruh hal yang tidak
pernah kuketahui sebelumnya, berbagai istilah yang asing di telinga, menjadi
pengalaman yang bisa kugunakan di masa depan. Pengalaman adalah guru yang
paling baik, bukan?
Hujan turun
perlahan. Mataku terasa perih. Bangunan yang berdiri tegak di hadapanku kini
justru terlihat seperti tempat yang istimewa. Sebuah tempat yang menawarkan segalanya.
Sebuah tempat yang akan membuatku rindu dan ingin kembali.
Mungkin
kembali, suatu hari nanti.
Be First to Post Comment !
Posting Komentar