“Kepada seluruh penumpang yang
terhormat, sesaat lagi pesawat ini akan mengudara dengan ketinggian tiga ribu
kaki di atas permukaan laut. Harap kencangkan sabuk pengaman dan bla bla
bla....”
Pramugari itu masih mengumandangkan
pemberitahuan lewat pengeras suara, kemudian mengganti isi pesan itu dengan
bahasa asing yang terdengar sangat membosankan. Aku menempelkan kening ke arah
jendela, memandangi landasan pacu dan sepetak rumput hijau di sekitarnya. Matahari
berpijar terik di luar sana. Sementara, sejumlah mobil pengangkut bagasi mulai
bertolak ke tempat semula.
Pada saat yang sama, pikiranku
tiba-tiba terlempar pada sederet kejadian yang terjadi beberapa jam sebelumnya.
Aku teringat bagaimana aku berpamitan dengan temanku, Ebbi, yang masih tertidur
pulas. Meninggalkan kamarnya dengan perasaan tak keruan, kemudian memanjat
pintu pagarnya yang terkunci rapat. Berjalan melewati jalan Karnolong sampai
akhirnya aku menemukan sebuah taksi berwarna biru.
Jalan raya di Jakarta tampak begitu
sepi pada pukul enam pagi. Masih sedikit sekali kendaraan pribadi yang
berkeliaran di saat-saat seperti ini. Lampu jalan pun masih banyak yang
menyala. Dan setibanya di stasiun Gambir, aku langsung bergegas mencari Bus
Damri tujuan Bandara.
Meletakkan koperku pada bagasi yang
telah disediakan, lantas melangkah masuk ke dalam bus berwarna abu-abu itu.
Lebih memilih duduk di pinggir jendela agar aku dapat memandangi situasi
jalanan di pagi hari. Aku senang melakukannya setiap kali hendak bepergian. Dan
beruntungnya, tidak ada satu orang pun yang duduk di sebelahku.
Bus mulai berjalan, melewati sederet
gedung yang menjulang tinggi di sana-sini. Aku bersiap menyumbat telingaku
dengan earphone, menikmati playlist yang berisi lagu-lagu Air Supply, Maroon 5,
ABBA, The Fray, dan sebagainya. Berpikir mereka dapat menenangkan perasaanku
yang tengah kacau-balau. Tapi aku salah. Lagu-lagu itu justru menyeretku ke
lembah masa lalu.
Aku kembali terpikir bagaimana pertama
kali aku tiba di kota ini dengan wajah sumringah dan semangat membara. Satu-satunya
hal yang kuinginkan saat itu adalah; kebahagiaan. Begitu yakin 1000% bahwa aku
telah mengambil keputusan yang tepat. Jakarta atau Bandung, aku siap mengejar
mimpi. Aku pun sempat berjanji pada semua orang – termasuk diri sendiri – untuk
memulai hidup yang lebih baik lagi. Namun pada akhirnya, semuanya berubah tanpa
sanggup kuprediksi.
Seseorang pernah bertanya padaku, “sampai kapan kamu mau menetap di sini?”
Aku terdiam selama beberapa saat.
Saat itu, kami baru saja menuntaskan wisata
kecil kami di Braga. Berjalan di bawah jembatan penyeberangan dan hendak menuju
halte bus Mesjid Alun-Alun Kota Bandung. Hari sudah pukul lima sore. Tapi,
langit yang berwarna gelap keabu-abuan membuat kami ingin segera pulang.
Pulang, satu frasa yang memiliki
banyak makna.
Dia bertanya lagi dengan suaranya
yang lirih, “Kamu enggak mungkin stay di
Bandung dengan pekerjaan yang itu-itu aja, kan?”
“Maksudnya?” tanggapku, menatapnya
dengan mata memicing.
“Aku tahu passion kamu, Joy. Kamu yakin mau berkarier di sana selama-lamanya?”
Alih-alih memberi jawaban diplomatis,
aku malah mengedikkan bahu; tanda bahwa aku sama sekali tidak mengerti
bagaimana menanggapi pertanyaannya. Aku sempat berpikir bahwa aku memang tidak
akan bisa bertahan lama pada pekerjaanku. Bukan karena aku tidak bersyukur atas
apa yang telah aku terima, tapi karena aku tidak punya passion sedikit pun di bidang itu.
“Kalau seandainya aku bilang, aku bakal stay di Bandung untuk waktu yang
lama, apa kamu bakalan percaya?” balasku.
“Percaya,” dia mengangguk. “Tapi aku
yakin, suatu hari nanti pasti kamu bakalan pergi, entah ke mana tujuannya.”
Selanjutnya, percakapan itu
menggantung tanpa menemukan titik terang. Baik aku ataupun dia, kami berdua lebih
memilih bungkam dan tak banyak bicara. Percuma saja berkelakar. Toh aku tidak
memiliki alasan yang tepat untuk merangkai sebuah penyangkalan
Sampai pada suatu hari, aku menemukan
kebenaran pada kalimatnya.
Aku memilih untuk pulang; untuk
mengistirahatkan diri dari segala beban dan tekanan, untuk mencari ketenangan,
untuk menemukan lagi arti dari kebebasan. Dan aku rasa, aku telah menentukan
pilihan yang tepat.
Seketika, terdengar sebuah denging
yang memekakkan telinga. Lamunanku mendadak terpecah-belah. Aku baru menyadari
kalau sejak tadi aku menitikkan air mata. Pantas saja pipiku terasa basah. Tapi
aku tak peduli. Karena tangis yang baru saja tumpah bukanlah tangis penyesalan.
Ini tangis bahagia dari sebuah kemenangan.
Tak lama, pesawatku pun mulai
mengudara.
Be First to Post Comment !
Posting Komentar