Write. Anywhere. Anytime.

Selasa, 17 Juni 2014

Pulang

“Kepada seluruh penumpang yang terhormat, sesaat lagi pesawat ini akan mengudara dengan ketinggian tiga ribu kaki di atas permukaan laut. Harap kencangkan sabuk pengaman dan bla bla bla....”

Pramugari itu masih mengumandangkan pemberitahuan lewat pengeras suara, kemudian mengganti isi pesan itu dengan bahasa asing yang terdengar sangat membosankan. Aku menempelkan kening ke arah jendela, memandangi landasan pacu dan sepetak rumput hijau di sekitarnya. Matahari berpijar terik di luar sana. Sementara, sejumlah mobil pengangkut bagasi mulai bertolak ke tempat semula.

Pada saat yang sama, pikiranku tiba-tiba terlempar pada sederet kejadian yang terjadi beberapa jam sebelumnya. Aku teringat bagaimana aku berpamitan dengan temanku, Ebbi, yang masih tertidur pulas. Meninggalkan kamarnya dengan perasaan tak keruan, kemudian memanjat pintu pagarnya yang terkunci rapat. Berjalan melewati jalan Karnolong sampai akhirnya aku menemukan sebuah taksi berwarna biru.

Jalan raya di Jakarta tampak begitu sepi pada pukul enam pagi. Masih sedikit sekali kendaraan pribadi yang berkeliaran di saat-saat seperti ini. Lampu jalan pun masih banyak yang menyala. Dan setibanya di stasiun Gambir, aku langsung bergegas mencari Bus Damri tujuan Bandara.
Meletakkan koperku pada bagasi yang telah disediakan, lantas melangkah masuk ke dalam bus berwarna abu-abu itu. Lebih memilih duduk di pinggir jendela agar aku dapat memandangi situasi jalanan di pagi hari. Aku senang melakukannya setiap kali hendak bepergian. Dan beruntungnya, tidak ada satu orang pun yang duduk di sebelahku.

Bus mulai berjalan, melewati sederet gedung yang menjulang tinggi di sana-sini. Aku bersiap menyumbat telingaku dengan earphone, menikmati playlist yang berisi lagu-lagu Air Supply, Maroon 5, ABBA, The Fray, dan sebagainya. Berpikir mereka dapat menenangkan perasaanku yang tengah kacau-balau. Tapi aku salah. Lagu-lagu itu justru menyeretku ke lembah masa lalu.

Aku kembali terpikir bagaimana pertama kali aku tiba di kota ini dengan wajah sumringah dan semangat membara. Satu-satunya hal yang kuinginkan saat itu adalah; kebahagiaan. Begitu yakin 1000% bahwa aku telah mengambil keputusan yang tepat. Jakarta atau Bandung, aku siap mengejar mimpi. Aku pun sempat berjanji pada semua orang – termasuk diri sendiri – untuk memulai hidup yang lebih baik lagi. Namun pada akhirnya, semuanya berubah tanpa sanggup kuprediksi.

Seseorang pernah bertanya padaku, “sampai kapan kamu mau menetap di sini?”
Aku terdiam selama beberapa saat.
Saat itu, kami baru saja menuntaskan wisata kecil kami di Braga. Berjalan di bawah jembatan penyeberangan dan hendak menuju halte bus Mesjid Alun-Alun Kota Bandung. Hari sudah pukul lima sore. Tapi, langit yang berwarna gelap keabu-abuan membuat kami ingin segera pulang.
Pulang, satu frasa yang memiliki banyak makna.
Dia bertanya lagi dengan suaranya yang lirih, “Kamu enggak mungkin stay di Bandung dengan pekerjaan yang itu-itu aja, kan?”
“Maksudnya?” tanggapku, menatapnya dengan mata memicing.
“Aku tahu passion kamu, Joy. Kamu yakin mau berkarier di sana selama-lamanya?”
Alih-alih memberi jawaban diplomatis, aku malah mengedikkan bahu; tanda bahwa aku sama sekali tidak mengerti bagaimana menanggapi pertanyaannya. Aku sempat berpikir bahwa aku memang tidak akan bisa bertahan lama pada pekerjaanku. Bukan karena aku tidak bersyukur atas apa yang telah aku terima, tapi karena aku tidak punya passion sedikit pun di bidang itu.
“Kalau seandainya aku bilang, aku bakal stay di Bandung untuk waktu yang lama, apa kamu bakalan percaya?” balasku.
“Percaya,” dia mengangguk. “Tapi aku yakin, suatu hari nanti pasti kamu bakalan pergi, entah ke mana tujuannya.”

Selanjutnya, percakapan itu menggantung tanpa menemukan titik terang. Baik aku ataupun dia, kami berdua lebih memilih bungkam dan tak banyak bicara. Percuma saja berkelakar. Toh aku tidak memiliki alasan yang tepat untuk merangkai sebuah penyangkalan

Sampai pada suatu hari, aku menemukan kebenaran pada kalimatnya.

Aku memilih untuk pulang; untuk mengistirahatkan diri dari segala beban dan tekanan, untuk mencari ketenangan, untuk menemukan lagi arti dari kebebasan. Dan aku rasa, aku telah menentukan pilihan yang tepat.

Seketika, terdengar sebuah denging yang memekakkan telinga. Lamunanku mendadak terpecah-belah. Aku baru menyadari kalau sejak tadi aku menitikkan air mata. Pantas saja pipiku terasa basah. Tapi aku tak peduli. Karena tangis yang baru saja tumpah bukanlah tangis penyesalan. Ini tangis bahagia dari sebuah kemenangan.
Tak lama, pesawatku pun mulai mengudara.
Be First to Post Comment !
Posting Komentar