“Masih belum kelar kerjaan lo?” Fino
menduduki kursi kosong di hadapanku. Secangkir Green Tea Frappuccino pesananku
berada di genggamannya. Itu adalah cangkir kelima setelah aku menghabiskan dua
jam di Starbucks tanpa melakukan apa-apa.
“Dari tadi gue bolak-balik majalah,
tapi belum ada satu pun ide yang nyangkut.”
“Jangan terlalu dipaksain. Istirahat dulu, deh.”
Aku menanggalkan kacamata minus-ku, mengempas lembar demi lembar kertas HVS
yang berisi coretan kacau ke atas meja. Bolpoin-ku terguling ke sudut meja. Fino
menahannya sebelum ia sempat jatuh di lantai.
Dia meraih majalah Vogue Spanyol yang tertutup lembaran sketsa berengsek
itu dan mulai menjelajahi halamannya satu per satu. Mulutnya terkunci rapat.
Sosok Constance Jablonski yang menghiasi sampul depannya seolah-olah tampak
sedang mengejekku.
“Ini mesti diserahkan 5 hari lagi, Fin. Astaga!” Aku memijit pelipisku dan
memejamkan mata erat-erat. Kepalaku mendadak terasa sangat nyeri, seperti
dipukul lusinan palu. “Gue mesti gimana abis iniiiiiii?”
“Lo maunya bikin konsep kayak gimana, sih?”
“Yang jelas nggak pasaran dan sesuai sama permintaan mereka!” ucapku
setengah menyerah. “Lo lihat aja, nih – “ Menarik satu rangkap kertas yang
sejak tadi teronggok di salah satu kursi dan menyodorkannya ke hadapan Fino. “Gara-gara
konsep sialan itu, orang-orang pasti berpikir gue nggak becus kerja, nggak
profesional. Karier gue bakal ikut terancam kalau kayak gini terus!”
“Tega banget mereka nolak konsep kayak gini.”
Agak gengsi memang ketika aku harus memaparkan pengakuan Uki waktu itu.
Tapi, Fino pantas mengetahuinya; konsep foto di pinggir pantai sudah
ketinggalan zaman dan terlalu melenceng dari trademark kami selama ini.
Fino hanya diam. Memelototi gambar yang tertoreh pada kertas itu dengan
saksama sampai kudengar dia berseru pelan, “Ambil notebook lo, gue punya jalan keluarnya!”
Bagaikan dihipnotis, aku langsung menyambar buku bersampul kulit dari dalam
messenger bag-ku. Menuju kertas
paling belakang di mana halaman itu dipenuhi oleh guratan pensil warna dan
catatan yang tidak terlalu penting. Bolpoin berada dalam posisi siaga.
Telingaku mulai menyimak apa yang disampaikan Fino. Tapi, gagasan itu belum
sepenuhnya terangkum kala aku memilih untuk berhenti menulis.
Ada sesuatu yang salah.
“Tunggu...” Aku melepaskan bolpoin
dari genggaman. “Lo bermaksud iseng ke gue atau gimana?”
“Kenapa emang?” Dahi Fino mengernyit.
“Kebun Raya Bogor, latar pepohonan, gadis bergaun putih. Lo bercanda?”
ulasku dengan napas terengah-engah. “Tema photoshoot-nya
urban vintageFin. Bukan yang spooky mirip majalah misteri gitu.”
“Kalau lo berpikir konsep yang gue
bilang barusan agak horor, berarti lo salah.” Fino membela diri. “Foto gothic-spooky lagi tren, tahu.”
“Oke, gue hargai pendapat lo. Cuma, yang harus ditonjolkan pada sebuah foto
adalah konsepnya. Harmonisasi antara kostum, dandanan, dan pemilihan tempat.”
Secara harfiah, ada pesan yang bisa tersampaikan lewat foto tersebut.
“Coba lo googling, deh. Atau lo bisa cari di Pinterest. Di sana banyak banget
fotografer lokal yang udah bikin portfolio
mereka sendiri.”
Perdebatan ini tidak akan kunjung
usai. Jadi, lebih baik aku membungkam mulutku rapat-rapat. Sisa hujan masih beririsan
di luar sana. Sejumlah kendaraan memadati jalan Melawai, menanti pergantian traffic light. Gumpalan asap knalpot
Metromini membuat segalanya tampak lebih pekat.
Dan... Kotor.
Fino benar. Terkadang referensi itu memang sangat diperlukan. Bukan
bermaksud menjiplak, tapi sekadar membandingkan gagasan kita dengan milik orang
lain. Selain itu, referensi juga dapat membantu dalam evaluasi diri. Supaya
kita tahu, apa saja yang perlu dikembangkan atau diperbaiki.
Namun, brainstorming dengan Fino
sama sekali tidak ada gunanya. Dia mungkin mengerti masalah fashion. Fino tahu bagaimana menata
penampilannya agar terlihat maskulin dan classy.
Tapi, tidak semua individu dapat menciptakan ide. Gagasan out-of-the-box adalah sesuatu yang kubutuhkan saat ini.
Seorang pelayan berkaus hitam dan celemek hijau melintas di sebelah meja
kami. Pada saat yang sama, iPhone-ku tiba-tiba berdering. Menatap sejenak empat
huruf yang muncul di layar itu sebelum benar-benar menggapainya. Empat huruf
yang membuatku yakin bahwa dia adalah orang yang tepat untuk diajak bicara.
“Halo...” Telapak tanganku sedingin es. Fino mulai heran terhadap tingkahku
yang mendadak tak keruan.
“Lagi di mana, Dam?” balas Heru di seberang sana. Samar terdengar bunyi klakson kendaraan.
Dugaanku, Heru sedang berada dalam perjalanan menuju suatu tempat.
“Lagi di Starbucks Melawai, Her. Bareng temen gue, cewek.”
Entah kenapa, statement yang terakhir
itu terdengar kurang penting.
“Eh, kebetulan
banget. Gue lagi on the way Taman
Langsat nih, tapi masih di Sudirman, sih. Lo nyusul dong!”
Aku mengernyitkan dahi dan bertanya, “Gerimis gini ke
Taman Langsat mau ngapain?”
“Ada kerjaan,” ucapnya santai. “Udah, ke sini aja.
Apa mau gue jemput?”
Fino bertanya tanpa suara, ingin tahu dengan siapa aku
bicara. Namun aku hanya memberinya isyarat untuk hening sesaat. Menengok arlojiku
sebelum membuat keputusan, “Bentar lagi gue ke sana, deh.”
“Sip! Gue tunggu,
ya.”
Aku mengakhiri panggilan. Berusaha menyembunyikan letupan
rasa bahagia di dalam hati. Sementara, Fino masih menatapku dengan senyuman
aneh; tahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan semua ini.
Be First to Post Comment !
Posting Komentar