Hari itu, matahari seakan-akan berada di atas kepala. Hawa panas yang bercampur dengan pengap asap kendaraan semakin membuatku merasa gerah. Jalan Jenderal Sudirman selalu seperti ini di siang hari. Aneka kendaraan roda dua dan roda empat memenuhi setiap ruas jalan.
Aku berangkat dari rumah pukul sembilan pagi. Sengaja minta diantar oleh Dad dengan alasan ingin menjenguk temanku yang sedang dirawat di rumah sakit. Padahal, kalau saja Dad tahu, aku punya tujuan yang lebih penting daripada itu.
Semuanya berawal ketika aku membaca beberapa artikel di internet mengenai gejala pengidap HIV-AIDS. Aku sama sekali tidak berniat untuk mencari tahu tentang hal itu sebelumnya. Tapi berhubung aku ingin menulis cerita terbaru yang ada kaitannya dengan penyakit itu, aku pun mulai mengumpulkan informasi lewat mesin pencaharian; google.
Singkat cerita, ketika aku tersadar betapa pentingnya pemeriksaan HIV-AIDS, akhirnya aku memberanikan diri untuk mengunjungi rumah sakit terdekat. Sedikit pun tidak memikirkan apa yang akan terjadi jika aku mengetahui hasilnya tidak sesuai seperti yang kuharapkan. Tapi, we never know until we try. Selalu begitu, kan?
Menjejakkan kaki di sepanjang koridor rumah sakit, aroma obat-obatan dan cairan kimia mulai memenuhi penciumanku. Setiap sudut ruangan yang dikerumuni para pembesuk terlihat begitu mencekam. Hanya dingin, selalu diselimuti kesedihan. Kehadiran pohon ketapang yang tumbuh di tengah-tengah taman pun tidak menghantar suasana nyaman. Seolah-olah ada pesan kematian yang akan muncul di setiap waktu.
Sesampainya aku di Poli Melati, sepi itu menyambutku kembali. Aku tidak melihat kehadiran satu orang pun selain suster yang sibuk berlalu-lalang dan para pengunjung dengan muka masam. Tidak tampak senyum bahagia di wajah mereka. Kalaupun ada, mungkin senyum itu hanya terpancar dari anak kecil yang sedang bersama mereka. Betapa pun bocah itu tidak mengerti tentang apa-apa.
Cukup lama aku duduk seorang diri di Poli Melati. Dokter yang memiliki janji denganku tak kunjung muncul. Dan untuk mengisi kejenuhan yang meruap di dalam ruangan itu, aku tidak punya pilihan selain mengutak-atik gadget kesayanganku. Subway Surfer, Temple Run 2, Angry Birds Season selalu dimain secara bergantian. Sesekali, kala aku merasa bosan dengan permainan-permainan itu, aku beranjak dari duduk dan melihat-lihat isi lemari. Sejumlah obat - pil dan kapsul - terpajang rapi beserta catatannya, satu set suntik yang masih disegel, alat kontrasepsi untuk wanita dan pria, brosur-brosur penyuluhan, dan masih banyak lagi benda-benda yang tidak kuketahui apa fungsinya.
Aku sedang mengintip keluar jendela saat mendengar pintu berderit dan menyaksikan seorang wanita berkerudung biru tersenyum kepadaku. Bu Vivi namanya. Tadinya aku berpikir, dia adalah seorang perawat yang biasa keluar-masuk di Poli itu. Ternyata perkiraanku salah. Bu Vivilah yang akan mewawancaraiku sesaat lagi. Bukan dokter Fauzan Muhammad, seperti yang kubayangkan.
Bersamaan dengan hal itu, Bu Vivi lekas mempersilakan duduk di sofa. Aku sempat merasa takut selama beberapa saat. Terlebih ketika aku harus memaparkan sejumlah pengakuan kepada orang yang belum pernah kukenal sebelumnya. Tapi, Bu Vibi berpesan agar aku terbuka saja. Segala yang kututurkan akan tetap menjadi rahasia di antara kami berdua. Dan aku percaya.
Sesi tanya jawab itu terlewati dengan sempurna. Aku selalu menjawab dengan baik setiap pertanyaan yang dia ajukan. Tidak ada rasa takut sedikit pun untuk membeberkan segala fakta yang berkaitan dengan masa laluku. Bahkan, Bu Vivi mendengarkannya dengan saksama, lalu memberikan pengarahan dan nasihat yang tidak terkesan menggurui.
Begitu sesi tanya jawab itu berakhir, Bu Vivi beranjak berdiri dan langsung menuju lemari yang terletak di sudut ruangan itu. Sebuah suntik kini berada di genggamannya. Aku sudah tahu, pasti dia akan segera mengambil darahku untuk dilakukan pemeriksaan. Oleh karena itulah, aku memohon padanya untuk menggunakan cara alternatif seperti tes melalui air liur atau cara apa pun asalkan tidak disuntik. Terus terang, aku bukan penyuka jarum suntik!
Sembari menggelengkan kepalanya, dia berkata padaku bahwa cuma itu satu-satunya cara yang paling akurat. Karena darah yang diambil, akan diperiksa melalui tiga tahap di laboratorium rumah sakit. Mau tidak mau, aku pun mengiyakan penuturannya.
Aku lebih banyak diam selama proses pengambilan darah berlangsung. Sedikit pun tidak berkehendak menatap jarum suntik sialan itu menghunus ke dalam kulitku sampai ia benar-benar mengisap sepersekian mili darahku ke dalam tabungnya. Benar-benar cara yang kejam! Dan sesaat sebelum Bu Vivi benar-benar pergi ke laboratorium, dia menutupi lipatan lengan kiriku dengan sebuah kapas yang telah dibasahi dengan cairan alkohol. Kemudian berpesan bahwa dia akan kembali menemuiku sesaat lagi.
Lima belas menit telah berlalu. Kebosanan tak henti-hentinya menghinggapi isi kepalaku. Tak hanya itu, suasana di dalam ruangan pun seketika berubah mencekam. Aku takut saat Bu Vivi muncul di hadapanku, dia memberitahukan sebuah kabar yang tidak ingin kudengar. Semua ketakutan itu semakin bertambah parah ketika aku teringat nama-nama orang yang tercantum di daftar Follow Up Pasien, di mana beberapa di antara mereka ada yang telah meninggal dunia dalam waktu dua minggu terakhir. Tapi, aku berusaha mengenyahkan pikiran buruk itu sejauh mungkin. Aku terus menenangkan pikiranku dengan membaca ayat Al-Ikhlas sebanyak 10 kali dan berdoa agar aku diberikan kekuatan yang cukup.
Selang beberapa menit, pintu kaca itu kembali berderik. Bu Vivi benar-benar menepati janjinya untuk kembali. Dia duduk di hadapanku dengan wajah yang sulit sekali untuk ditebak. Bertanya dengan lirih apakah bekas suntiknya sudah hilang? Dan pertanyaan itu hanya mampu kujawab dengan sebuah anggukan. Rasanya aku hilang kemampuan untuk bicara sebelum mendengar keputusan akhir dari Bu Vivi.
Seakan mengerti dengan keadaanku yang sedang harap-harap cemas, saat itu juga Bu Vivi menyampaikan sesuatu yang mengejutkan. Tidak ditemukan virus berbahaya jenis apa pun di dalam darahku. Kondisi CD4-ku pun tidak mengalami penurunan. Itu berarti, aku dinyatakan HIV Negatif!
Entah apa yang terjadi pada diriku pada saat itu, aku tidak tahu persis. Yang pasti, aku tidak mampu berbicara banyak. Ingin sekali rasanya aku berteriak, menangis, tertawa, bahkan sujud di hadapan Bu Vivi pada detik itu juga. Tapi aku tahu, itu hal yang berlebihan. Dan satu-satunya hal yang dapat kulakukan saat itu adalah berterima kasih sebesar-besarnya. Kepada Tuhan, kepada Bu Vivi, kepada jarum suntik, kepada lemari, kepada rerumputan di tamah rumah sakit, kepada pohon ketapang yang mengirim aroma mistik, aku berterima kasih. Segala yang kuterima pada hari itu tidak dapat terbayarkan dengan materi jenis apa pun. Dan saat itu pula, aku berjanji untuk menjaga diriku dari perbuatan-perbuatan hina seperti yang pernah kulakukan di waktu dulu.
Wednesday, 20 November 2013
Be First to Post Comment !
Posting Komentar