Tapi aku bukan salah satu dari
orang seperti itu.
Aku lebih memilih keluar dan
berjalan menyusuri Alderney Street bersama seorang gadis kecil yang biasa
kupanggil Kitty. Well, nama aslinya Emma Huntington. Dia baru berusia lima
tahun, masih duduk di taman kanak-kanak. Memiliki rambut panjang berwarna
pirang yang sering dikuncir ekor kuda. Emma terbiasa menata rambutnya sendiri
sejak kecil.
Kami meninggalkan apartemen pukul
satu siang. Singgah sebentar ke sebuah kafe kecil untuk membeli secangkir kopi
dan cokelat panas. Matahari tertutup oleh awan tebal. Dedaunan kering yang teronggok
di sepanjang jalan Pimlico sesekali tertiup oleh angin. Ranting-ranting pohon di sekitar kami berderik pelan, pertanda hujan akan turun. Tapi kami
tak peduli. Terus melanjutkan perjalanan hingga kami tiba di Legoland Windsor
Resort.
Atmosfer berbeda mulai terasa
ketika kulihat slogan ‘Play Your Part’ yang terpampang di pintu masuk. Huruf
kapital hitam yang bertuliskan LEGOLAND itu seakan-akan menyambut kedatangan
kami. Aku sama sekali tidak punya rencana untuk pergi ke sini. Namun entah
kenapa, setiap kali melewati tempat ini, Emma selalu menggamit tanganku untuk
segera masuk ke pusat permainan lego itu.
Aku tak sampai hati jika harus
menolak keinginannya.
Menuju Duplo Valley – sebuah
wahana permainan yang memperbolehkan kami menjelajahi lembah dengan sebuah
perahu sampai terkena cipratan air. Menikmati es krim Cornetto sambil menaiki
kereta Brickville Express. Kemudian berteriak sekencang-kencangnya saat melaju di
atas Dragon Roller Coaster. Sewaktu berada di Atlantis Experience, kami sempat
mengabadikan momen itu dengan memotret beberapa ikan hiu dan bermacam-macam
tumbuhan laut.
Aku dan Emma berhenti di satu
wahana bernama Miniland. Menyaksikan miniatur kota dari berbagai negara di
dunia yang tersusun menggunakan empat puluh juta blok lego. Setiap detail kota
itu diciptakan semirip mungkin dengan versi aslinya. Bahkan, jika diperhatikan
dari dekat, lego-lego itu seakan-akan tampak sangat nyata.
“Sebagian warga Inggris masih
belum tahu apa itu The Elizabeth Tower. Mereka beranggapan bahwa menara itu
bernama Big Ben. Padahal sebenarnya, Big Ben adalah nama lonceng yang berada di
dalam jam itu. Menaranya sendiri disebut St. Stephen Tower.”
Seorang pria berambut cokelat
gelap yang mengenakan sweter kasmir abu-abu bersuara di belakangku. Memandangnya
dari atas ke bawah, menebak-nebak apa yang membuat dirinya muncul di sana dan
menceritakan asal-usul tentang jam raksasa yang dikenal dengan nama Big Ben. Pria
itu tidak berdiri sendirian. Dia hadir bersama seorang anak perempuan yang
sepertinya seusia dengan Emma.
“Itu saudara perempuanmu?” Dia
bertanya sambil melirik Emma yang sedang mengamati struktur kota London yang
terbuat dari lego.
“No, ze is mijn dochter[1],” jawabku terpaksa berdusta. Karena faktanya, Emma adalah
keponakanku. Kedua orangtuanya sedang berada di luar kota lantaran ada urusan
pekerjaan.
“Aku rasa – kau berasal dari
sana, ya?” Telunjuknya terarah pada miniatur lego berbentuk rumah kincir angin
yang dikelilingi kebun bunga tulip dan peternakan sapi.
Penuturannya kuiyakan dengan
anggukan kepala.
“Belanda sangat menakjubkan. Aku
pernah mengunjungi tempat itu sekali saat aku masih kuliah,” ucapnya membuat
pengakuan. “Jadi, ke mana tujuanmu setelah ini?”
“Aku tidak tahu. Barangkali
pulang ke apartemen,”
“Kau tidak berminat mengunjungi
taman hiburan di Hyde Park? Ada sejumlah wahana permainan di sana.” Pria dengan
bola mata hijau zamrud itu membenamkan kedua telapak tangannya ke dalam sweter
dan melanjutkan, “Kau tahu. Ferris Wheel, Caroussel, Rumah Hantu, permen
kapas... Rasanya sayang sekali untuk dilewatkan.”
Ucapannya terdengar seperti pemandu
wisata yang menawarkan paket perjalanan dengan tarif murah. Dan untuk sesaat,
aku sempat menoleh pada Emma yang sedang mendongakkan kepala dengan tatapan penuh
harap; satu pertanda bahwa dia sangat ingin mengunjungi tempat itu.
Membayangkan keseruan kami saat menembak balon-balon yang berhadiah boneka,
naik ke atas replika bus Double Decker, dan membawa sepasang balon terbang ke
apartemen.
Tapi aku menjawab, “Kedengarannya
menarik. Tapi, lain kali saja. Aku harus segera pulang.”
“Baiklah, geniet van je dag[2],” ucapnya seraya
menganggukkan kepala.
Tanpa perlu berpamitan, aku
segera meraih tangan Emma dan mengajaknya menjauh dari pria asing di hadapan
kami. Sebisa mungkin berjalan cepat-cepat agar tak perlu lagi terlibat dalam
percakapan yang tidak kuinginkan.
Dan tepat ketika aku hendak
menggendong tubuh Emma ke dalam pelukanku, aku mendengar satu teriakan lagi
dari pria itu.
“Hey!” panggilnya dari kejauhan. Bocah
perempuan di sebelahnya melambaikan tangan. “Siapa namamu?”
Aku menoleh ke belakang dan
berseru, “Sophie!”
“Aku Hugo. Senang bisa berkenalan
denganmu!”
Aku melempar seulas senyum,
kemudian bersiap untuk melangkah pergi.
Dalam hati aku membatin, senang berkenalan denganmu, Hugo.
(to be continued)
Be First to Post Comment !
Posting Komentar