December 11th, Westminster
Rasanya baru kemarin aku melihat
sejumlah pepohonan yang mengering di kota ini. Daun-daun kuning yang biasanya
mengotori jalanan dan pekarangan rumah, kini berganti dengan lapisan salju
tipis. Musim dingin telah dimulai sejak pekan terakhir bulan November.
Malam baru saja naik saat aku
meninggalkan apartemen dan memilih untuk berjalan keluar. Suhu mencapai -5◦C.
Angin menusuk tajam, udara dingin berusaha menembus masuk mantelku. Melewati
rumah-rumah kopel dan sederet restoran yang nyaman. Tempat keluarga sejati dan
beberapa pasangan muda-mudi sedang makan bersama. Bercengkerama dan tertawa
sambil menikmati kehangatan di dalam sana.
Menenggelamkan telapak tangan
kiriku ke saku mantel sementara aku bergerak menuju Patissarie Valerie. Menutup
payungku dan segera melangkah ke dalam kafe yang bernuansa remang-remang itu.
Suasana di Patisserie Valerie
tidak pernah membosankan; etalase yang dihiasi kue-kue dan aneka roti, bunyi
sendok yang beradu dengan dinding cangkir, serta ingar-bingar suara pengunjung
yang tengah bercakap-cakap. Bahkan tempat ini terlalu sempit untuk menampung
orang-orang yang bosan mengurung diri pada Jumat malam yang beku.
Aku berdiri di
depan etalase yang menyajikan roti bagel dan jenis kue-kue cantik beraneka
warna. Mencomot beberapa muffin cokelat
dan cupcake ke atas nampan sambil
menikmati alunan musik blues yang
diputar lewat pengeras suara. Dan untuk saat ini, aku harus bilang bahwa
bepergian ke suatu tempat dan berbelanja adalah cara termudah untuk
membahagiakan diri sendiri.
Di luar sana,
salju turun lagi. Aku baru mau menuju meja kasir saat terdengar seseorang yang
memanggilku dari arah konter Cheese Cake.
“Kamu lagi?”
Seorang pria tak dikenal tersenyum sumringah kepadaku.
Agak ragu aku
bersuara, “Permisi?”
“Kau pasti
Sophie, kan?” Dia menggaruk-garuk kepala, tampak bingung sendiri dengan
ucapannya. “Ah, rasanya sudah lama sekali.”
Aku menatapnya
dari atas ke bawah. Mengamati sosok asing bertubuh jangkung yang dibungkus
jaket dan mantel tebal, dan rambut cokelat gelapnya yang dipotong rapi.
Dia berkata
lagi, “Aku Hugo. Kita pernah bertemu beberapa bulan lalu.”
Aku mengulang
namanya berkali-kali sambil berpikir keras. Berusaha mencari nama itu di
sepanjang koridor memoriku – barangkali ada satu atau dua momen yang pernah
kami lewati, tapi tak sengaja terlupakan. Dan aku baru teringat bahwa dia
adalah orang yang pernah kutemui di Legoland pada Oktober lalu.
“Ya. Senang
bisa bertemu denganmu lagi,” ucapku, tersenyum malu. “Omong-omong, apa yang
kaulakukan di sini?”
Telunjuknya
teracung pada seiris tar Almond dan Strawberry Shortcake yang terbungkus rapi
dalam mika plastik.
Dan pada saat
yang sama, aku benar-benar merasa malu lantaran telah melontarkan pertanyaan
bodoh.
Dia balik
bertanya, “Kau tidak bersama putrimu?”
Aku tercenung
selama beberapa saat. Dalam hati, aku amat menyesali kebohonganku kala itu.
Mengakui Emma sebagai putri kandungku justru membuatku terjebak dalam posisi
yang sulit. Bingung harus memilih 1) tetap berbohong, atau 2) mengatakan yang
sesungguhnya kepada Hugo.
“Sebenarnya,
dia anak temanku. Waktu itu dia menitipkannya kepadaku karena ada suatu urusan
yang harus dia selesaikan bersama suaminya.” Kuungkapkan saja yang sebenarnya.
Biar dia tahu bahwa aku tak pandai bersandiwara.
Hugo hanya
menganggukkan kepala.
“Kau sendiri?
Ke mana perginya anak perempuan yang bersamamu waktu itu?”
“Nicki berada
di rumah. Musim dingin bukan waktu yang tepat untuk bepergian.”
Percakapan kami
ternyata memakan waktu yang cukup lama saat seorang kasir di hadapanku berdeham
seakan-akan aku telah membuat satu kesalahan. Terperanjat kaget melihat
sekelompok orang di belakangku yang membentuk satu antrean panjang. Beberapa
orang memandangku dengan mata melotot sambil mendengus kesal.
Aku bergegas
menyelesaikan proses pembayaran dan masih sempat menyampaikan permintaan maaf
sebelum keluar dari barisan.
Hugo
mengekoriku dari belakang.
Dia bertanya,
“Masih pertanyaan yang sama seperti waktu itu, ke mana tujuanmu setelah ini?”
“Tidak ada
tempat yang bisa menyelamatkan dari badai salju selain apartemen,” jawabku.
“Kau?”
Alih-alih
menjawab, dia malah balik bertanya, “Kalau kau tidak keberatan, bolehkah aku
ikut denganmu? Sekadar bertamu sambil menghabiskan kue bersamamu, barangkali.”
Tenggorokanku
tercekat sewaktu menatap bola mata hijau zamrudnya berpendar cerah terkena
cahaya lampu di kafe ini. Perutku terasa nyeri oleh sesuatu yang tidak
beralasan. Aku mengembangkan payungku dan menjawab, “Dengan senang hati.”
***
“Kau sendirian
yang menghuni tempat ini?” tanya Hugo seraya mengambil posisi duduk di atas
sofa. Matanya memindai ke seluruh penjuru ruangan. Dimulai dari pemanas
ruangan, bingkai foto, kertas dinding, aneka figura dan miniatur, sampai
tumpukan majalah yang tersusun rapi di bawah rak televisi.
“Terkadang aku
mengajak Emma dan kedua orangtuanya ke sini,” aku menjawab dari pantry dapur, sedang menyiapkan sesuatu
untuk menemani perbincangan kami. “Sementara, rekan-rekan kerjaku kebanyakan
sudah berkeluarga dan punya anak. Agak sulit jika harus mengajak mereka datang
setiap hari.”
“Omong-omong,
kau bekerja di mana?”
“Penulis
artikel di Daily World.”
“Kedengarannya
menarik.”
“Ya, begitulah.
Hanya saja, aku bukan bekerja sebagai karyawan tetap. Kontrakku bisa saja habis
sewaktu-waktu,” tanggapku sambil menuju ruang tengah, meletakkan dua cangkir
yang berisi teh ginseng dan kudapan kecil yang kudapat dari Patisserie Valerie
barusan. “Bagaimana dengan kau?”
Kemudian, Hugo
pun bercerita tentang pekerjaannya sebagai manajer kreatif di sebuah perusahaan
iklan. Butuh kerja keras dan penantian yang cukup panjang untuk mencapai
kariernya yang gemilang. Dia juga mengisahkan apa saja yang dia alami di tahun
pertama ketika menggeluti profesinya; seluruh perjuangan dan berbagai peristiwa
emosional yang rasanya sulit untuk dilupakan.
Sesuatu yang
istimewa dalam hidupnya baru dimulai di tahun keempat. Aku baru tahu bahwa Hugo
adalah seorang ayah dari pernikahan yang kini berada di ambang kehancuran. Nicki
adalah putri pertamanya. Aku sendiri tidak mengerti apa penyebab utamanya
sehingga peristiwa itu bisa terjadi – dan aku pun tidak memaksa Hugo untuk
bercerita. Dan selama setahun terakhir, Hugo lebih sering menghabiskan hari-harinya
bersama Nicki, atau bahkan seorang diri.
“Rasanya pasti
sulit sekali,” gumamku lirih.
“Tentu saja.
Tapi aku sudah enggan memikirkannya lagi. Bagiku, semua itu sudah selesai.” Dia
mengedikkan bahu. “Well, Sophie,
apakah kau tertarik pergi denganku setelah nanti?”
Mataku memicing
menatapnya. “Ke mana?”
“London’s Eye
selalu terlihat memesona di malam hari. Semua orang akan berkumpul di sana
untuk melihat festival kembang api.”
Apa yang
dibicarakan Hugo barusan adalah tentang malam pergantian tahun. Pikiranku
langsung dipenuhi oleh semburat warna-warni lampu dan jutaan kembang api yang
meletup di langit kota London.
Aku hendak
menanggapi ajakannya sewaktu ponsel Hugo berbunyi nyaring sehingga
menginterupsi niatku.
Dia menatap
layar ponselnya lekat-lekat, tercenung selama beberapa saat sebelum akhirnya
mengambil jarak untuk menjawab panggilan itu.
Dua menit
kuhabiskan dalam diam. Aku berharap Hugo segera muncul dan menyampaikan kabar
gembira, atau setidaknya sesuatu yang menarik. Tapi rasanya sangat tak mungkin.
Hugo berdiri di hadapanku dengan tatapan lesu. Air mukanya tampak berantakan,
seolah-olah ada sesuatu yang telah terjadi dengannya.
“Barusan itu
Celine. Dia ingin bertemu denganku untuk membicarakan proses perceraian kami.”
Segera saja aku tahu bahwa itu bukan pertanda baik. “Dia baru saja tiba di
Heathrow.”
Betapa pun aku
sangat berharap tidak mendengar berita itu dari mulutnya.
Betapa pun aku
sangat mengerti dia masih mencintai wanita itu dengan segenap jiwa; meskipun
separuh hatinya telah hampa.
Tapi aku tak
pernah mengerti kenapa aku bisa merasakan cemburu yang amat hebat atas apa yang
dia sampaikan. Tak pernah mengerti kenapa hal ini bisa terjadi kepadaku.
“Pergilah,”
ujarku singkat.
Hal berikut
yang kuketahui adalah Hugo beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah pintu.
Memandangku sejenak sebelum dia melangkah pergi.
“Sampai nanti,
Sophie...” gumamnya pelan, tapi aku terlalu letih untuk bersuara.
Pintu tertutup.
Air mataku
tumpah.
***
Kontrak kerjaku
berakhir di pertengahan bulan Februari. Musim salju masih belum sepenuhnya
berhenti kala itu. Tapi, sebagian maskapai penerbangan tujuan domestik dan
internasional telah beroperasi secara optimal. Aku akhirnya meninggalkan London
pada malam hari dan terbang ke kampung halamanku di Belanda. Sudah lama sekali
aku tak merasakan kehangatan yang berasal dari rumah.
Bulan April
seperti menghantarkan atmosfer baru di kehidupanku. Semburat matahari musim
semi yang menyeruak masuk lewat jendela membuat segalanya terasa sempurna pada
pagi ini. Aku melangkah menuju dapur dan bergegas menyiapkan adonan pancake untuk menu sarapan.
Tidak ada
siapa-siapa yang tinggal di rumah ini selain aku dan Mom. Dad meninggal ketika
aku berusia 12 tahun. Satu hal yang kupelajari sejak hari itu, kepergian
seseorang bukanlah satu alasan yang perlu ditakutkan sehingga kita sulit untuk
melanjutkan kehidupan. Karena setiap hal yang pergi, pasti akan ada satu hal
baru yang datang ke dalam hidup kita.
Usai menuangkan
pasta cokelat dan madu ke atas pancake, aku mendengar seseorang mengetuk pintu
rumahku dari luar. Aku hendak menuju asal suara itu ketika Mom lebih dulu
menggerakkan kursi rodanya dan memutar kenop pintu.
Tamu dalam
wujud anak perempuan berambut pirang itu bersuara, “Nona Sophie?”
Mom mendongak
menatapku, seakan-akan meminta penjelasan siapa gadis kecil yang tengah berdiri
di hadapan kami.
“Ya. Aku
Sophie.” Aku mengernyitkan dahi sambil melepas celemek yang kukenakan. “Kau
siapa?”
“Aku... Kau
mungkin sudah melupakanku, tapi aku masih mengingat dengan jelas kau siapa,”
ucapnya dengan seulas senyum polos.
“Oke. Tapi,
bisakah kita bicara sejenak?” sergahku setengah ketakutan. Sementara, Mom masih
memandangku dengan tatapan bingung.
Dia meraih
telapak tanganku dan menggenggamnya erat. “Kau harus ikut aku sekarang. Ada
sesuatu yang ingin kutunjukkan padamu.”
Untuk sejenak,
aku sempat berniat mengenyahkan genggamannya dari tanganku. Tapi, ada sesuatu
yang membuatku percaya bahwa dia tak akan berbuat macam-macam. Gadis kecil ini
menuntunku berjalan dan melewati pekarangan rumah yang ditumbuhi rumput dan
beraneka ragam tanaman hias. Seekor sapi betina pun tampak heran menyaksikan
derap langkah kami yang berubah semakin cepat.
Aku bertanya
dengan napas tak keruan, “Tunggu! Ke mana kau akan membawaku?”
“Ke sana – “
Anak perempuan ini mengarahkan jari telunjuknya ke sebuah kebun yang bunga
tulip yang jaraknya memang cukup jauh dari rumahku.
Ternyata, inilah
yang dibilang orang-orang tentang bunga cinta itu. Warna-warni bunga tulip
mampu membuat siapa pun terpana akan pesonanya. Tapi, aku sedang tidak membicarakan
tentang sihir yang dimiliki bunga tulip. Ada sesuatu yang membuatku benar-benar
tercengang dan membuat lidahku terasa kelu.
“Seperti yang
kita ketahui, Belanda adalah kota kecil yang serbakekurangan sejak perang dunia
kedua berakhir. Sampai pada suatu hari di musim dingin, seorang gadis kecil
dari Amerika yang bernama Rosy mengirimkan kado berisi cokelat kepada temannya
tinggal di kota ini. Surat menyurat antara mereka terus berlanjut meskipun
keduanya tidak pernah bertemu.”
Aku pernah
mendengar dongeng itu sebelumnya. Dongeng yang mengisahkan kedua anak perempuan
bernama Rosy dan Fiona yang menjalin komunikasi dengan cara surat-menyurat.
Setiap kali Fiona mengisahkan apa yang terjadi di tempatnya, Rosy pasti menghadiahkan
Fiona sesuatu yang mungkin diperlukannya. Pada surat mereka yang terakhir, di
musim semi, Rosy menerima surat dan paket dari Fiona yang berisi umbi bunga
tulip untuk ditanam.
Dan betapa pun
hadiah itu teramat sederhana, Rosy sama sekali tidak mempermasalahkannya. Rosy
teramat gembira. Umbi tulip itu dibagi-bagi untuk ditanam di sebagian tempat di
Amerika.
Begitulah ceritanya.
“Lama tak
berjumpa, Sophie.”
Sesuatu membuat
mataku terasa panas. Aku masih mengingat dengan jelas saat Hugo meninggalkan
apartemenku pada malam itu. Dia berdiri di ambang pintu dan berkata ‘sampai nanti’ – tanpa kupahami maksud
dari kalimatnya. Dan kini, dia benar-benar membuktikan apa yang pernah dia
ucapkan.
Dia menggumam, “Aku
benar-benar menyesali atas apa yang telah terjadi waktu itu.”
“Aku mengerti,
Hugo. Setiap orang pasti pernah mengalami masa-masa tersulit di dalam hidupnya,”
balasku.
“Jadi,
segalanya benar-benar telah berakhir.” Dia mulai berkisah tanpa kuminta, “Juri akhirnya
memberikanku kuasa penuh atas hak asuh Nicki. Tapi dengan syarat, Celine tetap
diperbolehkan menengok ataupun merawatnya dalam situasi tertentu.”
Aku membalas
seadanya, “Senang mendengar kabar baik itu darimu.”
Sosok pria
dalam balutan kemeja biru ini mengambil posisi berdiri di hadapanku.
Pandangan kami saling bertumbukan sehingga rasanya tidak ada kesempatan bagiku
untuk berkedip. Dia meraih telapak tanganku dan meremasnya lembut. Sementara,
tangan kanannya mengulurkan sesuatu kepadaku.
Sebuah bunga
tulip berwarna merah.
Aku menerima
pemberiannya. Mencium kelopaknya yang masih terasa lengket dan basah oleh
embun.
“Kau tentu
mengetahui makna dari bunga tulip merah itu, Sophie...” Kalimatnya dibiarkan
menggantung.
“Sebuah cinta
dengan ketulusan tanpa batas,” jawabku dengan wajah merah padam. “Kuharap kau
bersungguh-sungguh dengan kalimatmu, Hugo.”
“Tak ada batas
dalam mencintaimu.”
“Tak ada batas
untuk percaya pada kekuatan cinta,” sambung Nicki yang tiba-tiba muncul di
dekat kami.
Hugo memberikan
satu kecupan kecil dan membimbingku ke dalam pelukannya.
***END***