~ 27 ~

Write. Anywhere. Anytime.

Minggu, 23 Februari 2020

7 Days of Self-Challenge With Morning Journal Writing : Day #1

semoga Tuhan memahami maksud ibadah saya kali ini.


source: pexels.com



Monday, February 24th 2020. 



Tak ada yang lebih menyejukkan selain air wudhu yang menyentuh setiap jengkal permukaan kulitmu di waktu sepertiga malam.

Belum genap pukul tiga ketika saya mengintip sebaris angka yang terpampang di layar ponsel. Saya mengenyahkan selimut yang merengkuh tubuh saya, bergegas meninggalkan kasur, lalu me-nonaktifkan alarm sebelum ia sempat berdering di malam buta. Dingin masih begitu kentara. Namun itu tak menyurutkan niat saya untuk melangkah menuju kamar mandi.

Di dalam ruang yang berukuran tidak lebih besar dari kamar saya itu, udara dingin justru semakin dominan. Barangkali karena di sekitar hanyalah air dan hening. Ditambah lagi suara hujan yang berjatuhan di atap kamar mandi. Saya tak ingin berlama-lama. Segera saja saya meraih gayung yang berisi air, lalu membasuhkannya ke masing-masing telapak tangan. Sejuk dan menenangkan.

Itulah rasa yang pertama kali saya tangkap saat air itu hinggap di sepanjang permukaan kulit saya.

Nyaris tak ada kata yang keluar dari mulut saya selain rapalan doa. Itu pun hanya sebatas bisikan yang hanya sanggup didengar oleh telinga saya sendiri. Saya kembali berjalan ke dalam kamar, menyiapkan peralatan ibadah yang biasa saya gunakan, seraya memanjat doa di dalam hati—semoga Tuhan memahami maksud ibadah saya kali ini. 

Sajadah biru telah terbentang. Saya berdiri di atasnya. Dan untuk beberapa saat yang cukup lama, saya mengupayakan diri untuk melebur dalam kedamaian, melisankan sejumlah ayat suci dan beragam doa—yang lebih menyerupai suatu permintaan. 

Wahai Tuhan…
Dengarkanlah harap ini:
luruskan jalan saya,
beri saya perlindungan,
anugerahi saya kemudahan,
munculkanlah keajaiban,
bimbing saya menuju kebenaran.

Tuhan itu Mahakaya, saya sering meyakinkan diri sendiri. Ia selalu mengamini setiap permintaan tulus yang dihaturkan umatnya. Seperti yang tertulis dalam salah satu surah, Berdoalah kepadaKu, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Lagi pula saya percaya bahwa setiap munajat yang baik akan selalu menemukan jalannya untuk menjadi nyata. 

Usai ibadah itu, saya menuju dapur dan mempersiapkan sesuatu sebagai santapan sahur. Lampu ruang tengah dinyalakan terlebih dahulu. Lamat-lamat terdengar suara pengajian yang melantun dari kejauhan. Begitu merdu dan menenangkan. Saya meraih gelas kaca yang berisi air putih untuk membasahi tenggorokan saya yang sejak tadi terasa kering. Dalam hati saya berdoa, semoga ibadah puasa hari ini berjalan khidmat dan penuh berkah. 

Di samping itu, ada banyak sekali urusan yang perlu saya tuntaskan pada hari ini. Dimulai dari menyingkirkan beberapa surel yang tak perlu, membuat ulasan buku yang telah dan sedang saya baca, mengambil kacamata di optik, menulis jurnal pagi yang hendak saya dokumentasikan ke dalam blog pribadi saya, dan beberapa keperluan kecil lain yang bersifat personal.

Saya harap semua agenda itu berjalan lancar sesuai keinginan. 

Santap sahur telah tuntas. Kini saatnya saya mempersiapkan diri untuk memulai hari.  
Minggu, 30 September 2018

Broken Inside Out

Kenapa saya perlu repot-repot mengatur ini dan melarang itu sementara dia sangat keberatan dengan itu semua?

Maka, pada sore hari itu, sebuah kisah baru terungkap dan dibeberkan ke hadapan saya.

Bukan... Bukan sesuatu yang berpotensi membuat saya patah hati atau putus asa. Melainkan, sesuatu yang memotivasi diri saya untuk bercermin dan memperbaiki diri. Pada awalnya pun saya tak menyangka jika kenangan tentang dirinya dapat menyeruak ke permukaan. Setelah beberapa bulan kami lewati bersama, setelah sekian banyak mimpi yang kami bagi, dan cerita ini dibagi secara cuma-cuma kepada saya.

Itu berawal dari sebuah foto bersama mantan kekasihnya semasa SMA dulu. Dia membagikannya kepada saya, mengisahkan sedikit banyak tentang perempuan berambut panjang dengan mata kecil yang berdiri di sebelahnya. Keduanya tampak malu-malu, masih terlalu belia untuk mengenal cinta, saya rasa. Saat-saat ketika hormon belum berperan begitu banyak terhadap remaja seusia mereka.

Dan terlepas dari ekspresi mereka yang kala itu terlihat polos, saya berani bertaruh keduanya saling menyayangi dan menyediakan ruang untuk tumbuh bersama.

Begitu pula pengakuan yang diungkapkannya kepada saya pada sore itu.

Betapa dia menyesal pernah mengakhiri hubungan mereka yang berlangsung lumayan lama. Betapa perempuan ini, sesungguhnya memiliki hati yang tabah dan tak menuntut apa-apa kepada kekasihnya. Dia baik-baik saja, meskipun lelaki yang berstatus sebagai kekasihnya ini, tak pernah hadir di muka rumah di setiap malam Kamis ataupun malam Minggu. Mungkin tak banyak gadis di luar sana yang bisa bertahan ketika dihadapkan situasi yang demikian.

Usai kenangan itu, entah bagaimana saya seakan merasa tertampar dan membenci diri sendiri.

Siapa saya di kehidupannya selama ini?
Mengapa saya harus cemburu jika pada dasarnya saya tak memiliki hak sedikit pun?
Kenapa saya perlu repot-repot mengatur ini dan melarang itu sementara dia sangat keberatan dengan itu semua?

Dan saya merasa kerdil sekaligus picik lantaran saya jauh berbeda dengan perempuan yang pernah menjadi kekasihnya itu. Saya tak punya apa-apa. Ada masa di mana saya berpikir sebaiknya saya mundur dan menghilang saja. Mungkin dengan demikian hidupnya jauh lebih tenang. Bahkan saya membenci diri sendiri ketika saya bertingkah berlebihan, terlalu posesif, terlalu rapuh, sehingga rasanya saya tak pantas untuk dicinta sama sekali, oleh siapa pun.

Atau barangkali, memang itu yang telah digariskan Tuhan kepada saya. Not to love, and not to be loved.
Senin, 20 Agustus 2018

perihal menemukan diri sendiri





kelak, akan datang satu masa

di mana tangismu tak lagi kaurasakan

hanya tawa dan bahagia

sebab, kau telah lama menanggung perihmu sendiri

dan kautahu — semua penderitaanmu akan berakhir

pada saat itu, mungkin ia pun akan tahu

bahwa tak ada lagi jalan baginya untuk kembali
Sabtu, 24 Juni 2017

The Reason

Sebelum memulai tulisan ini, saya sudah membayangkan seperti apa respons dan konsekuensi yang akan saya terima. Sebagian di antara kalian mungkin beranggapan apa yang saya beritahukan di sini bukanlah sesuatu yang penting; atau barangkali, sebagian sudah menanti-nanti apa yang terjadi pada saya selama satu bulan terakhir.

Tepat sekali. Semua yang ingin saya sampaikan sebenarnya berkaitan dengan alasan saya menonaktifkan sejumlah akun sosial media untuk sementara waktu.

Akhir-akhir ini, saya harus bilang bahwa sosial media membawa dampak begitu besar di dalam kehidupan saya sehari-hari. Begitu pula dengan seluruh konten yang – tak bisa kita pungkiri – terkadang bisa sangat bermanfaat atau justru mendistraksi segala keteraturan sehingga aktivitas kita menjadi sangat tidak produktif. Sebut saja sejumlah kasus politik yang belakangan ini menyerupai letupan kembang api yang saling bersahut-sahutan. Satu konflik baru muncul ke permukaan, kemudian tak butuh satu hari sampai semua orang berbondong-bondong membicarakan kasus tersebut. Tak jarang, satu kubu akan menyerang kubu yang lain sehingga mengakibatkan satu pertikaian karena keduanya saling beradu pendapat atau salah satu tidak cukup dewasa dalam menerima satu kekalahan.

Kendati demikian, beberapa orang justru menganggap hal tersebut merupakan sesuatu yang sangat wajar di dalam ekosistem sosial media. Bahkan ada yang berpendapat, “bikin onar adalah cara terbaik untuk meraih satu popularitas.” Ironis ketika orang-orang di luar sana bersusah-payah menciptakan sejumlah prestasi, sementara masih ada yang tak keberatan mempermalukan diri sendiri.

Twitter dan Facebook adalah dua platform sosial yang cukup sering saya gunakan sejauh ini. Saya menggunakan keduanya untuk mempermudah saya dalam berinteraksi dengan orang-orang yang saya kenal, promosi buku atau project yang sedang saya kerjakan, mengunggah foto-foto dari smartphone saya, atau sekadar membagi tautan yang di-posting oleh salah satu akun resmi. Namun, entah bagaimana keduanya seolah berubah menjadi medan perang di mana semua orang berlomba-lomba mencapai puncak dunia.

Tak jarang saya terdorong untuk menyampaikan isi kepala saya dan bertanya-tanya apakah ada yang salah dengan mereka? Untuk sesaat, saya berpikir bahwa yang saya lakukan adalah tindakan yang tepat. Toh tidak ada yang membatasi kebebasanmu dalam beraspirasi di sosial media. Tapi, kemudian rasa sesal menghinggapi diri saya. Serta-merta saya berpikir, apa bedanya saya dengan mereka di luar sana? Berusaha mendapat pengakuan dengan bersikap sarkastik. Bukankah akan lebih baik apabila mereka tak perlu mengetahui kemarahanmu?

Pertanyaan itulah yang menghantui saya selama berhari-hari sampai saya tergerak untuk menjauhi Twitter dan Facebook selama beberapa saat. Menonaktifkan keduanya bukanlah sebuah tantangan besar. Saya sering melakukannya setiap kali saya butuh waktu untuk berkonsentrasi terhadap satu hal, atau pada beberapa alasan yang tidak bisa saya jelaskan secara spesifik. Selain itu, saya sengaja melakukannya karena bertepatan dengan momen Ramadan. Saya tidak ingin jari-jari saya mengetik kalimat sarkasme yang justru akan merusak ibadah puasa yang saya jalani. Sebisa mungkin menjauhi mata saya dari segala sesuatu yang tidak ingin saya lihat. Pun saya tidak ingin seseorang memancing emosi saya yang kelak akan berujung pada perdebatan.

Maka, pada 26 Mei lalu, saya harus menekan tombol ‘deactivate’ dan mulai membiarkan diri saya hidup dalam dunia nyata. Sebisa mungkin berhenti mengakses sosial media, meskipun saya kerap muncul di Instagram dan sesekali mengunggah foto. Hari-hari tanpa Twitter dan Facebook lebih sering saya habiskan dengan membaca buku dan menyelesaikan naskah yang sedang saya tulis. Saya juga menyisihkan 10 menit dalam satu hari untuk bermeditasi di tengah malam. 


Kini, setelah sebulan berlalu, atau lebih tepatnya setelah 28 hari di bulan Ramadan, saya mulai mengaktifkan akun Twitter dan Facebook saya kembali. Tentu segalanya terasa berbeda seperti terakhir kali saya meninggalkannya. Sedikit demi sedikit saya harus terbiasa dengan segenap informasi yang sempat saya jauhi beberapa waktu kemarin. Satu hal yang pasti, saya merasa sedikit lebih bijaksana dalam menggunakan sosial media. Tidak perlu memeriksa smartphone untuk hal-hal yang kurang penting, tidak menjadikan Twitter dan Facebook sebagai candu karena saya memiliki sejumlah prioritas di kehidupan nyata. Lagi pula saya percaya, tak selamanya teknologi memiliki nilai yang istimewa. Pada akhirnya ia justru membuat manusia lekas merasa jenuh.  
Rabu, 10 Mei 2017

Satu Kata yang Tepat Untuk Perpisahan

“Sebenarnya itu cuma akal-akalan pihak marketing-nya aja. Embel-embel halal atau go-green di suatu produk segmentasinya lebih ke konsumen yang secara kebetulan menganut konsep yang sama. Contohnya nih, lotion Vaseline kan ada berbagai varian; night untuk penggunaan malam hari, insta-white untuk kulit yang cerah seketika. Terus mereka menghadirkan inovasi baru, katakanlah Vaseline Muslimah, yang komposisinya bebas dari minyak atau lemak babi,  atau mungkin mercury. Menurut mereka, sebagian cewek cenderung concerned sama masalah begituan, padahal pada intinya sama. Konsep itu dipakai cuma untuk menarik pelanggan aja.”

Di bawah gemerlap lampu jalan dan langit malam kota Jakarta, saya terhanyut oleh segenap penjelasan yang dia sampaikan. Perbincangan itu berawal ketika saya memaparkan cuplikan iklan yang saya temui di bioskop tadi; deterjen halal yang entah bagaimana bisa mengubah gaya hidup seorang perempuan, termasuk sikapnya kepada sang ayah.

Menakjubkan ketika topik lucu seperti itu bisa menjadi pembahasan yang ilmiah dan sangat berarti. Tadinya saya justru mengira dia akan merespons kisah saya dengan tawa garing atau ledekan yang ujung-ujungnya akan merembet ke topik lain. Namun, untuk pertama kalinya dalam hidup saya, seseorang bersedia membicarakan satu masalah sampai tuntas.

Pembicaraan kami terus mengalir selagi motor yang dikendarainya melaju di tengah jalan kota Jakarta yang lengang. Kami membahas Kalijodo, membahas sekumpulan orang berpakaian serba putih yang kabarnya bebas dari segala dosa, lalu kami menjelek-jelekkan mereka. Di antara percakapan yang tanpa akhir itu, sesekali saya menatap sejumlah gedung pencakar langit yang berjejer di setiap ruas jalan. Saya mulai menyadari satu hal—setelah hari ini, segalanya tak akan pernah sama lagi.

Setidaknya bukan untuk saya saja; tapi, untuk dia juga.

Kami menghabiskan sekurang-kurangnya dua jam di dalam Starbucks Metropole sambil membahas linguistik, hal-hal ringan seperti film Totoro yang baru saja saya saksikan seorang diri—meskipun saya memiliki dua tiket. Dan dia sangat menyayangkan hal tersebut. Berkata, seandainya saja dia bisa menemani saya alih-alih tiba di Plaza Indonesia dan menghabiskan satu jam di sana dengan memakan es krim.

Saya percaya dia bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Dan itu bukanlah sesuatu yang patut disesali. Karena setidaknya, dia memperlihatkan keinginannya untuk menemui saya, bercengkerama ditemani cangkir styrofoam berisi mint-blend tea. Cangkir berukuran Venti dengan dua tea-bag milik saya, sementara dia memilih size Grande tanpa membubuhkan gula bubuk di dalamnya. Barangkali dia sedang menjalani diet gula; setidaknya itulah yang saya pikirkan kala itu.

Lantas, dia bertanya satu hal kepada saya tentang dua kantung teh yang tenggelam di dalam cangkir styrofoam milik saya. Pertanyaan itu muncul tepat ketika saya beranjak dari konter untuk mengambil gula putih bubuk dalam kemasan. Dengan penuh percaya diri, saya menjawab, “The more tea bag, the better taste you will get. Ini kan air di dalam cangkirnya agak penuh, kalau cuma dikasih satu tea-bag rasanya bakalan hambar.”

“Itu artinya, kadar kafeinnya semakin tinggi.”

Saya sepenuhnya yakin bahwa dia akan mulai menguliahi saya mengenai pro dan kontra konsumsi kafein yang berlebihan. Jadi, saya memilih bungkam. Lagi pula suasana di dalam Starbucks mulai tampak sepi, tak lebih dari 4 bangku yang dihuni pengunjung.

By the way, thank you buat bukunya. Nggak nyangka bisa dikasih langsung sama penulisnya.”

“Mudah-mudahan bisa bikin kamu bercucuran air mata pas di dalam pesawat.”

Dalam hitungan detik, tawanya bergemirincing di udara. Tawa yang membuat pipinya terlihat penuh, dan sepasang matanya menyerupai lengkung bulan sabit. Meskipun demikian, saya tidak pernah menginginkan respons seperti itu. Saya justru berharap dia bertanya – “apa yang patut saya tangisi ketika membaca buku ini?”

Kala itu saya tergerak untuk memaparkan kisah yang selengkap-lengkapnya; kalau perlu, membujuk dia agar mengerti bahwa saya membenci suatu pertemuan apabila pada akhirnya harus berhadapan dengan suatu perpisahan. Namun, tak ada kalimat deskriptif yang benar-benar terucap dari mulut saya. Tak ada nasihat ataupun pesan-pesan. Hingga suatu hari kelak, saya akhirnya punya keberanian untuk membiarkan dia tahu apa yang telah saya rasakan semenjak malam itu.

Manusia, pada situasi apa pun, kerap dihadapkan dengan dua pilihan sulit. Pergi atau tinggal, lepas atau ambil, jujur atau bohong, hitam atau putih. Mereka yang menghindari suatu pertemuan biasanya memiliki alasannya masing-masing. Senyum dan tawa, kisah yang telah dibagi satu sama lain, sampai kapan pun akan selalu terkenang. They’ve gotten used to spending a lot of time together, and saying goodbye is never easy.

Hari demi hari saya jalani dengan menyibukkan diri. Lagu-lagu yang mengingatkan saya kepada dia mulai saya hapus dari ponsel. Kendati saya yakin, kesemua lagu itu akan muncul sewaktu-waktu dan mulai mengusik memori saya. Setidaknya itulah yang terjadi ketika saya menuntaskan tulisan ini, di dalam transportasi online, di mana Gen FM tengah menyenandungkan lagu yang sempat menjadi favorit kami berdua.


Telah habis sudah cinta ini
Tak lagi tersisa untuk dunia
Karena telah kuhabiskan sisa cintaku untukmu

Betapa kala itu saya sangat membenci diri saya sendiri. Saya benci menengok tanggal pada almanak yang mengingatkan saya pada tanggal keberangkatannya. Saya benci karena malam itu saya tidak sanggup mengatur ego di dalam diri saya. Seandainya saja saya sanggup menolak ajakannya untuk bertemu, seandainya saya tidak memintanya untuk tetap tinggal; mungkin segalanya akan baik-baik saja. Mungkin segalanya tidak akan serumit ini.


Namun, tak peduli seberapa keras saya berusaha, pada akhirnya akan terasa percuma. Siap atau tidak, dia akan tetap pergi. Bahkan ketika tulisan ini berhasil saya selesaikan, saya masih belum bisa menemukan kata yang tepat untuk sebuah perpisahan. Satu-satunya hal yang bisa saya lakukan hanyalah menunggu – selama 365 hari ke depan.