~ 27 ~

Write. Anywhere. Anytime.

Minggu, 30 September 2018

Broken Inside Out

Kenapa saya perlu repot-repot mengatur ini dan melarang itu sementara dia sangat keberatan dengan itu semua?

Maka, pada sore hari itu, sebuah kisah baru terungkap dan dibeberkan ke hadapan saya.

Bukan... Bukan sesuatu yang berpotensi membuat saya patah hati atau putus asa. Melainkan, sesuatu yang memotivasi diri saya untuk bercermin dan memperbaiki diri. Pada awalnya pun saya tak menyangka jika kenangan tentang dirinya dapat menyeruak ke permukaan. Setelah beberapa bulan kami lewati bersama, setelah sekian banyak mimpi yang kami bagi, dan cerita ini dibagi secara cuma-cuma kepada saya.

Itu berawal dari sebuah foto bersama mantan kekasihnya semasa SMA dulu. Dia membagikannya kepada saya, mengisahkan sedikit banyak tentang perempuan berambut panjang dengan mata kecil yang berdiri di sebelahnya. Keduanya tampak malu-malu, masih terlalu belia untuk mengenal cinta, saya rasa. Saat-saat ketika hormon belum berperan begitu banyak terhadap remaja seusia mereka.

Dan terlepas dari ekspresi mereka yang kala itu terlihat polos, saya berani bertaruh keduanya saling menyayangi dan menyediakan ruang untuk tumbuh bersama.

Begitu pula pengakuan yang diungkapkannya kepada saya pada sore itu.

Betapa dia menyesal pernah mengakhiri hubungan mereka yang berlangsung lumayan lama. Betapa perempuan ini, sesungguhnya memiliki hati yang tabah dan tak menuntut apa-apa kepada kekasihnya. Dia baik-baik saja, meskipun lelaki yang berstatus sebagai kekasihnya ini, tak pernah hadir di muka rumah di setiap malam Kamis ataupun malam Minggu. Mungkin tak banyak gadis di luar sana yang bisa bertahan ketika dihadapkan situasi yang demikian.

Usai kenangan itu, entah bagaimana saya seakan merasa tertampar dan membenci diri sendiri.

Siapa saya di kehidupannya selama ini?
Mengapa saya harus cemburu jika pada dasarnya saya tak memiliki hak sedikit pun?
Kenapa saya perlu repot-repot mengatur ini dan melarang itu sementara dia sangat keberatan dengan itu semua?

Dan saya merasa kerdil sekaligus picik lantaran saya jauh berbeda dengan perempuan yang pernah menjadi kekasihnya itu. Saya tak punya apa-apa. Ada masa di mana saya berpikir sebaiknya saya mundur dan menghilang saja. Mungkin dengan demikian hidupnya jauh lebih tenang. Bahkan saya membenci diri sendiri ketika saya bertingkah berlebihan, terlalu posesif, terlalu rapuh, sehingga rasanya saya tak pantas untuk dicinta sama sekali, oleh siapa pun.

Atau barangkali, memang itu yang telah digariskan Tuhan kepada saya. Not to love, and not to be loved.
Senin, 20 Agustus 2018

perihal menemukan diri sendiri





kelak, akan datang satu masa

di mana tangismu tak lagi kaurasakan

hanya tawa dan bahagia

sebab, kau telah lama menanggung perihmu sendiri

dan kautahu — semua penderitaanmu akan berakhir

pada saat itu, mungkin ia pun akan tahu

bahwa tak ada lagi jalan baginya untuk kembali
Sabtu, 24 Juni 2017

The Reason

Sebelum memulai tulisan ini, saya sudah membayangkan seperti apa respons dan konsekuensi yang akan saya terima. Sebagian di antara kalian mungkin beranggapan apa yang saya beritahukan di sini bukanlah sesuatu yang penting; atau barangkali, sebagian sudah menanti-nanti apa yang terjadi pada saya selama satu bulan terakhir.

Tepat sekali. Semua yang ingin saya sampaikan sebenarnya berkaitan dengan alasan saya menonaktifkan sejumlah akun sosial media untuk sementara waktu.

Akhir-akhir ini, saya harus bilang bahwa sosial media membawa dampak begitu besar di dalam kehidupan saya sehari-hari. Begitu pula dengan seluruh konten yang – tak bisa kita pungkiri – terkadang bisa sangat bermanfaat atau justru mendistraksi segala keteraturan sehingga aktivitas kita menjadi sangat tidak produktif. Sebut saja sejumlah kasus politik yang belakangan ini menyerupai letupan kembang api yang saling bersahut-sahutan. Satu konflik baru muncul ke permukaan, kemudian tak butuh satu hari sampai semua orang berbondong-bondong membicarakan kasus tersebut. Tak jarang, satu kubu akan menyerang kubu yang lain sehingga mengakibatkan satu pertikaian karena keduanya saling beradu pendapat atau salah satu tidak cukup dewasa dalam menerima satu kekalahan.

Kendati demikian, beberapa orang justru menganggap hal tersebut merupakan sesuatu yang sangat wajar di dalam ekosistem sosial media. Bahkan ada yang berpendapat, “bikin onar adalah cara terbaik untuk meraih satu popularitas.” Ironis ketika orang-orang di luar sana bersusah-payah menciptakan sejumlah prestasi, sementara masih ada yang tak keberatan mempermalukan diri sendiri.

Twitter dan Facebook adalah dua platform sosial yang cukup sering saya gunakan sejauh ini. Saya menggunakan keduanya untuk mempermudah saya dalam berinteraksi dengan orang-orang yang saya kenal, promosi buku atau project yang sedang saya kerjakan, mengunggah foto-foto dari smartphone saya, atau sekadar membagi tautan yang di-posting oleh salah satu akun resmi. Namun, entah bagaimana keduanya seolah berubah menjadi medan perang di mana semua orang berlomba-lomba mencapai puncak dunia.

Tak jarang saya terdorong untuk menyampaikan isi kepala saya dan bertanya-tanya apakah ada yang salah dengan mereka? Untuk sesaat, saya berpikir bahwa yang saya lakukan adalah tindakan yang tepat. Toh tidak ada yang membatasi kebebasanmu dalam beraspirasi di sosial media. Tapi, kemudian rasa sesal menghinggapi diri saya. Serta-merta saya berpikir, apa bedanya saya dengan mereka di luar sana? Berusaha mendapat pengakuan dengan bersikap sarkastik. Bukankah akan lebih baik apabila mereka tak perlu mengetahui kemarahanmu?

Pertanyaan itulah yang menghantui saya selama berhari-hari sampai saya tergerak untuk menjauhi Twitter dan Facebook selama beberapa saat. Menonaktifkan keduanya bukanlah sebuah tantangan besar. Saya sering melakukannya setiap kali saya butuh waktu untuk berkonsentrasi terhadap satu hal, atau pada beberapa alasan yang tidak bisa saya jelaskan secara spesifik. Selain itu, saya sengaja melakukannya karena bertepatan dengan momen Ramadan. Saya tidak ingin jari-jari saya mengetik kalimat sarkasme yang justru akan merusak ibadah puasa yang saya jalani. Sebisa mungkin menjauhi mata saya dari segala sesuatu yang tidak ingin saya lihat. Pun saya tidak ingin seseorang memancing emosi saya yang kelak akan berujung pada perdebatan.

Maka, pada 26 Mei lalu, saya harus menekan tombol ‘deactivate’ dan mulai membiarkan diri saya hidup dalam dunia nyata. Sebisa mungkin berhenti mengakses sosial media, meskipun saya kerap muncul di Instagram dan sesekali mengunggah foto. Hari-hari tanpa Twitter dan Facebook lebih sering saya habiskan dengan membaca buku dan menyelesaikan naskah yang sedang saya tulis. Saya juga menyisihkan 10 menit dalam satu hari untuk bermeditasi di tengah malam. 


Kini, setelah sebulan berlalu, atau lebih tepatnya setelah 28 hari di bulan Ramadan, saya mulai mengaktifkan akun Twitter dan Facebook saya kembali. Tentu segalanya terasa berbeda seperti terakhir kali saya meninggalkannya. Sedikit demi sedikit saya harus terbiasa dengan segenap informasi yang sempat saya jauhi beberapa waktu kemarin. Satu hal yang pasti, saya merasa sedikit lebih bijaksana dalam menggunakan sosial media. Tidak perlu memeriksa smartphone untuk hal-hal yang kurang penting, tidak menjadikan Twitter dan Facebook sebagai candu karena saya memiliki sejumlah prioritas di kehidupan nyata. Lagi pula saya percaya, tak selamanya teknologi memiliki nilai yang istimewa. Pada akhirnya ia justru membuat manusia lekas merasa jenuh.  
Jumat, 21 April 2017

Sayonara, Mewko - Tentang Pertemuan dan Kehilangan

Apa yang pertama kali terlintas di pikiranmu ketika mendengar bulan April? Langit biru dan matahari yang berpijar cerah? Warna-warni bunga yang bersemi? Atau justru hujan yang sesekali datang dan tak ingin pergi?

Bagi saya, April tak ayalnya seperti hari-hari yang penuh kejutan. Ada-ada saja peristiwa yang terjadi di luar ekspektasi. Dan anehnya, beberapa peristiwa itu identik dengan awan kelabu, hujan air mata, mendung dan hujan yang sesungguhnya.

Saya masih ingat dengan jelas rangkaian peristiwa pada Sabtu di siang yang dipenuhi rintik gerimis itu. Bau asap kendaraan dan aroma aspal yang basah, kardus-kardus terbengkalai, dan seekor anak kucing yang bersembunyi di balik ember kosong. Di bawah payung merah yang melindungi kepala saya dari sisa hujan, saya memperhatikan sosoknya yang mungil. Dia menatap saya iba. Saya mengajaknya berbicara dengan bahasa yang (mungkin) tidak dia mengerti, membujuknya agar tetap tenang; namun semua usaha itu tak mampu membuat isak tangisnya terhenti.

Anak kucing itu terlihat seperti kucing-kucing kecil pada umumnya. Keempat kaki yang ringkih, sepasang bola mata abu-abu dan bibir yang mungil. Dia memiliki tubuh dengan bulu putih yang sangat dominan, juga ekor panjang yang hampir sama seperti ukuran tubuhnya. Satu hal yang membuat dia tampak istimewa, ada sebuah tanda berwarna hitam di atas mata kanannya.

Hal itu serta-merta membuat saya ingin memilikinya.

Maka, tanpa memikirkan risiko yang akan saya terima, saya mengambil keputusan untuk mengadopsinya. Tangisnya berhenti setelah itu. Yang terdengar hanyalah suara dengkuran yang menandakan bahwa dia nyaman berada di dekat saya.

Empat hari berlalu dengan sejumlah kegiatan yang kami lalui bersama. Dan selama empat hari, saya belum menemukan satu nama yang tepat untuk dirinya. Saya kerap memanggilnya manis, dan dia akan membalas panggilan saya dengan suara yang ceria, Suara yang masih sama seperti pertama kali saya mendengarnya. Dia selalu berlari ke mana pun kaki saya melangkah, merengek setiap kali saya lupa memberinya makan.

Untuk beberapa saat, saya memahami seperti apa rasanya menjadi orang tua. Saya jadi terbiasa meninabobokannya sebelum dia terlelap; terbangun di malam buta hanya untuk menemaninya buang air besar; menerima cakarannya setiap kali saya mengabaikan kehadirannya di sebelah saya. Dan tidak jarang saya menjadi pengganggu di saat dia sedang terlelap; menggelitik perut buncitnya, memelintir telinganya yang lebar, sampai akhirnya dia terpaksa menyudahi tidur dan kembali bermain bersama saya.

Empat hari yang terasa manis sebelum kecelakaan itu menimpa dirinya.

Sore itu, tingkah lakunya tampak aneh dan tak bersahabat. Saya tidak yakin apa yang telah terjadi karena sebelumnya dia masih baik-baik saja. Pagi hari dia masih makan seperti biasa. Dia masih sempat berlarian sebelum saya akhirnya berangkat kerja. Setelah saya berusaha mengumpulkan fakta dan bertanya ke sana kemari, akhirnya saya tahu—tenggorokannya tercekik tulang yang membuat suaranya parau dan napasnya tersengal-sengal. Dan yang paling membuat saya ikut terluka, saya tidak tahu bagaimana menyelamatkannya selain membawanya ke dokter hewan.

Betapa saya bertekad menyelamatkan hidupnya saat itu juga. Ingin dia tetap sehat, ingin melihatnya tumbuh besar dan bermain bersama saya dalam beberapa hari ke depan. Dan saya rela melakukan apa saja asalkan dia bisa tertolong dari penderitaannya.

Di hadapan dokter hewan yang tengah menangani kucing saya, tak henti-hentinya saya membuang muka karena saya tak tega mendengar rintihannya yang memilukan; tak sampai melihat hati melihat ekspresi wajahnya yang menegang, matanya yang nyaris keluar, dan aneka gestur yang menunjukkan bahwa dia tidak nyaman diperlakukan demikian. Tapi, hanya itu satu-satunya jalan. Mengambil langkah operasi dengan cara memberi obat bius sama saja seperti membunuhnya perlahan. Tulang itu mungkin bisa ditarik keluar dari tenggorokannya, namun nyawanya tak akan mungkin terselamatkan.

Susah payah saya menelan kenyataan tersebut. Meskipun proses penyembuhannya hanya berlangsung tidak lebih dari 30 menit, tetap saja saya merasa khawatir terhadap dirinya. Apakah dia akan baik-baik saja dalam beberapa hari ke depan? Akankah dia benar-benar sehat? Mungkinkah dia kembali ceria setelah ini?

Tuhan tahu saya telah berusaha.

Dan saya akan terus berusaha untuk menjaga dirinya semampu saya.

Sepulangnya dari dokter hewan, saya langsung menamainya Mewko. Saya tidak tahu dari mana gagasan itu berasal, tapi yang pasti—ia terdengar lucu untuk seekor kucing betina. Dia pun sama sekali tak keberatan dengan nama itu.

Hari setelah kunjungan ke dokter hewan itu, saya masih sering dihantui perasaan khawatir dan cemas yang tak beralasan. Saya bukan tipikal orang yang bisa percaya dengan mudah terhadap satu hal. Saya tipikal orang yang analisis dalam segala aspek. Dan saya mulai penasaran, kapan Mewko bisa mengeluarkan suara seperti sediakala? Kenapa Mewko masih tampak lesu setiap kali saya mengajaknya bermain?

Apakah suara Mewko akan hilang secara permanen setelah penyembuhan itu?
Apakah mungkin dia tidak bisa bertahan lama?
Apakah dia baik-baik saja?


Sekalipun saya bertanya kepada Mewko, saya tidak akan pernah tahu jawabannya. Dia tidak mengerti apa yang saya ucapkan. Dia juga tidak bisa bicara menggunakan bahasa yang saya gunakan. Jadi, perlahan-lahan saya mengusir aneka hipotesis tersebut dari kepala saya. Berusaha meyakinkan diri saya bahwa Mewko akan baik-baik saja.

Namun, kamu tak akan pernah tahu kapan harus memadamkan harapanmu.

Seseorang menelepon saya dan memberi tahu keadaan Mewko yang sesungguhnya. Saya sempat tidak percaya pada apa yang disampaikan orang tersebut. Lagi pula, saya ingat dengan baik, beberapa jam sebelum berangkat kerja, saya masih sempat memberinya makan dan menyuapinya susu—meskipun dia harus memuntahkan dari mulutnya.

Karena ingin membuktikan kabar tersebut, saya memberanikan diri pulang pada jam makan siang dan mencari tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Dan kalimat klise itu kembali saya senandungkan di dalam kepala saya—everything will be alright, Joy. Anehnya, it didn’t work properly. Di saat-saat demikian, logika kerapkali mengalahkan perasaan. Itulah yang mereka namakan accepting reality.
Setibanya saya di muka rumah, saya terperangah bukan kepalang dengan apa yang saya lihat.
Mewko, dengan bulu putihnya yang bersih, terkapar tak berdaya di atas seonggok kardus. Sepasang matanya terpejam meskipun tak tertutup erat. Saya menghampirinya dengan langkah pelan, dan berusaha mengucapkan kalimat klise tadi berulang-ulang. Tapi faktanya, tidak ada yang baik-baik saja; ini adalah sesuatu yang tidak saya inginkan.

Saya meraba bantalan tangannya yang pucat. Dingin. Menggelitik perutnya beberapa kali, berharap tindakan saya bisa membangunkan tidurnya. Tapi tidak ada reaksi sama sekali yang saya terima. Mewko bungkam dalam kedamaian yang dia miliki. Atau barangkali, saya terlalu tuli untuk mendengar suaranya yang lirih. Saya tidak sadar apakah dia sempat menjawab panggilan saya dan meminta saya untuk merengkuh tubuhnya.

Mewko, saya harap kamu memaafkan saya karena saya mengabaikan permintaanmu.
Segenap fragmen itu kembali berputar di koridor memori saya. Hari di mana saya menatapnya untuk pertama kali; seorang pria di bawah lindungan payung merah, jatuh cinta kepada sepasang mata abu-abu dan tanda hitam di atas mata kanan yang dimiliki seekor kucing kecil.

Saya akan selalu ingat malam di mana kamu merengek minta ditemani buang air di dalam kamar mandi. 
Saya akan selalu ingat saat kamu dengan gemasnya mencakar setiap anggota saya karena saya tidak kunjung bangun.
Saya akan selalu ingat pada lengking suaramu yang menyerupai chord A major.
Saya akan selalu jatuh cinta pada setiap kenakalan dan keempat kakimu yang ringkih.
Dan saya tidak akan pernah lupa air matamu sewaktu dokter itu berusaha menyembuhkanmu.


Sekali lagi, maaf yang sedalam-dalamnya.
Maaf karena saya belum bisa menjadi majikan yang baik.
Maaf karena sering menelantarkan kamu selama saya bekerja.
Maaf apabila rengekan kamu seringkali tidak mampu saya sanggupi.
Maaf untuk fasilitas di kamar yang seadanya.
Maaf karena sering mengusik waktu tidurmu,
Maaf karena saya terlalu lalai sehingga kamu tiba-tiba hendak pergi.
Maaf apabila kepergianmu masih belum saya ikhlaskan.


Dan, terima kasih karena sudah bersedia dibawa pulang di hari Sabtu yang rintik itu. Terima kasih atas enam hari yang menyenangkan dan tak terlupakan bersama kamu. Things come and go, but memories about you will still remain, Mewko. Berisitarahatlah dengan tenang.
Rabu, 08 Februari 2017

Sepekan Bercinta Dalam Cinta Akhir Pekan


Rasanya baru kemarin saat saya dan Dadan Erlangga duduk di meja yang sama. Secangkir Earl Grey Tea hangat, perbincangan yang mengalir dari topik ke topik, dan alunan musik dari sound system di restoran Giggle Box. Saya masih ingat lagu yang diputar pada siang hari yang mendung itu—Star In Your Eyes milik Mocca.

Dan saya akan selalu ingat bahwa setahun lalu, tepat hari ini, adalah pertemuan pertama kami.
Gagasan itu terbentuk ketika saya sedang menghabiskan malam terakhir saya di kota Bandung. Usai berkunjung ke Gramedia Merdeka, saya membawa pulang aneka buku dengan harga murah. Satu di antaranya terdapat karya milik Dadan Erlangga. Ialah Dongeng Patah Hati, omnibook sejumlah penulis yang diterbitkan Gagas Media. 

(Jelaga, sebuah cerpen yang ditulis Dadan Erlangga dalam buku Dongeng Patah Hati)

Saya tak perlu membuang waktu untuk sekadar bertanya apakah beliau bersedia bertemu esok hari?
Dadan Erlangga, dengan segala kemurahan hatinya, menyanggupi permintaan saya. Senin adalah hari di mana kamu bisa menculiknya seharian penuh. Dan atas jawaban itu, kami sepakat untuk bertemu di Giggle Box Braga City Walk.

(Sesi booksigning bersama Dadan Erlangga)


Beragam kisah yang dia bagikan siang itu berhasil menambah pengetahuan saya. Dia baru saja selesai menandatangani buku Dongeng Patah Hati persis di halaman yang saya minta. Namun, semua itu masih jauh dari kata selesai. Dia menghadiahi saya sesuatu setelah saya membahas buku terbarunya yang berjudul Cinta Akhir Pekan. Sebuah amplop Par Avion yang dibubuhi stempel berinisial namanya.



“Ini apa, Kak?” tanya saya.

“Sebenarnya itu bonus dari buku Cinta Akhir Pekan. Cuma orang-orang yang beli via pre-order aja yang bisa dapat itu.”

“Aku penasaran sama isinya.”

“Jangan dibuka dulu!” cegahnya. “Baru boleh dibuka kalau udah selesai baca bukunya. Tapi, biar nggak penasaran, aku kasih clue deh. Ini semacam extension part dari bukunya, kayak mid-credit di film-film gitu.”

Saya semakin dihujani rasa penasaran. Betapa saya ingin melanggar nasihatnya kala itu; betapa saya ingin segera pulang ke rumah untuk mengambil buku Cinta Akhir Pekan dan melahapnya di Bali kelak. Dan betapa satu tahun terasa sangat cepat ketika saya berhasil menuntaskan Cinta Akhir Pekan dengan sisa tangis yang membasahi mata saya.

Nyaris kehabisan kata-kata untuk mendeskripsikan isi buku tersebut. Kamu akan merasa jengkel, bahagia, terharu, sedih, kesal, dan terpukau secara bersamaan. Dan satu fakta bahwa penulis yang hebat adalah mereka yang sanggup mengguncang emosimu.

Chandra yang polos, namun penuh kejujuran dan pemberani.

Arlin yang ceroboh, namun lovable.

Dita yang misterius.

Dan kamu tak akan pernah menebak bahwa di balik sosok yang tampak sempurna, selalu ada sejuta keburukan yang tersimpan rapat.




Terus terang, membaca Cinta Akhir Pekan rasanya tak cukup sekali. Saya berharap Dadan Erlangga menghadiahi saya mesin waktu alih-alih sebuah amplop. Seandainya saja saya bisa memutar waktu dan mengubah takdir yang menimpa Arlin; seandainya saja dia tidak terlalu bodoh; seandainya saja dia menyadari perasaan pria yang mencintainya meski diam-diam; seandainya saja Chandra berani berterus terang sedari awal.

Tapi, saya bukanlah author kisah ini.

Dadan-lah yang memegang kendali. Dia telah berusaha semampunya melahirkan Cinta Akhir Pekan. Melewati ratusan hari dengan cangkir kopi dan pinggang yang nyaris copot. Dan saya rasa, sebagai seorang pembaca, saya patut memberi sebuah apresiasi.

Dadan Erlangga menulis dengan cara yang sangat manis. Dia seperti vanila pada secangkir teh yang kamu sesap. Kamu tak akan pernah tahu kapan kalimat puitisnya akan berakhir, dan tanpa kamu sadari segalanya berubah getir. Tulisannya begitu rapi dan magical. Jarang sekali ada seorang penulis selembut dirinya.

Untuk melengkapi review ini, saya anugerahi empat buah bintang kepada Cinta Akhir Pekan.


 Empat bintang tersebut mewakili beberapa poin sebagai berikut:
1.       Karena keunikan karakter yang dia ciptakan
2.       Twist dan jalan cerita yang mirip roller-coaster
3.       Pemilihan diksi
4.       Minim typo (meskipun saya sempat menemukan satu atau dua)

Siapa pun yang mendambakan kisah cinta yang ringan, manis, namun tetap asyik, bisa membaca buku ini. Saya bisa menjamin Cinta Akhir Pekan bisa membuatmu jatuh cinta pada pandangan pertama.

Minggu, 04 Desember 2016

The Unforgotten

Hampir semua orang memiliki doanya masing-masing sebelum memulai aktivitas mereka. Sebagian mungkin ada yang berdoa supaya cuaca selalu bersahabat; lekas bertemu jodoh; pulang ke rumah tepat waktu; atau barangkali berharap adanya hujan uang dari langit. Tapi, aku nyaris tidak pernah memanjatkan doa-doa seperti itu. Bagiku, itu terlalu ketinggian. Orang harus bersikap realistis sesekali.
Alih-alih berkeinginan yang kurang masuk akal, setiap harinya aku justru berdoa supaya bisa bertemu Oby dan teman-temannya di tempat biasa. Aku selalu berdoa supaya ia tidak kabur ke mana-mana, supaya tidak dilempari batu oleh anak-anak usil, supaya tidak ada yang menyuapinya dengan racun tikus, dan supaya dia masih sudi menungguku di tempat itu.
Kau akan tertawa jika aku berterus-terang mengenai identitas Oby yang sesungguhnya.
Jadi, Oby adalah seekor kucing kampung yang kutemui ketika pindah ke rusun Bidaracina. Dialah satu-satunya makhluk hidup yang hadir di mulut gang itu, memelototi kemunculan seorang pria berkemeja flanel yang tergopoh-gopoh membawa kardus di pundaknya. Aku jadi teringat bagaimana dia bersuara sewaktu aku melintas di hadapannya dan serta-merta membuntutiku sampai ke bangunan rusun.
Tidak ada filosofi khusus atas nama yang kuberikan padanya. Nama itu muncul begitu saja ketika aku mengusap dagunya dan menasihati untuk tidak mengikutiku sampai ke lantai atas. Dan, sejak saat itulah pertemanan kami berawal.
Pagi hari adalah waktu yang tepat untuk mengunjungi Oby di mulut gang. Tempat di mana ia, Lastri, Bisma, dan Arga asyik nongkrong di sebelah gerobak bubur ayam yang kian hari kian sepi pelanggan. Tanpa perlu kuberi penjelasan pun, kurasa kalian sudah bisa menebak bahwa nama-nama yang kusebut barusan adalah makhluk hidup yang sama seperti Oby.
Belum genap langkahku berada di sekitar tempat itu, dari kejauhan tampak seseorang tengah mengusik aktivitas mereka. Aku tak tahu persis apa yang dia lakukan di sana, jadi kurasa tak ada salahnya untuk bertanya.
“Saya perlu memberi kucing-kucing ini sarapan, kalau Anda tidak keberatan.”
Orang itu menengadah, mengangkat wajahnya yang sejak tadi tersembunyi di balik tudung sweater abu-abu. Ada beberapa bulir peluh yang mengalir di pelipisnya.
“Kamu pemilik kucing-kucing ini, ya?” Kontan, ia beranjak dan membuka tudung sweater itu. Membiarkan rambut hitamnya yang dikuncir menyambut matahari pagi. “Maaf, aku pikir mereka semua kucing liar.”
Lidahku terasa kelu, sendi mendadak kaku. Bukan karena ia yang baru saja mengungkapkan identitasnya sebagai perempuan—bukan. Ia memang seorang perempuan. Tapi, ia memiliki kulit cokelat yang menarik, senyuman mematikan dengan satu gigi gingsul di sebelah kiri. Fakta bahwa celana training abu-abu yang ia kenakan pun tak sanggup menutup pesona yang ia miliki. Sepertinya, ia baru saja selesai berolahraga.
Di bawah sana, suara Oby dan ketiga kerabatnya terus mengusik fantasiku. Mataku mengerjap beberapa saat sebelum akhirnya berjongkok dan membagi-bagikan potongan roti isi cokelat kepada mereka.
“Masing-masing kucing ini tentu punya nama, kan?”
Aku mengangguk. “Yang bulunya belang tiga itu Arga. Cara mengenalinya gampang, dia yang paling ramping. Bisma yang hidungnya hitam. Satu-satunya yang betina, namanya Lastri. Sepertinya dia lagi hamil. Dan yang ini—“ aku menggapai kucing berperut buncit dengan bulu berwarna kuning dan putih. “—ini favorit saya, namanya Oby, the one who always asking for his extra-meals.
What a cute name!” Kedua sudut bibirnya tertarik hingga matanya tampak hanya segaris. Sambil menggosok leher Oby, dia menyapa, “Hai, Oby.”
“Anda sendiri?”
Ia memandangku sekilas, lalu berkata, “Luna.”
“Setahu saya, Luna itu dalam bahasa Italia artinya bulan.” Tapi, sebagian pikiranku justru terbayang sosok kucing hitam bernama Luna di kartun animasi Sailor Moon.
“Ibuku pernah cerita, selama dia hamil, dia selalu suka memandang bulan. Ditemani secangkir teh kayu manis dan irisan buah pir. My father was there, too. Dan waktu melahirkan aku, bertepatan banget dengan 15 hari bulan.”
Aku merogoh sepotong roti dari dalam jaketku yang khusus kusiapkan untuk Oby. Mengangsurkannya diam-diam tanpa sepengetahuan Lastri dan kawan-kawan.
“Dulu waktu masih SD, aku dijuluki anak aneh sama temen-temen.” Detik berikutnya, kudengar Luna mulai bertutur tanpa kuminta. “Mereka tahu ibu aku suka pelihara kucing. Kalau nggak salah, dulu jumlahnya sekitar 18 ekor gitu. Sebagian berasal dari keturunan yang sama, sebagian lagi aku pungut dari jalan, pasar.”
“Sepertinya nggak ada yang aneh dengan semua itu.”
“Mungkin mereka berpikir, memungut kucing liar sama dengan menculik, atau salah satu bentuk tindak kejahatan,” sahutnya. “But I never really care what they said about that.
“Sudah seharusnya begitu.”
“Kamu penyuka kucing juga?”
“Terobsesi untuk punya satu atau dua, tapi nggak pernah tercapai sampai sekarang.”
Oby baru saja menandaskan roti terakhirnya. Kemudian, kudengar Luna bertanya ‘kenapa’.
“Saya tinggal di rusun yang tidak memperbolehkan para penghuninya membawa hewan peliharaan,” jawabku. “Jadi, satu-satunya yang saya lakukan buat membayar rasa ingin tersebut ya—dengan ketemu mereka di sini setiap pagi. Sengaja bawa isi roti, ngobrol kayak orang gila.”
Luna membalas kisahku dengan tawa yang renyah, dan seperti biasa—kedua mata yang menyerupai garis itu ketika ia tergelak. Dan aku tahu, semua ini hanya masalah waktu saja sampai aku telanjur mengaguminya lebih jauh.
Aku lekas berdiri dari hadapannya. “Saya harus pamit sekarang, mau kejar setoran.”
Luna mengernyit, mungkin kesulitan memahami ucapanku. Namun, aku mengacungkan jempolku pada gitar tua yang bertengger di punggungku. Dia pun mengangguk paham.
Di ujung sana, sebuah metromini berjalan agak lamban dengan teriakan kondektur yang bergelayutan pada pintu belakang. Aku baru mau menyusulnya ketika terdengar sebuah suara dari mulut gang itu. Kepalaku tertoleh ke belakang.
“Nama kamu siapa?”
“Panggil aja Bayu.”
Usai jawaban itu, aku pun melompat ke dalam metromini yang kini berjarak hanya 1 meter dari hadapanku.
*

There is no such thing as coincidence in this world.
Setidaknya, begitulah yang diutarakan Luna seusai berpapasan denganku di depan kafe Rolling Stones malam itu. Aku baru saja selesai perform ketika sosok familier itu muncul di tengah keramaian. Celana jins biru dan sneaker putih membungkus kedua tungkainya yang jenjang. Rambut hitam yang senantiasa dikuncir kuda itu tampak sedikit basah oleh air hujan.
Cukup lama aku mengamatinya dari kejauhan; berkutat dengan DSLR seri terbaru, memotret lalu lintas dan hiruk-pikuk para pejalan kaki, sampai ia menyadari bahwa dirinya sedang diperhatikan.
God doesn’t play dice with the universe.”
“Einstein’s!” balasku.
Kami menepi ke sebuah halte dan menanyakan kabar satu sama lain. Kujelaskan padanya bahwa Oby belum terbiasa dengan menu martabak wijen, Lastri yang sedang hamil besar—dan siapa ayah dari calon bayi-bayi itu. Selanjutnya, Luna bertanya lagu apa saja yang kumainkan selama sesi akustik tadi.
“Yellow, Hotel California, Layla.”
“Eric Clapton?” Ia membelalak seolah tak percaya. “Coba, mainin satu lagu selain Layla dan Wonderful Tonight.”
Aku ragu suara gitarku bisa dinikmati olehnya. Di sekitar kami terlalu banyak distraksi. Beberapa di antaranya berasal dari percakapan pedestrian yang lalu-lalang di hadapan kami, ditambah lagi dengung knalpot yang bising. Kusetem gitarku terlebih dahulu, sebelum akhirnya memetik satu per satu senar gitar.

Would you hold my hand, if I saw you in heaven?
Would you help me stand,if I saw you in heaven?

Di tengah riuh suasana malam, aku terus bernyanyi. Beberapa orang sempat berhenti untuk menyaksikan permainan gitarku. Sementara itu, dari sudut mataku, Luna tampak serius membidikku lewat kameranya. Tanpa lampu kilat, yang terdengar hanyalah bunyi shutter beberapa kali. Hal itu tidak membuatku serta-merta bertindak defensif. Aku percaya ia tidak memiliki maksud jahat terhadap foto itu.
Usai menyanyikan Tears In Heaven, ia bertanya, “Kamu punya Facebook? Kalau punya, nanti ku-tag foto-foto ini ke kamu.”
“Saya nggak punya akun sosial media. Nggak pernah main begituan.” Aku terkekeh, lantas mengeluarkan ponselku dari dalam saku. Itu adalah Sony Ericsson T100. “Ini hape saya, jadul.”
“Setidaknya masih bisa dipake buat teleponan.”
“Nggak bisa juga, speaker-nya rusak. Cuma bisa SMS­-an.”
Well, can I have your number?
Aku mengangsurkan ponsel itu ke tangannya. Jemari Luna memencet tombol numerik dengan sangat teliti, lalu mengembalikan benda berwarna hitam itu kepadaku.
I’ll text you later, Bayu.” Dia berangkat dari duduk. Melambaikan tangannya, lalu berjalan menerobos sisa hujan.
*

“Waktu itu kamu bilang handphone kamu nggak bisa dipake buat teleponan?
“Udah saya perbaiki, di konter di pinggir jalan. Murah, cuma 20 ribuan.”
Aku memandangi langit-langit kamarku, tampak jelas sarang laba-laba yang bergelayut di sana. Rasanya sudah lama sekali aku tidak membersihkan kamar ini. Di waktu yang sama, aku membayangkan Luna sedang berbaring dengan rambut hitamnya tergerai, aroma sabun mandi yang segar, tubuh sintalnya yang terbungkus piyama putih kebesaran.
“Kamu nggak ketemu Oby pagi tadi?”
“Aku lebih tertarik buat ketemu kamu,” jawabnya di seberang sana.
Just come, then.”
Ia tergelak sebelum akhirnya menjawab, “Oke. Tunggu di depan gang, ya.”
Terkadang, kau tak bisa melawan apa yang diinginkan nalurimu. Tak peduli seberapa keras kau berusaha mencoba, kau akan menyadari betapa kau sangat menginginkan hal itu. Dan aku sulit memercayai fakta bahwa Luna benar-benar menepati janjinya.
Ia tiba di mulut gang tepat 30 menit setelah telepon kami berakhir. Penampilannya masih seperti biasa, celana jins panjang, sepatu kets, dan kemeja tartan cokelat. Namun, ada sesuatu yang tidak biasa pada kemeja itu. Tiga kancing teratas sepertinya dibiarkan terbuka, sehingga aku bisa melihat jelas tanktop hitam di baliknya. Seolah bisa membaca pikiranku, Luna pun menggeraikan rambut panjangnya malam itu.
Untuk pertama kalinya, aku menyaksikan rambutnya bebas dari ikatan.
Aku masih berdiri sana, mematut dirinya cukup lama. Luna tersenyum semringah menyaksikan tingkahku yang tak keruan. Fenomena seperti ini seringkali dialami oleh mereka yang sedang jatuh cinta. Semua ini hanya masalah waktu saja sampai ia menyadari apa yang sebenarnya kurasakan.
Gelap tak lagi menjadi musuh. Di atas sana, bulan tampak penuh. Cahayanya jatuh ke muka bumi, tempat kami berada saat ini. Tak ada lagi jarak. Kugenggam telapak tangannya agar ia tak kedinginan, lalu bibir kami menyatu, bertautan seolah tak ingin lepas. Oby, Lastri, dan konco-konconya menyaksikan adegan itu. Pada akhirnya, Luna memberi gagasan bahwa malam itu akan berakhir sempurna apabila ia bermalam di tempat tinggalku.
Aku mengangguk setuju.
*

            Hari-hari setelah pertemuan kami di malam itu, semua masih baik-baik saja. Luna masih sering menghubungiku via telepon dan mengirim kata-kata mesra di SMS. Sesekali, ia juga menyempatkan diri untuk datang setiap kali ada sesi akustik di kafe Rolling Stones. Namun, seminggu setelahnya, Luna tiba-tiba menghilang tanpa kabar.
            Berkali-kali aku mencoba meneleponnya, namun yang kuterima hanya suara operator yang berkata bahwa nomor tersebut sedang berada di luar jangkauan. Sempat aku menerka, barangkali ponselnya hilang, atau mendadak rusak.
            Satu hal yang sulit kupahami, kenapa aku sangat mengkhawatirkannya?
            Aku bahkan bukan siapa-siapa di kehidupannya.
            Aku ini cuma orang asing.
            Aku seharusnya merasa bersalah terhadap Oby, Lastri, Arga, dan Bisma yang akhir-akhir ini seringkali kuabaikan. Hari-hari bersama Luna membuatku lupa untuk mengunjungi mereka di mulut gang itu. Bagaimana kabar mereka? Apakah perut Oby masih segemuk dulu? Apakah Lastri sudah punya momongan dan hendak kawin lagi? Apakah Bisma masih suka jaim setiap kali aku menyuapinya roti?
            Yang kutahu, saat ini aku ingin menemui mereka. Segera saja kusambar celana jinsku dan sekantung plastik berisi roti cokelat murahan. Satu porsi ekstra telah kuselipkan ke dalam saku. Itu khusus Oby. Mudah-mudahan saja ia tidak marah atas ketidakacuhanku belakangan ini.
            Langkahku tergesa-gesa. Aku bergegas keluar, dan seketika terhenti oleh kehadiran sesuatu di depan pintu. Seonggok kardus yang bertengger persis di atas keset kaki. Tanpa alamat, tanpa nama tercantum. Kotak itu tidak terlalu besar, hanya seukuran dua telapak tangan.
            Kudekatkan kotak itu ke telinga dan mengguncangnya beberapa kali. Tidak ada yang aneh. Mungkin isinya hanya permen, atau sampo kemasan sachet. Tapi, aku cukup tercengang sewaktu mendapati setumpuk foto berukuran 4R di dalam kotak tersebut. Sebagian gambar itu tampak tidak asing; dengan latar belakang yang sangat kukenal. Itu adalah foto ketika aku memainkan gitar di bawah halte usai perform di Rolling Stones. Foto sepatu Converse-ku yang kumal, foto jari-jariku yang menekan chord C major. Ada pula potret Oby, Lastri, Arga, Bisma—dan keempatnya yang saling berdekatan.
            Hanya memandangnya pun, aku sudah bisa menebak siapa pengirimnya.
            Seolah kurang lengkap, ia juga melampirkan sehelai kertas scrapbook di antara foto-foto itu. Sepucuk surat. Mataku mulai menjelajah tulisan pada kertas tersebut dengan saksama.

            Gagasan ini sebenarnya muncul tiga hari yang lalu. Waktu itu, aku dengar orangtuaku membahas tentang bisnis batik dan kerajinan kayu mereka mengalami kemerosotan. Permintaan pelanggan berkurang, sementara stok barang di gudang masih menumpuk. Ibuku berpikir, daripada jatuh bangkrut, mungkin akan lebih baik jika bisnis di Jakarta ditutup saja. Ide itu disetujui ayahku. Dan mau tidak mau, aku mendukung keinginan mereka.
            Aku tahu, kamu nggak bakalan memaafkan aku setelah membaca ini, Bayu. Mungkin kamu bakal bertanya, kenapa nggak jujur dari awal?
            Aku terpikir untuk menyampaikannya, tapi aku tahu semua itu pasti sulit untuk diterima. Nggak peduli semenarik apa pun alasannya, kalau sudah menyangkut urusan perpisahan, tetap saja menyakitkan.
            Percaya atau nggak, aku bahagia bisa berkenalan dengan kamu. Aku mengagumi setiap lagu yang kamu mainkan lewat gitar itu. Dan, aku harus berterima kasih karena kamu telah menjadi teman yang baik selama beberapa minggu kemarin. Terima kasih pula karena telah menjadi sosok yang sangat menyenangkan. Lain waktu, jika ada kesempatan, berkunjunglah ke Bali. Akan aku tunjukkan kucing-kucing yang kami bawa pindah dari Jakarta. Jumlahnya semakin banyak!

                                                                                                With love,
                                                                                                Luna.
           
PS: Aku jatuh cinta pada Oby sejak pertama. Jadi, aku juga membawanya ke Bali. Kamu nggak perlu khawatir, I’ll be the one who always giving him an extra-meal. Sebisa mungkin aku bawal merawat Oby supaya dia nggak jatuh sakit atau kelaparan. Tadinya aku kepikiran buat ngajak Arga, Lastri, dan Bisma. Tapi aku nggak mau dicap sebagai orang serakah, Bay. Jadi, kuharap kamu nggak menyimpan dendam.

            Surat itu kutuntaskan dengan satu senyuman kecut. Tak ada tangis, tak ada luapan amarah. Semuanya masih baik-baik saja—setidaknya untuk saat ini. Tapi aku tak bisa membohongi diriku sendiri, selama membaca kalimat yang terurai di sana, hampir sepanjang waktu kurasakan napasku tercekat. Pikirku pun ikut melayang ke sejumlah adegan di mana segalanya berawal, setiap detik yang pernah terlewati bersama Luna, lagu yang kumainkan untuknya, percakapan sebelum tidur—di telepon maupun di dalam kamarku.
            Dan Oby.
            Sikapnya pernah membuatku terganggu pada saat pertama. Suara-suara bising yang kerap ia timbulkan setiap kali aku lupa membawakan porsi ekstra; tanda bahwa dia marah. Terlepas dari semua hal yang menyebalkan itu, ialah satu-satunya sahabat yang kumiliki sejak tiba di sini. Satu-satunya yang sudi menyisihkan waktunya untuk menunggu, mendengkur di pelukanku, meskipun hanya sekejap.
            Kulipat kembali kertas di genggamanku, dan memasukkannya ke tempat semula. Mungkin tak ada lagi yang perlu ditangisi. Karena sampai kapan pun, manusia akan terus dihadapi dengan aneka kejutan, salah satunya perpisahan. Dan tak banyak orang yang sanggup mengatasi rasa kehilangan itu.
            Namun, suatu hari kau akan mengerti, merelakan kepergian bukanlah proses melupakan. Ia akan selalu ada di sana, menjadi satu cerita lama yang tak mungkin bisa untuk dihidupkan kembali.

-fin-