"Kegagalan adalah awal dari kesuksesan."
Seperti itu kata pepatah usang yang terkenal sejak dulu sebagai motivator pribadi. Mungkin jika diresapi lagi, ada benarnya juga kalimat tersebut. Ada juga yang bilang jika kegagalan adalah kembaran dari kesuksesan, bagai sepasang sisi koin yang saling berpasang - pasangan. Di setiap kesuksesan, pasti selalu diawali kegagalan.
Kemarin siang, sekitar pukul sebelas, seorang kurir jasa pengiriman paket tiba di muka rumahku. Kedatangannya serba tiba - tiba dan dadakan. Dimulai dari perhitungan waktu yang tidak diperkirakan, situasi yang serba amburadul, pokoknya tidak tepat.
Terdengar kurir tersebut memanggil namaku tepat di ambang pintu rumah sembari memandang satu kertas nota yang berada di tangannya. Tapi, ada satu yang menjadi perhatianku ketika ia mulai bersuara - menyebut namaku. Sesuatu itu adalah amplop - berkas berwarna oranye yang membuat seisi kepalaku dipenuhi dengan tanda tanya besar.... Apakah isi paket ini? Pertanda apakah kedatangan benda ini?
Macam - macam...
Usai proses serah - menyerah barang seiring dengan memberikan tanda tangan, aku meraih paket tersebut. Tertera di muka kertas, alamat penerbit - jalan bla bla bla, kode pos bla bla bla, dan sebagainya. Praktis, rasa penasaran pun menyergap diriku. Aku pun segera beringsut pergi dan melangkah ke dalam kamar demi membunuh keingintahuan yang membuncah keras.
Setibanya aku di dalam kamar, aku segera menyobek setiap macam lapisan pembungkus paket. Tidak peduli seperti apa jenis sobekanku, aku sudah tidak sabar ingin mengintip isi paket tersebut. Degup jantung bertalu - talu semakin kencang. Lalu, terjawablah rasa penasaranku yang teramat besar.
Isinya.... Naskah lamaku, Best Thing I Ever Had.
Sebetulnya, aku tidak berkenan menceritakan apa yangterjadi dengan naskah tersebut. Tapi, aku akan menjabarkan beberapa garis besar yang kukutip dari kejadian itu.
Intinya, tidak ada penolakan besar - besaran untuk naskahku. Tidak ada pencecaran atau kata - kata yang menghujam perasaan. Sang penerbit dengan gamblang-nya (namun tetap menjaga kesopanan) menjelaskan hal - hal dan poin - poin apa saja yang harus kuperhatikan untuk memperbaiki tulisanku. Surat yang ditandatangani oleh sang redaktur itu sama sekali tidak menyinggung perasaanku. Justru secara tidak langsung, aku sungguh termotivasi akan pesan - pesan yang mereka sampaikan.
Aku sendiri menyadari jika tulisan yang kupersembahkan beberapa bulan silam itu amatlah buruk. Entah dari mana harus kuperjelasm aku sendiri merasa tidak ada selling point-nya sama sekali. Bahkan, sangat klasik dan tidak patut untuk kuserahkan kepada penerbit itu. Jalan cerita yang tidak menarik, tema yang tidak proporsional, dan penokohan yang tidak jelas. Aduh... Jujur aku sebenarnya malu. :(
Sebagai penulis naskah itu pun, aku merasa enggan untuk membacanya. Tidak tahu kenapa.
Memang sejak awal aku sudah memperkirakan hal ini akan terjadi. Jadi, aku sudah melakukan beberapa tindakan untuk mengantisipasi penolakan tersebut. Salah satunya, dengan merevisi tulisanku dari awal dan merombaknya menjadi anskah yang sempurna. Dan naskah tersebut telah kuserahkan kepada penerbit pada awal Desember lalu. Judulnya adalah Kita.
Secara singkat, cerita lamaku diperindah dan dimodifikasi menjadi sebuah tulisan yang rapi dengan bumbu - bumbu yang lebih menjual. Mungkin cukup berkembang dari tulisan sebelumnya.
Tapi, aku masih tidak mengetahui seperti apa keputusan yang akan kuterima pada akhirnya. Hanya saja, ada satu harapanku agar mereka dapat memberikan kesempatan untuk mempertimbangkan tulisan itu.
Aku berharap demikian.
Seperti itu kata pepatah usang yang terkenal sejak dulu sebagai motivator pribadi. Mungkin jika diresapi lagi, ada benarnya juga kalimat tersebut. Ada juga yang bilang jika kegagalan adalah kembaran dari kesuksesan, bagai sepasang sisi koin yang saling berpasang - pasangan. Di setiap kesuksesan, pasti selalu diawali kegagalan.
Kemarin siang, sekitar pukul sebelas, seorang kurir jasa pengiriman paket tiba di muka rumahku. Kedatangannya serba tiba - tiba dan dadakan. Dimulai dari perhitungan waktu yang tidak diperkirakan, situasi yang serba amburadul, pokoknya tidak tepat.
Terdengar kurir tersebut memanggil namaku tepat di ambang pintu rumah sembari memandang satu kertas nota yang berada di tangannya. Tapi, ada satu yang menjadi perhatianku ketika ia mulai bersuara - menyebut namaku. Sesuatu itu adalah amplop - berkas berwarna oranye yang membuat seisi kepalaku dipenuhi dengan tanda tanya besar.... Apakah isi paket ini? Pertanda apakah kedatangan benda ini?
Macam - macam...
Usai proses serah - menyerah barang seiring dengan memberikan tanda tangan, aku meraih paket tersebut. Tertera di muka kertas, alamat penerbit - jalan bla bla bla, kode pos bla bla bla, dan sebagainya. Praktis, rasa penasaran pun menyergap diriku. Aku pun segera beringsut pergi dan melangkah ke dalam kamar demi membunuh keingintahuan yang membuncah keras.
Setibanya aku di dalam kamar, aku segera menyobek setiap macam lapisan pembungkus paket. Tidak peduli seperti apa jenis sobekanku, aku sudah tidak sabar ingin mengintip isi paket tersebut. Degup jantung bertalu - talu semakin kencang. Lalu, terjawablah rasa penasaranku yang teramat besar.
Isinya.... Naskah lamaku, Best Thing I Ever Had.
Sebetulnya, aku tidak berkenan menceritakan apa yangterjadi dengan naskah tersebut. Tapi, aku akan menjabarkan beberapa garis besar yang kukutip dari kejadian itu.
Intinya, tidak ada penolakan besar - besaran untuk naskahku. Tidak ada pencecaran atau kata - kata yang menghujam perasaan. Sang penerbit dengan gamblang-nya (namun tetap menjaga kesopanan) menjelaskan hal - hal dan poin - poin apa saja yang harus kuperhatikan untuk memperbaiki tulisanku. Surat yang ditandatangani oleh sang redaktur itu sama sekali tidak menyinggung perasaanku. Justru secara tidak langsung, aku sungguh termotivasi akan pesan - pesan yang mereka sampaikan.
Aku sendiri menyadari jika tulisan yang kupersembahkan beberapa bulan silam itu amatlah buruk. Entah dari mana harus kuperjelasm aku sendiri merasa tidak ada selling point-nya sama sekali. Bahkan, sangat klasik dan tidak patut untuk kuserahkan kepada penerbit itu. Jalan cerita yang tidak menarik, tema yang tidak proporsional, dan penokohan yang tidak jelas. Aduh... Jujur aku sebenarnya malu. :(
Sebagai penulis naskah itu pun, aku merasa enggan untuk membacanya. Tidak tahu kenapa.
Memang sejak awal aku sudah memperkirakan hal ini akan terjadi. Jadi, aku sudah melakukan beberapa tindakan untuk mengantisipasi penolakan tersebut. Salah satunya, dengan merevisi tulisanku dari awal dan merombaknya menjadi anskah yang sempurna. Dan naskah tersebut telah kuserahkan kepada penerbit pada awal Desember lalu. Judulnya adalah Kita.
Secara singkat, cerita lamaku diperindah dan dimodifikasi menjadi sebuah tulisan yang rapi dengan bumbu - bumbu yang lebih menjual. Mungkin cukup berkembang dari tulisan sebelumnya.
Tapi, aku masih tidak mengetahui seperti apa keputusan yang akan kuterima pada akhirnya. Hanya saja, ada satu harapanku agar mereka dapat memberikan kesempatan untuk mempertimbangkan tulisan itu.
Aku berharap demikian.
Be First to Post Comment !
Posting Komentar