Dahulu, pernah ada satu masa saat cinta memperkenalkanku pada seorang pria. Bermula dari sekadar perasaan biasa, lalu berlanjut ke sebuah cerita cinta yang dewasa. Saat itu, aku sepenuhnya menyadari bahwa cinta memiliki keajaibannya tersendiri sehingga mampu menghantarkanku ke suatu kisah yang tak pernah kuduga.
Cinta sanggup mengubah dusta menjadi indah, lemah menjadi kuat, ataupun sebaliknya.
Gilang.
Pria inilah yang sempat membangun kerajaan di hatiku. Dialah yang menyatakan bahwa aku satu-satunya wanita yang dia pilih. Aku bangga, bukan main amat bahagia. Sejak saat itu aku pun berjanji untuk bersungguh-sungguh mencintainya.
Tapi kini, segalanya telah berubah.
"Aku pengin kamu bahagia meski tanpa aku," ucap Gilang datar, sedatar ekspresi wajahnya.
Aku tidak bersuara, belum ingin bicara.
Seperti yang kuketahui sebelumnya, kalimat seperti itu bukan kali pertama yang diucapkan Gilang. Rasanya sudah jutaan kali dia melontarkan frasa serupa meski dalam situasi yang berbedia. Dan inti dari seluruh rangkaian kata itu hanya satu; perpisahan.
Terus terang saja, aku benar-benar tidak mengerti seperti apa definisi bahagia menurut dirinya. Setelah cukup sekian lama bersama dan membina rumah tangga, kini dia meminta aku bahagia dan mengikhlasan keputusannya. Bahagiakah aku tanpa kehadiran dia? Bagaimana bisa?
"Monica..." panggil Gilang sepelan mungkin.
"Memangnya kenapa?" Aku balik bertanya. memberanikan diri untuk bertanya.
Dengan terbata-bata, dia menjawab, "Aku – aku udah nggak bisa lanjutin semuanya lagi, Mon."
"Iya, tapi kenapa? Aku butuh alasannya!" Aku bersikukuh mencari tahu asal muasal penyebab keputusan itu.
"I – I just can't."
"Apa kamu suka perempuan lain?" Dari sekian banyak tanda tanya dan jenis pertanyaan yang bercokol di kepalaku, hanya itulah itng sanggup kusuarakan.
"No. That's such an impossible!" Spontan Gilang menjawab seraya mengeraskan suaranya.
"Then, why?" desakku.
"Monica, listen to me... Kamu sendiri tahu kalau aku udah nggak punya pekerjaan tetap. Aku luntang-lantung nggak jelas, kerja serabutan." Gilang membuat pengakuan. "Aku nggak mampu lagi menafkahi anak sekaligus istri aku. Bahkan, aku nggak bisa jadi sosok ayah yang baik untuk Nadine."
Lagi-lagi, aku tidak mampu berkomentar. Aku lebih memilih diam sembari mencerna kembali segala koleksi alasan yang baru saja dia sampaikan.
Ternyata benar. Kondisi keuangan itulah yang jadi penyebab utamanya.
Dua tahun terakhir ini, Gilang memang tidak memiliki pekerjaan. Setelah kontrak kerjanya habis, Gilang resmi diberhentikan dari perusahan kontraktor perumahan di Pedurungan itu. Namun sesekali, dia kerap mencoba bangkit dan memperbaiki situasi dengan mencari pekerjaan lain. Entah sebagai sopir taksi, petugas keamanan di Minimarket, sales mobil... Hingga kini, mentok di bengkel sebagai seorang montir.
Sejujurnya, tidak jadi masalah besar bagiku. Tidak peduli seperti apa dirinya, apa pun pekerjaannya, bagaimanapun kondisi kami, aku tidak pernah meributkannya sama sekali. Walau kenyataannya, di dunia ini tidak ada istri yang tidak materialistis. Semua istri pasti haus akan nilai materi dan suapan dari seorang suami. Tapi untukku pribadi, selagi aku mampu mengupayakan bersama-sama, kenapa hal macam ini harus dipermasalahkan? Toh aku juga masih punya pekerjaan, meskipun gajiku sebagai guru tidaklah seberapa.
"Lebih baik kita cerai aja," desis Gilang.
"Lang, aku paham sama situasi yang sulit ini. Tapi, apa kita nggak bisa berusaha sekali lagi?" tandasku seraya menahan volume suara. “Demi Nadine, Lang...”
Alih-alih membalas kalimatku, Gilang justru bungkam seribu bahasa. Bibirnya terkatup rapat, - mengunci aneka penjelasan yang sedang melepuh di kepalanya. Air mukanya muram, matanya yang sendu menunjukkan keletihan.
Kesal akan sikap Gilang yang sedemikian kaku, aku pun menyeru, “Gilang!!!” Sudah tidak dapat lagi kukendalikan emosi di dalam diriku ini.
“Nggak bisa,” tukas Gilang singkat.
Praktis, aku tersentak. Terkejut saat mendengar betapa pedih jawaban yang dia berikan. Bagai tinjuan ke ulu hati, semuja itu hampir membuatku tak bernyawa. Sepuluh tahun bersama, menjalin kasih sayang, berbagi dalam bahagia maupun duka, saling bermimpi tentang keajaiban cinta, kini segalanya kandas tak bersisa. Musnah.
Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi untuk menghadapi kenyataan yang kuterima. Semua itu seakan-akan melumpuhkan kemampuan akal sehatku. Satu-satunya tindakan yang mampu kulakukan mungkin hanya menangis. Terisak sedih sambil terus menyeka bulir-bulir kristal di setiap lekuk wajahku.
Tapi, tangisku yang semakin tak terkendali sama sekali tidak membawa perubahan sedikit pun. Maksudku, aku yakin – sangat yakin – Gilang mengetahui kesedihanku. Sangat tidak mungkin jika dia tidak mendengar sesenggukan yang kutahan. Jadi, apakah hatinya tidak tergerak untuk menenangkanku?
Alih-alih memberi dekapan hangat seperti yang kuharapkan, Gilang justru meloyor pergi begitu saja. Langkahnya tertuju ke ambang pintu utama.
Sebelum kudengar pintu berderit, Gilang berkata, “Besok aku datang lagi ke sini, untuk minta kamu tandatangani surat cerainya.”
Tadinya, aku sangat ingin membuat perlawanan saat kalimat itu lolos dari bibir tipisnya. Namun, apa daya diriku saat ini? Menguatkan diri pun aku sudah tak mampu.
“Aku pulang, Mon...” katanya untuk yang terakhir kali.
Pintu berwarna cokelat itu sempat menganga selama beberapa saat. Tapi, aku tidak berniat menatap sosok tubuh tinggi yang terbungkus busana biru dongker – penuh aroma bengkel itu. Aku tidak mau. Bukan karena sudah tak cinta atau mengikhlaskan kepergiannya, hanya saja aku tidak kuasa.
Dan dalam hitungan detik, daun pintu itu kembali mengatup hingga mengeluarkan bunyi yang sedikit keras.
Kepergiannya membuatku meratapi kembali satu per satu adegan di masa silam. Sekelabat kenangan manis yang berlalu-lalang di kepalaku seolah menciptakan getir pahit yang mengiris-iris pembuluh nadi. Untuk sesaat, aku sempat merasa amat menyesal.
Andai saja dulu aku lebih sanggup menahan ketertarikanku pada milyaran bual manisnya, andai saja aku tidak melakukan kesalahan ketika kami masih berpacaran, mungkin semuanya tidak akan berakhir seperti ini. Mungkin aku tidak perlu menikah di usia dini demi menghindari segala aib yang bermunculan di sekitarku.
Tapi, beginilah yang terjadi pada diriku. Seperti kata sebuah petuah, penyesalan akan selalu hadir di belakang.
Baru setelah kuusap sisa-sisa air mata di pipi, alangkah tercengangnya aku saat menyaksikan putriku yang sedang berdiri di mulut pintu. Tatapannya terarah kepadaku, penuh akan cinta dan kesetiaan. Entah sejak kapan dia berada di sana, aku tidak tahu. Yang jelas, perhatiannya membuatku sangsi.
Dengan segera, aku mendekatinya dan bertanya, “Nadine kenapa belum tidur?”
Nadine kecil pun menggeleng. Dia bersuara, “Papa mana, Mom?”
Pertanyaannya membuatku terenyuh. Aku tahu, cepat atau lambat Nadine pasti akan menanyakan hal itu kepadaku. Di usianya yang baru empat tahun, Nadine sudah memiliki sedikit banyak cerita yang melekat di ingatannya.
Aku mengerjapkan mata, berusaha mengumpul keberanian sebelum menjawab. Kataku, “Papa nggak bisa pulang malam ini, Sayang... Papa lagi banyak pekerjaan.”
Dia menunduk lemas. Ada kekecewaan yang tersirat jelas di kedua bola matanya.
Tapi sebelum kudengar dia memintaku bercerita lebih jauh, aku lekas membimbing tubuhnya ke dalam pelukanku. Berharap dekapan itu dapat menembus ketidakhadiran ayahnya. “Malam ini, Nadine tidur di kamar Mommy aja, ya...” bujukku lirih.
Nadine hanya mengangguk kecil. Selebihnya, dia tetap memelukku dengan erat. Sama halnya dengan diriku.
Pernikahanku dengan Gilang mungkin sudah tidak dapat terselamatkan lagi. Harapan untuk terus bersama hanya tinggal mimpi. Tapi, keadaan ini menyadarkanku pada satu pelajaran besar bahwa aku tidak sepenuhnya sendiri.
Aku masih memiliki Nadine.
Dan sampai kapan pun, aku tidak akan pernah membiarkan putriku menderita krisis kasih sayang. Aku berjanji; sekarang, esok, dan selamanya – aku harus menjaga Nadine dengan sepenuh hati.
Be First to Post Comment !
Posting Komentar