Terkadang, apa yang kita miliki hanyalah segudang harapan. Berharap pada sebuah perlindungan, bantuan, ataupun sesuatu yang sulit untuk kita dapatkan. Itulah yang terjadi padaku saat tiba di Bandara Ngurah Rai. Menekuni sekitar seusai keluar dari pintu kedatangan penumpang, sembari memeriksa ponsel di genggamanku.
Bukan tanpa alasan jika aku hadir di sini seorang diri. Rekan kerjaku memberi kabar dadakan bahwa ada project photoshoot yang harus diselesaikan dalam waktu dekat. Dan lokasi pemotretan itu berada di Danau Tambligan. Mereka telah tiba di sini lebih awal, sementara aku menggunakan penerbangan paling akhir dari Jakarta.
Dudukku semakin tak nyaman ketika para sopir taksi dan sejumlah pemandu wisata bertarif tinggi di sekitarku menawarkan jasa antar. Alih-alih menanggapi teriakan mereka, aku malah mengunci bibirku rapat-rapat. Menggerakkan jemariku pada layar ponsel dan mem-posting sesuatu di Twitter. Aneh... Dalam situasi genting seperti ini, masih saja aku sempat meng-update berita terbaru di sosial media. Harusnya aku mencari bantuan atau segera bertindak, bukannya mengabarkan peristiwa malang ini ke seluruh dunia.
Aku segera menghubungi nomor Jenny berulang-ulang. Mendengarkan nada tunggu tak berkesudahan sampai kalimat permintaan maaf yang disampaikan oleh si operator. Begitu pula dengan nomor Andhika dan Lucky yang ternyata berada di luar jangkauan. Tampaknya kesemua di antara mereka memang sedang tidak bisa dihubungi.
Aku jadi semakin tidak mengerti, untuk apa aku datang ke sini?
Tenagaku rasanya sudah terkuras habis. Aku duduk termangu dan mendongakkan kepala. Di atas sana, matahari mulai merangkak turun. Langit kota Denpasar dibanjiri warna jingga kemerahan. Suara pengumuman yang terdengar lewat pengeras suara seakan meredup ketika pikiranku melayang jauh pada seseorang yang selama ini kurindukan.
Betapa aku berharap dia ada di sebelahku saat ini; menemaniku melawan sepi, menarik koperku dan melangkah bersama ke dalam taksi, kemudian bercengkerama sepanjang perjalanan menuju hotel. Betapa aku berharap jarak antara Bali dan Sydney bisa ditempuh dalam hitungan menit untuk menebus rasa rinduku terhadap Texas.
Tapi sayang, rasanya semua itu sangat tidak mungkin.
Aku berjalan menenteng koperku ke arah taksi hitam di seberang jalan. Embusan angin yang berasal dari AC mobil semakin membuatku mengantuk. Aku bahkan tidak sanggup menjawab seluruh pertanyaan yang dilontarkan si sopir taksi saat mobil yang kami tumpangi mulai meninggalkan area bandara.
***
Gue lagi di Seminyak. Lo sama siapa di sana, Dam? --- Di mananya? The Amala atau Amalea? Suara lo nggak jelas.
Halo, Dam.
Adam...
Halo, Dam.
Adam...
Tidak terlalu yakin dari mana suara itu berasal. Tapi yang pasti, suara itu masih terngiang-ngiang sampai aku terbangun di siang hari. Kepalaku terasa berat saat aku beranjak dari tempat tidur. Rasanya seperti meneguk ratusan liter Cuervo tadi malam sehingga sulit membedakan mana yang maya dan mana yang nyata.
Aku memindai pandanganku sekeliling ruangan dan mencari letak jam dinding. Terkesiap kaget begitu melihat jarum jam yang telah menunjukkan pukul satu. Entah berapa lama aku tertidur, aku pun tidak ingat lagi. Dan semua itu semakin bertambah kacau saat kudengar pintu kamarku diketuk dari luar.
Barangkali Jenny, Andhika, Lucky, atau siapa pun di antara mereka telah menemukan keberadaanku.
Sewaktu handle pintu kutarik, satu-satunya hal yang bisa kulakukan adalah terdiam. Rasa pusing yang sejak tadi meremas kepalaku pun mendadak hilang. Seorang pria asing berbusana khas peselancar yang tidak kuketahui dari mana datangnya sedang berdiri di hadapanku.
Aku mengernyitkan dahi dan bertanya, "Cari siapa?"
"Adam, kan?" Dengan seringai senyum di wajahnya, dia kembali bersuara, "Gue yang nelepon tadi malem."
Selama sejenak, aku berusaha mengingat apa yang aku bicarakan dan dan dengan siapa aku berbicara di telepon tadi malam. Terlalu banyak pikiran yang berseliweran di kepalaku saat ini sehingga aku memutuskan untuk diam saja.
"Lo pasti udah lupa? Harun, nih. Temen kuliah lo dulu, satu angkatan kita." Menyilang kedua lengannya di depan dada sambil menatapku dalam-dalam. "Inget nggak?"
Dalam lima tahun terakhir, sudah banyak sekali peristiwa yang kualami. Termasuk bertemu orang-orang baru. Sebagian ada yang bertahan, sebagian ada juga yang pergi begitu saja. Aku bertemu dengan Harun sewaktu pendaftaran mahasiswa baru. Tidak banyak yang kami bicarakan saat itu. Aku lebih banyak diam, sementara dia bersama teman-temannya.
Pantas saja wajahnya terlihat sedikit familier.
"Harun yang anak Banjarmasin bukan, sih?" aku mencoba menebak.
"Nah bener!"
Pada waktu yang sama, tawa kami melebur jadi satu. Entah apa yang lucu, tapi rasanya sangat menyenangkan dapat tertawa bersamanya. Aku mengagumi sebaris gigi putihnya yang tersusun rapi dan gelak suaranya yang begitu lepas.
Usai menyudahi tawa, aku mempersilakan Harun untuk singgah ke dalam kamar. Kami saling menanyakan kabar dan bercerita mengenai kesibukan masing-masing. Harun sempat bekerja selama setahun di perusahaan Desain Interior sebagai graphic designer. Tak lama, Harun pun kembali ke Banjarmasin dan menekuni bisnis pabrik besi baja milik ayahnya. Dia sempat tercengang sewaktu aku mengisahkan bagaimana aku bisa tiba-tiba berada di Bali.
Aku pun tidak pernah menyangka kenapa semuanya serba kebetulan seperti ini.
Telantar sebatang kara, kemudian dipertemukan dengan seseorang yang tidak pernah kuduga sebelumnya.
Namun, suatu hari nanti aku akan menyadari bahwa tidak ada yang namanya kebetulan. Alam telah mengatur segalanya dalam sebuah ketetapan, dan segala sesuatu yang ada di dunia ini saling memiliki keterikatan.
Cukup lama kami membahas cerita masa lalu sampai kami benar-benar lupa waktu. Siang telah berganti sore, dan tanpa aku sadari aku telah melewati setengah hari tanpa menyantap satu porsi sama sekali. Menjelang sore, Harun mengajakku keluar dan berjalan-jalan di sekitar pantai Seminyak.
Sejumlah payung dan kursi bantal beraneka warna yang menghiasi bibir pantai seolah-olah menjadi daya tarik tersendiri. Pada pagi hari, tempat ini akan ramai oleh para peselancar yang singgah untuk sarapan sekaligus mencari ombak untuk surfing. Sore harinya, orang-orang akan mengerumuni restoran La Plancha atau duduk di bawah payung warna-warni itu untuk bersantai sambil menunggu matahari terbenam. Begitulah yang dituturkan Harun kepadaku.
Tak ada bosan-bosannya kami berjalan di sepanjang bibir Pantai Seminyak. Kami berkejaran dan menjahili satu sama lain, memeloroti celana seperti yang sering dilakukan pria semasa kanak-kanak. Menertawakan seorang turis yang sedang bercekcok dengan kekasihnya. Ditemani suara debur ombak dan teriakan burung camar di atas sana, sore terasa lebih istimewa. Senja telah turun, air laut pun berubah menjadi jingga. Dan sesekali, Harun berhenti untuk membekukan momen itu lewat kamera ponselnya. Aku sendiri lupa di mana ponselku berada. Benda itu sudah tak penting lagi, menurutku.
Malamnya, kami berdua memutuskan untuk menikmati makan malam di restoran La Plancha. Lagi-lagi, Harun-lah yang merekomendasikan tempat ini. La Plancha tampak gemerlap pada malam hari. Bola lampu warna-warni bergelayut di sepanjang dinding. Lilin-lilin kecil pun menghiasi setiap meja. Hanya saja, bagian dalam restoran ini masih kalah ramai jika dibandingkan dengan area luar. Sebagian pengunjung lebih memilih untuk bersantap ria di bawah payung.
Tidak butuh waktu lama sampai akhirnya kami memutuskan untuk beranjak dari La Plancha. Sudah pukul delapan, dan hari semakin malam. Meskipun masih terlalu cepat untuk segera terpejam. Aku bahkan terlalu sedih ketka Harun hendak berpamitan ke hotelnya.
"Kayaknya gue perlu mandi deh. Badan gue udah bau matahari abis jalan-jalan di pantai seharian." Dia menimpal dengan nada santai. "Lo nggak apa-apa kan kalo gue tinggal sendirian?"
Terus terang saja, sulit sekali bagiku untuk menganggukkan kepala ataupun mengiyakan jawabannya. Dapat menghabiskan waktu bersama Harun seperti menyelematkanku dari kesendirian yang tak berkesudahan. Lagi pula, sudah lama sekali aku tidak menemukan seorang teman semenjak kepergian Texas ke Sydney.
Seseorang yang bisa membuatku merasa nyaman dalam keadaan terburuk sekalipun.
Aku mengatupkan bibir rapat-rapat. Berharap dia dapat membaca pikiranku atau sekadar membujukku untuk menyuarakan sesuatu.
"Atau gini aja, Dam - " Harun mendaratkan telapak tangannya di pundakku, meremasnya pelan dan mengujar, Kalo elo ngerasa sepi, telepon aja gue. "Punya nomornya kan?"
Sesuatu membuat perutku melintir. Aku tak mengerti. Barangkali karena kontak fisik yang terjadi di antara kami atau karena kalimat yang baru saja dia ucapkan.
Dengan berat hati aku menjawab, "Okay..."
Harun membalikkan badannya, kemudian bersiap melangkah pergi.
Aku sendiri masih berdiri memandangi punggungnya yang kian menjauh dan mulai menghilang di antara kerumunan para turis. Semilir angin malam yang berembus dari arah pantai membuat tenggorokanku tercekat. Napasku terasa sesak. Ada sesuatu yang harus kusampaikan kepada Harun saat ini juga, tapi aku terlalu takut untuk melakukannya.
Pada waktu yang sama, aku teringat oleh kalimat Bunda yang berbunyi, lebih baik melakukan sesuatu yang gila daripada diam dan tidak melakukan apa-apa.
Mungkin kalimat Bunda ada benarnya juga.
"Harun!" Teriakanku serta-merta menghentikan langkahnya dan membuat kepalanya tertoleh ke belakang.
Aku melanjutkan, "Gimana kalau singgah sebentar aja ke hotel gue?"
Aku dapat menyaksikan sejumlah kepala memandangku dengan tatapan heran. Tapi aku sama sekali tak peduli. Begitu pula dengan Harun yang mulai melangkah mendekatiku tanpa ragu-ragu.
Suaranya nyaris berupa bisikan saat berkata, "Gue pikir itu lebih baik."
***
"Dam..." Harun tiba-tiba menyeru namaku. Gema suaranya memenuhi setiap sudut kamar mandi. "Ambilin handuk baru dong. Handuknya jatoh ke lantai nih."
Aku beringsut turun dari tempat tidur, menyambar selembar handuk putih yang terlipat rapi di rak penyimpanan. Dan sewaktu aku tiba di depan kamar mandi, aku sempat terperanjat melihat tangan Harun yang menyembul keluar seolah menanti kedatanganku. Busa putih tampak memenuhi lengannya.
Tepat ketika jemarinya menyambar handuk pemberianku, dia mengintip keluar lewat celah pintu kamar mandi sambil bertanya, "Yakin nggak mau mandi bareng?"
Aku mengernyitkan alis. "Apaan sih, Har? Kayak anak kecil aja!"
Kali aja. Dia melepaskan tawa. Gue bilas dulu, yak.
Aku berjalan menuju ranjang dan meraih remote control yang tergeletak di atas meja nakas. Mengganti-ganti saluran televisi hanya untuk mengusir kantuk yang tiba-tiba menyerang. Tapi percuma saja. Semua itu sama sekali tidak membantu. Hampir semua saluran televisi menayangkan siaran yang tidak menghibur sedikit pun.
Merogoh Macbook dari dalam tas backpack-ku. Warna putih keabu-abuan memenuhi layarnya selama beberapa detik. Sesaat setelah proses startup itu berakhir, aku lekas membuka program Word dan mengayunkan jemariku di atas papan ketik.
Kita adalah dua kutub yang saling berlawanan.
Kau berada di utara, dan aku bermukim di selatan.
Senja kita memang berwarna jingga
Tapi kau dan aku tidak akan pernah bisa mereguk kisah yang sama
Sesalah membuang garam ke lautan
Sepercuma menanti mentari di musim hujan
"Nulis apa, Dam?"
Aku menoleh ke belakang dan terkesiap bukan main saat melihat sosok Harun yang hanya dibalut sehelai handuk. Rambutnya masih terlihat basah. Aroma sitrus yang berasal dari tubuhnya memenuhi penciumanku.
Kehadirannya yang serbatiba-tiba membuat jantungku berdegup sejuta kali lebih cepat.
Aku merutuk kesal sembari menutup layar Macbook-ku, "Lo ngagetin aja kayak hantu!" Sebagian dari diriku berharap agar dia tidak mengetahui apa yang sedang kutulis barusan. Sebagian yang lain justru mendesakku untuk memperhatikan sesuatu yang berada di balik handuknya.
"Lihat dong... Pelit amat!" Dan seolah tak menghiraukan ucapanku, Harun pun bergerak ke atas tempat tidur dan menjatuhkan tubuhnya di sebelahku. Menggeser telapak tanganku dengan mudah seakan-akan dia tahu bahwa aku tak sanggup mencegah tindakannya.
Aku memenuhi paru-paruku dengan oksigen dan mencoba bersikap tenang. Tapi ternyata, upayaku sia-sia. Berada di sebelah Harun dalam jarak sedekat ini membuat napasku terasa lebih berat. Detak jantungku pun semakin tak berirama.
Sambil memandangi layar Macbook yang masih menyala, dia berkata, "Gue emang belom pernah baca karya lo sebelumnya. Tapi terus terang aja nih, pas baca tulisan lo yang satu ini, rasanya ada sesuatu yang istimewa aja."
Aku mengernyit, mata memicing hingga segaris. "Deskripsi istimewa menurut lo itu seperti apa?"
Dia hanya tersenyum tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Sementara, mata kami bertemu dalam satu garis maya. Bertanya-tanya di dalam hati, apakah yang akan dia lakukan setelah ini?
Lalu, kudengar dia bergumam lirih, "Seistimewa kamu..."
Wajah kami begitu dekat, embusan napasnya membuat kulit wajahku terasa hangat. Aku memejamkan mata perlahan dan bersiap menyambut bibir Harun yang hendak memagut bibirku. Semakin lama, ciuman kami semakin jauh. Saling mengisap, saling melumat, saling menggerayangi tanpa rela melewatkan satu inchi. Seperti ada sesuatu yang membuat kami enggan untuk mengakhirinya.
Harun merengkuhku erat-erat dalam dekapannya dan segera melepas tanktop putih yang kukenakan. Membasahi leherku dengan lidahnya sampai aku menggelinjang bagai cacing kepanasan. Di luar sana, malam mulai beranjak naik. Tapi Harun masih jaih dari selesai. Dia menjilati kedua putingku secara bergantian, kemudian beralih pada otot perutku yang sudah lama basah oleh keringat. Tahap demi tahap terus berlanjut sampai Harun memperlihatkanku sesuatu yang rasanya sulit untuk kulupakan.
Handuk putihnya telah tergeletak di atas lantai. Kini, tak ada satu benang pun yang membungkus tubuh kami berdua. Remang-remang cahaya lampu kamar memperjelas setiap keistimewaan yang terpahat pada tubuh pria ini. Dan kurasa, sudah saatnya kami menerbangkan sejuta kenangan menjadi kenyataan.
Aku menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang dan segera berkutat di bawah pusarnya. Sempat kudengar dia melenguh dan menyebut namaku dengan rintihan manja. Sementara, telapak tangannya tak berhenti membelai rambutku -- seakan-akan memohon agar aku tidak berhenti menghadiahinya perlakuan istimewa.
Ranjang berderik pelan, dua anak manusia sedang asyik mengekspresikan kebersamaan dalam permainan yang penuh desahan. Keringat kami melebur jadi satu. Lukisan di dinding pun menjadi saksi bisu. Keindahan yang nyaris sempurna, meskipun aku sadar apa yang kami lakukan adalah satu kesalahan besar.
Tapi aku tak peduli. Semuanya telah telanjur terjadi.
Selama beberapa saat, aku dan Harun saling berpandangan. Begitu sulit menyadari bahwa kami telah melakukan sesuatu yang gila. Namun, Harun hanya tersenyum -- seolah-olah dia sama sekali tak ambil pusing atas apa yang telah terjadi.
"Kayaknya habis ini gue mesti mandi lagi deh," ujarnya sembari menggosok dada bidangnya yang bersimbah keringat.
Aku mengamatinya dengan saksama, menduga ada sesuatu yang aneh di balik ucapannya. "Gue duluan atau lo duluan nih?"
Dia mencubit hidungku dan berkata, "Bareng aja, biar hemat air."
Belum sempat aku membuat satu penolakan, Harun lebih dulu menggapai tanganku dan mengajakku berjalan menuju kamar mandi.
***
Desir angin pagi yang mengantarkan suara ombak menghinggapi pendengaranku. Semburat sinar matahari menyeruak masuk dan tumpah di setiap sudut kamar. Dari balik jendela, aku dapat melihat kubangan awan putih yang saling berpagutan di sepanjang pita langit.
Begitu harmonis.
Begitu erat.
Seerat lengan Harun yang senantiasa melilit di pinggangku.
Sebelumnya, aku sempat berpikir kejadian tadi malam akan terulang lagi. Tapi ternyata, semua jauh berbeda dari perkiraanku. Tak ada lagi adegan penuh desahan ataupun kecup yang saling berpadu-padan. Semua itu tergantikan oleh sebuah senyuman dan sepasang bola mata hitam yang berkilau seperti matahari pagi.
Dia mencium keningku, mengucapkan selamat pagi sebelum kami sepakat untuk turun dari ranjang dan saling mengenakan pakaian. Berjalan keluar dari hotel, kemudian menuju jalan setapak yang menuntun kami ke bibir pantai Seminyak.
Sejauh mata memandang, tampak sejumlah peselancar dan para turis yang sedang berjemur di bawah terik matahari pagi. Debur ombak pantai menghantam batu karang, menyeret pasir pantai ke dalam gulungannya, lantas mencipratkan buih-buih putih di udara.
Aku melirik diam-diam ke arah Harun yang berjalan di sebelahku. Kedua matanya terbungkus oleh kacamata hitam pelindung silau matahari. Bertekad untuk memecah keheningan yang membungkus kami berdua sejak meninggalkan hotel tadi. Tapi, sesuatu justru mematahkan keberanianku. Terlebih saat kulihat dirinya yang sedang menekuni layar ponsel tanpa memalingkan pandangan.
Aku menenggelamkan kedua telapak tanganku ke dalam saku celana, memandangi fajar yang merekah di langit timur Seminyak. Jerit suara burung laut membaur dengan nyanyian ombak. Sedikitpun tidak berhasil mengusik sunyi yang menggelayut di antara aku dan Harun.
Tepat ketika aku menoleh ke arahnya, dia menyampaikan sesuatu, "Besok gue pulang ke Banjarmasin, Dam."
Kalimat yang dia tuturkan seketika membuat tenggorokanku tercekat. Kedua kakiku pun mendadak terasa sulit diayunkan. Jantungku seperti diremas berulang-ulang sehingga meninggalkan rasa sakit yang tak bisa diobati.
"Jaga diri ya, Dam..." tuturnya, tanpa mau menungguku memberi tanggapan.
Mataku terasa perih. Aku memaksakan diriku bersuara, "Lo juga, Har." Hanya itu satu-satunya kalimat yang meluncur dari bibirku. Tanpa pesan tambahan secuil pun.
Harun meraih telapak tanganku, mengusapnya lembut sebelum mendaratkan sebuah kecupan kecil sebagai tanda perpisahan.
Pikiranku berputar pada sederet peristiwa yang kulewati bersama Harun sejak pertama. Teringat bagaimana dia akhirnya menemukanku di hotel Amala; menyaksikan sosok pria linglung yang tampak tersesat. Teringat bagaimana kami berkisah dan membagi masa lalu, makan malam bersama di La Plancha. Dan untuk pertama kalinya, kami berdua tidur dalam ranjang yang sama.
Barangkali kami telah melakukan kesalahan besar.
Tapi tak mengapa. Karena bagiku, dialah satu kesalahan terindah yang pernah kulakukan.
Setetes air mataku meluncur jatuh. []
Begitu harmonis.
Begitu erat.
Seerat lengan Harun yang senantiasa melilit di pinggangku.
Sebelumnya, aku sempat berpikir kejadian tadi malam akan terulang lagi. Tapi ternyata, semua jauh berbeda dari perkiraanku. Tak ada lagi adegan penuh desahan ataupun kecup yang saling berpadu-padan. Semua itu tergantikan oleh sebuah senyuman dan sepasang bola mata hitam yang berkilau seperti matahari pagi.
Dia mencium keningku, mengucapkan selamat pagi sebelum kami sepakat untuk turun dari ranjang dan saling mengenakan pakaian. Berjalan keluar dari hotel, kemudian menuju jalan setapak yang menuntun kami ke bibir pantai Seminyak.
Sejauh mata memandang, tampak sejumlah peselancar dan para turis yang sedang berjemur di bawah terik matahari pagi. Debur ombak pantai menghantam batu karang, menyeret pasir pantai ke dalam gulungannya, lantas mencipratkan buih-buih putih di udara.
Aku melirik diam-diam ke arah Harun yang berjalan di sebelahku. Kedua matanya terbungkus oleh kacamata hitam pelindung silau matahari. Bertekad untuk memecah keheningan yang membungkus kami berdua sejak meninggalkan hotel tadi. Tapi, sesuatu justru mematahkan keberanianku. Terlebih saat kulihat dirinya yang sedang menekuni layar ponsel tanpa memalingkan pandangan.
Aku menenggelamkan kedua telapak tanganku ke dalam saku celana, memandangi fajar yang merekah di langit timur Seminyak. Jerit suara burung laut membaur dengan nyanyian ombak. Sedikitpun tidak berhasil mengusik sunyi yang menggelayut di antara aku dan Harun.
Tepat ketika aku menoleh ke arahnya, dia menyampaikan sesuatu, "Besok gue pulang ke Banjarmasin, Dam."
Kalimat yang dia tuturkan seketika membuat tenggorokanku tercekat. Kedua kakiku pun mendadak terasa sulit diayunkan. Jantungku seperti diremas berulang-ulang sehingga meninggalkan rasa sakit yang tak bisa diobati.
"Jaga diri ya, Dam..." tuturnya, tanpa mau menungguku memberi tanggapan.
Mataku terasa perih. Aku memaksakan diriku bersuara, "Lo juga, Har." Hanya itu satu-satunya kalimat yang meluncur dari bibirku. Tanpa pesan tambahan secuil pun.
Harun meraih telapak tanganku, mengusapnya lembut sebelum mendaratkan sebuah kecupan kecil sebagai tanda perpisahan.
Pikiranku berputar pada sederet peristiwa yang kulewati bersama Harun sejak pertama. Teringat bagaimana dia akhirnya menemukanku di hotel Amala; menyaksikan sosok pria linglung yang tampak tersesat. Teringat bagaimana kami berkisah dan membagi masa lalu, makan malam bersama di La Plancha. Dan untuk pertama kalinya, kami berdua tidur dalam ranjang yang sama.
Barangkali kami telah melakukan kesalahan besar.
Tapi tak mengapa. Karena bagiku, dialah satu kesalahan terindah yang pernah kulakukan.
Setetes air mataku meluncur jatuh. []
*END*
Be First to Post Comment !
Posting Komentar