Pagi itu, aku
bangun lebih awal. Aku beringsut turun dari ranjang dan keluar dari kamar
sesaat setelah aku dihadiahi spektrum ilusi yang membuatku teramat merindu.
Beberapa di antaranya adalah sejumlah suara semu yang tidak kuketahui dari mana
mereka berasal.
Aku melangkah
gontai ke ambang pintu rumahku, duduk bergeming di sana sembari menengadahkan
kepala. Menyaksikan selendang biru yang membentang luas di sepanjang cakrawala
beserta riak-riak awan putih yang sedang berdansa di sekitarnya. Angin bertiup
kencang tanpa perhitungan sekalipun bola api di atas sana berpijar terik tak
terkira. Satu demi satu dedaunan pohon jambu di halaman rumahku mengelupas dari
rantingnya yang tampak telah menua.
Dalam diam aku
membatin, ini tidak terasa seperti
biasanya.
Aku tidak tahu
apa yang sedang kualami. Bahkan, aku tidak mengerti mengapa aku memilih untuk
duduk di sini. Biasanya, aku akan hanyut dalam damai setiap kali aku berada
dalam ketenangan yang demikian. Hanya saja semuanya telah berbeda. Ada semacam
perasaan gelisah yang membuatku takut dan tiba-tiba ingin meneteskan air mata.
Aku menoleh ke
belakangku untuk sejenak. Menyaksikan sebuah ruangan yang senyap tanpa penghuni
selain barang-barang pajangan dan aneka benda mati. Tidak ada siapa pun di
sekitar sana. Tidak ada suara, maupun sosok yang tenangkan jiwa. Yang ada hanya
sepi.
Pikiranku
kembali terlempar pada sederet kenangan yang kulalui beberapa hari kemarin.
Masa di mana segalanya terasa begitu hangat. Ada gelak tawa, ada sukacita, dan
ada cerita yang senantiasa menjadi bukti kebersamaanku dengan seluruh penghuni di
rumah ini. Dan biasanya, semua bentuk keceriaan itu akan kutemui di saat-saat
seperti sekarang.
Aku juga masih
mengingat dengan jelas saat bocah-bocah kecil itu berteriak dengan suaranya
yang sumbang pada suatu pagi, kemudian diselingi dengan nyanyian yang terus
berlanjut tanpa tahu kapan mereka akan mengakhiri. Atau momen di mana mereka
berteriak menangisi sesuatu yang seharusnya mereka miliki. Dan tak ayal, tangis
itu pun akan segera berhenti saat salah satu dari penghuni rumah ini mencoba
menenangkan keadaan dengan caranya sendiri.
Selama
beberapa saat, aku hanya terdiam sembari menyeka bulir tangis yang tertahan di
ekor mataku. Aku membayangkan bila seandainya sukacita seperti itu tidak lagi
tercipta dengan esensi tawa yang seutuhnya. In
bottom line, tanpa suatu kebersamaan dalam keluarga, atau setelah terjadi
sebuah perpisahan.
Aku beranjak
dari dudukku, tahu bahwa semua kenyataan ini harus kuhadapi. Karena pada suatu
waktu, aku menyadari bahwa fase inilah yang disebut fase pendewasaan. Siap atau
tidak, hidup akan terus berjalan – dengan atau tanpa perencanaan.
Bangka, 20 Agustus 2013
Teras rumah...
Be First to Post Comment !
Posting Komentar