Di suatu siang yang mendung, aku duduk termenung di
depan kelasku. Halaman sekolah sudah tampak sepi sejak satu jam yang lalu.
Sementara itu, hujan masih belum juga usai. Rintik-rintiknya terus mengguyur
lapangan upacara hingga menciptakan genangan air di mana-mana. Dan sesekali
terdengar gemuruh petir yang menyalak-nyalak seakan hendak membelah
langit.
Selama beberapa saat, aku terus bertanya dalam hati
mengapa hujannya belum juga berhenti. Buruknya lagi, mengapa aku masih betah
berdiam diri di sini sementara sosok yang kutunggu tak kunjung muncul?
Sejujurnya, aku bisa saja pergi dari tempat ini
sejak tadi jika aku mau. Okky – teman sekelasku – dan ayahnya sempat menawarkan
tumpangan untuk mengantarku pulang. Hanya saja aku menolak tawaran keduanya.
Aku lebih memilih menunggu karena Mom telah berjanji untuk menjemputku. Tak
hanya itu, salah satu alasan yang membuatku bertahan karena aku juga ingin
menunjukkan pada Mom hasil ulangan Bahasa Inggris-ku yang mendapat angka 90.
Kupandangi jam G-Shock kuning yang melilit di
pergelangan tanganku, waktu menunjukkan pukul dua lebih sepuluh menit. Itu
artinya aku telah berada di sini selama satu jam tanpa melakukan hal apa pun
selain duduk dan menunggu.
Saat aku maju beberapa langkah, hendak menyorongkan
tanganku dan menangkap air hujan yang mengucur dari atap sekolah, tiba-tiba
terdengar suara yang tidak asing di telingaku.
“Dek...”
Aku menoleh, menangkap sosok pria yang berumur empat
puluhan dalam balutan kemeja biru muda dan celana hitam yang sangat kukenal.
Setelan khas karyawan rumah sakit milik Dad.
Lantas, dia pun melangkah ke arahku tanpa terpikir
untuk melipat payung hijau bermotif bunga-bunga yang berada dalam genggamannya.
Aku mengerutkan dahi menatap kehadirannya yang
benar-benar nyata. “Dad...?” tanyaku, suara diwarnai kebingungan. “Dad kenapa
bisa ada di sini? Mom mana?”
“Mom di rumah,” jawabnya lirih.
“Di rumah?” Sama sekali tidak mengerti bagaimana Mom
bisa mengabaikan janjinya untuk menjemputku. Lagi pula, Dad seharusnya masih
berada di rumah sakit, bukan di sini.
“Mom nggak bisa jemput, Dek,”
Kurasakan mataku memanas seketika. Teramat kecewa
saat mengetahui penantianku selama satu jam tadi hanyalah tindakan yang
sia-sia. Dan saat Dad menuturkan pernyataan itu, aku tidak tahu lagi apa yang
harus kulakukan selain merajuk. “Mom kenapa?”
“Mom sakit...” Nada yang sama seperti sebelumnya.
Aku terkesiap. Emosi itu semakin tak terbendung saat
aku bertanya, “Sakit apa???”
Dad membuang napas panjang. “Maag-nya kambuh.”
Aku bergeming, merasa sangat bodoh, tak berguna, dan
patut disalahkan.
Sepengetahuanku, Mom adalah perempuan yang
supertangguh. Satu-satunya perempuan yang kukenal sebagai ibu yang merangkap
sekaligus sebagai seorang pekerja. Namun, semua orang di rumahku tahu bahwa Mom
tidak pernah akrab untuk urusan kesehatannya, terutama kondisi perutnya.
Belakangan, Dad memang menceritakan padaku mengenai Mom yang selalu mengalami
sakit seperti maag sejak masih remaja.
“Aku mau pulang sekarang!” kataku dengan suara
sesenggukan, tidak bisa lagi membendung air mataku sejak tadi.
Satu hal yang kutahu setelah itu, Dad menuntun
tanganku, dan kami bergegas menyeberangi halaman sekolah, menantang hujan.
***
Setibanya di teras rumah, suasana sepi serta merta
menyambut kedatangan kami. Dad dalam setelan kemeja biru mudanya yang basah, mengeluarkan
serenceng anak kunci dari saku celananya dan bergegas membukakan pintu rumah.
Hujan masih belum juga selesai. Aku sudah lama merasa kedinginan semenjak
sepatu Pro ATT yang kukenakan ini basah terkena genangan air hujan di halaman
sekolah.
Sesaat setelah daun pintu coklat itu menganga, aku
segera menanggalkan sepatu beserta kaus kakiku dan berlari ke kamar Mom.
Menemukan beliau sedang berbaring lemah di atas ranjangnya sambil ditemani
segelas air putih, beberapa lapis roti tawar, dan tak lupa juga sejumlah obat
yang tak kuketahui namanya pada waktu itu.
“Dek, Mom minta – “
Belum sempat Mom menyelesaikan ucapannya, aku sudah
lebih dulu menaiki ranjang dan memeluk dirinya yang berselimut tebal.
“Maafin aku ya, Mom. Harusnya – dari tadi aku pulang
biar bisa jagain Mom di rumah,” aku berusaha berbicara selagi air mataku tidak
mau berhenti.
Selama sejenak, Mom hanya diam. Sesekali aku dapat mendengar
isak tangisnya yang sengaja ditahan. “Nggak apa-apa. Ini salah Mom juga yang
nggak bisa jaga pola makan,” tuturnya sambil membelai pelan riak rambutku. “Ulangannya
gimana, Gus?”
Aku beranjak bangkit dan membuka ritsleting tasku,
mengeluarkan dua helai kertas HVS yang dibubuhi angka 90 menggunakan tinta
merah. Memamerkan kertas ulangan Bahasa Inggris lecek yang nyaris basah itu ke
hadapan Mom dengan bangga. “Sembilan puluh, Mom!” seruku.
Mom meraih kertas itu, kemudian memicingkan matanya
untuk memastikan kembali angka yang tercantum di sana. Dia mengujar sesuatu, “Angka
ini udah cukup bikin Mom bangga sama kamu.” Meskipun dia mengucapkan kalimatnya
dengan lirih, rasa terima kasih itu dapat tersampaikan dengan jelas.
Aku tersenyum, tidak ingin berkomentar karena
ungkapan seperti itulah yang ingin kudengar darinya. Rasanya bahagia sekali
dapat membuat Mom bahagia dengan cara yang sederhana seperti ini. Dan sejak
hari itu, aku mempelajari satu hal terpenting dalam hidupku, sekecil apa pun pengorbanan yang kamu
lakukan terhadap orangtuamu, percayalah bahwa mereka akan selalu
menghargainya...
***
Hari
ini, 27 Agustus 2013...
Sejak tadi, aku mengabaikan aroma mentega leleh yang
terendus jelas di penciumanku. Begitu pula dengan pekat wangi Dark Chocolate
yang mungkin telah bercampur ke adonan kue yang berada di dalam loyang. Sementara
itu, mesin mixer sudah lama berhenti berteriak
saat aku menyadari aku telah melewatkan sesuatu yang penting.
That
cake!!!
Aku bergegas meninggalkan Notebook-ku dan keluar
dari kamar sesaat setelah hidungku menangkap aroma yang serupa dari arah dapur.
Mendapati Mom dalam busananya sehari-hari sedang berkutat di hadapan sesuatu
yang berbentuk persegi, berwarna coklat, dan tentu saja wangi...
That’s
my cake!!!
Aku menghampirinya dan bertanya, “Mau aku bantu,
Mom?”
“Bantu makan, ya?” celetuk Mom.
Aku tergelak, bisa-bisanya Mom mengkaryakan
pertanyaan jenaka di saat aku hendak menerkam kue yang berhubungan dengan hari
lahirku itu.
Dia meneruskan, “Tapi, kue ini emang khusus buat kamu, kok.”
Tidak berniat memberi tanggapan dengan sesuatu yang
konyol, aku pun tersenyum, memandanginya dengan mantap, seolah-olah sebuah telepati
yang mengisyaratkan bahwa today is a
perfect day!
Maka detik itu juga, aku menghambur ke dalam
pelukannya. Berbisik, “Terima kasih banyak, Mom...”
“Selamat ulang tahun, Gus. Tetep jadi anak yang baik,
ya,” ucapnya seraya menyertai sebuah belaian di kepalaku.
Rasanya seperti kembali ke masa lalu. Saat di mana
aku berada dalam pelukannya, dihadiahi sentuhan lembut di riak rambutku, dan
aku berhasil membuatnya tersenyum hanya dengan angka 90 yang kuperoleh dalam
tes Bahasa Inggris. Hanya saja, kali ini sedikit berbeda karena akulah yang
mengucapkan kata terima kasih untuknya.
Mom merenggangkan pelukannya, kemudian berkata, “Semoga
suka sama kuenya, ya.”
“It’s okay,
Mom. This is completely perfect...” Aku berusaha menampilkan senyum
terbaik, tapi tak bisa. “Terima kasih, Mom.”
Dan untuk kado yang terindah ini, izinkan aku
mengucapkan terima kasih sekali lagi.
Be First to Post Comment !
Posting Komentar