Bagaimana mungkin rasa memiliki yang kuat bisa begitu dekat dengan
kehilangan?
Dulu saya selalu meyakini bahwa,
selalu ada kebaikan dalam setiap perpisahan. Seperti kata pepatah, there will be good in goodbye. Di
kemudian hari, saya baruu menyadari satu hal. Apakah setiap individu di muka
bumi ini diciptakan untuk kehilangan satu sama lain? Kalau memang ada
perpisahan, mengapa harus ada pertemuan?
Di suatu sore yang ingar di bumi
Parahyangan, langit ditutupi awan kelabu. Genderang suara musik pengiring Barongsai
yang riuh bergema di seluruh penjuru tempat. Gerimis tidak menghentikan
kemeriahan imlek sama sekali. Tidak pula mengurungkan niat saya untuk
bepergian. Sepasang kaki masih terus melangkah menapaki jalan Braga, trotoar
yang basah oleh sisa hujan, atau melangkahi genangan air di setiap jalan-jalan
berlubang. Saya sudah menunggu sekian lama untuk datangnya momen ini.
Tubuh jangkung dengan bahu yang
sedikit bungkuk di hadapan saya senantiasa diam seribu bahasa. Dia pun masih
terus melangkah, menuntun saya ke sebuah persimpangan, tempat di mana sebuah
angkot berwarna merah jurusan Elang-Cicadas berhenti di hadapan kami. Saya
masuk ke angkot itu dengan perasaan kalut. Terus terang saya tidak sepenuhnya
siap dengan perjalanan ini. Jauh di dasar hati saya yang paling dalam, saya
beranggapan bahwa momen ini sekadar bercanda. Berkeliling kota Bandung
menggunakan angkot, kemudian tiba di tempat tujuan dan tidak mendapatkan
apa-apa. Saya ingin memercayai itu semua.
Namun ketika kami tiba di bibir
jalan, tempat di mana gapura besi itu tertempel di aspal, serta-merta saya
disergap perasaan iba. Enggan memercayai bahwa inilah tempat yang hendak kami
tuju, tempat di mana semua pertanyaan saya selama ini akan terjawab. Seolah ada
ribuan tangan yang menarik saya ke dalam, menyusuri jalan beraspal yang dihuni aneka
batu nisan dan sejumlah nama-nama asing.
Seorang pemuda pincang melangkah
tertatih-tatih di hadapan kami. Telunjuknya teracung ke satu tempat di mana
sebuah pohon kurus berdaun lebat berada. Dia berbincang-bincang dengan pria
yang berjalan di sebelahnya dalam bahasa Sunda yang sopan. Perbincangan dua
arah dan melibatkan dua audiens di belakang mereka. Saya mendahului keduanya.
Dengan wajah tertunduk, saya lantas mengenakan kacamata hitam. Entah untuk apa.
Padahal saya tahu, ini bukan hari yang terik. Matahari bahkan tidak muncul sama
sekali.
Tak ada suasana mistik ataupun
perasaan ngeri sewaktu melewati undakan pusara itu. Satu-satunya hal yang saya
rasakan hanyalah kedukaan yang mendalam. Menyadari betapa kematian begitu dekat
dengan diri kita. Sedekat urat nadi kita sendiri. Saya melihat seorang penjual
nasi uduk yang berdagang di bawah terpal biru. Beberapa anak tangga, kemudian
makam yang saling berhimpitan dengan makam lainnya. Ujung sepatu saya menginjak
pinggiran sebuah makam sebelum kami berhenti di depan hamparan tanah yang
terletak paling pojok.
Saya masih sulit memercayai bahwa
inilah yang kami cari sejak tadi. Sepasang papan kecil yang menjadikan
identitas pemilik ‘rumah’ ini tampak pudar. Beberapa waktu lalu saya sempat
dikirimi foto ini oleh adiknya. Kala itu, tulisan yang tercetak di papan itu
masih tampak jelas. Hitam dan kontras dengan warna asli papannya. Kini, apa
yang tertulis di sana berubah pudar. Seolah-olah sudah usang di makan waktu.
Satu-satunya penanda yang tersisa hanyalah tanggal lahirnya...
03-05-1992
Betapa saya ingin menahan air
mata agar tidak jatuh, namun saya tak mampu. Tak peduli seberapa keras saya
berusaha, ia terus tumpah membasahi perbukitan wajah saya. Meninggalkan sengguk
yang tak berkesudahan. Di bawah langit Bandung yang muram, saya meratapi batu
nisan itu. Jemari saya bergerak kemudian di atas rumahnya, mencabuti sejumlah
rumput yang tumbuh liar di sekitarnya. Sungguhpun ingin menata, membersihkan,
membangun ulang makam itu untuk dirinya.
Bagaimana kabarmu, Kiki? Seperti apa rasanya berada di dalam sana,
rumah untuk semua jiwa yang telah pergi. Saya mengunjungimu dengan tangis,
bukan dengan senyum, bukan dengan sukacita, bukan dengan cerita yang biasanya
kita rangkai bersama. Ini tidak adil ketika mereka memperlakukan kamu terimpit
di bawah sana, gelap, tanpa udara sama sekali. Kita nyaris tidak pernah
membicarakan masalah ini, Ki. Tapi saya merasa kamu telah berbuat curang
terhadap saya, terhadap semua orang. Mengapa orang sebaik kamu bisa pergi
secepat ini?
Sebuah burung besi melintas di
atas kepala saya. Dengung mesinnya masih terdengar sekalipun ia telah pergi
menjauh. Apakah hidup memang seperti itu? Segala sesuatu yang pergi senantiasa
meninggalkan histori. Selalu ada cara untuk mengingatnya, namun kita tak akan
pernah bisa menghidupkannya lagi. Kenangan itu sifatnya abadi.
Saya menerima pemberian adiknya,
kantung plastik berisi kembang aneka rupa. Warna-warni bunga itu tampak kontras
dengan suasana yang kelabu. Saya masih sulit menerima kenyataan bahwa sebentar
lagi, bunga ini akan berada di atas rumahnya.
Apa kamu menyaksikannya? Bunga yang saya genggam perlahan jatuh di
tempatmu bermukim. Segenap doa dan tangis menyertainya. Saya merasa malu
lantaran tidak bisa menghadiahimu bacaan-bacaan yang ada di kitab suci. Saya
bukan orang yang terlalu religius, Ki. Kamu tahu itu. Saya cuma mampu
merindukanmu, membasahi rumahmu dengan sebotol air yang akan membuat tanahnya
semakin gembur. Saya tidak yakin apakah kamu membutuhkan semua ini.
Memori saya melayang jauh pada
lagu yang dulu sering dia putar di kos saya.
Itu adalah No Air milik Chris Brown. Sesekali dia akan bersenandung,
kemudian melengkingkan suaranya di nada tertinggi. Saya sering meledek suaranya
yang cempreng, it doesnt suit on you, kataku
dulu. Tapi dia tak pernah peduli. Dia akan terus menyanyi. Dan semua lagu
favoritnya tersimpan khusus di playlist ponsel saya. Seandainya saja waktu bisa
kita putar kembali...
Saya menyeka tangis dan berusaha
menyudahi sedu-sedan. Menghirup napas berkali-kali demi menenangkan diri
sendiri. Kata orang, tidak baik menangisi kepergian seseorang, apalagi tepat di
depan pusaranya. Itu semakin memperjelas bahwa kita masih belum bisa menerima
kenyataan. Dan itu memang benar. Saya masih sulit memercayai bahwa dia telah
pergi. Entah bagaimana seseorang bisa begitu tabah terhadap rasa kehilangan.
Orang yang mati nggak akan pernah bisa hidup lagi, Joy.
Kalimat itu tiba-tiba berdesis di
kepala saya. Tidak tahu dari mana datangnya. Tapi saya yakin, ia berhasil
menegakkan kepala saya yang sejak tadi tertunduk. Fakta bahwa selalu ada yang
datang dan pergi di dalam hidup kita. Perjalanan membuat saya yakin, kesedihan
akan berjalan seiring dengan kebahagiaan. Segala sesuatu di dunia ini diciptakan
untuk berpasang-pasangan.
Langit terasa satu jam lebih
gelap. Saya sudah memutuskan untuk pergi. Dipandu oleh adiknya Kiki, saya
meninggalkan kawasan TPU Sirnaraga. Gerimis turun lagi dari atas sana. Dan pada
saat yang sama, saya menoleh ke belakang, mengirimkan sesuatu untuk Kiki.
Semoga makammu selalu wangi.
Semoga istirahatmu tenang di alam sana.
Dan semoga suatu hari kelak, kita akan bertemu lagi. Saya akan melihatmu
tersenyum, dan kita akan berkenalan lagi seperti kali pertama.
Ubud, February 10th 2016