Write. Anywhere. Anytime.

Selasa, 26 Maret 2013

Ketiga

"Kamu kapan pulang?" tanyaku dengan suara berat.
Belum terdengar sebuah jawaban.

Sesekali kuatur deru napasku yang memburu, berusaha menetralkan ritme-nya agar menyatu dengan setiap hentakan keras yang membuncah di dalam dada. Setelah sekian lama menahan diri untuk bertanya, akhirnya seutas kalimat itu terdepak dari mulutku juga.

Dan, satu-satunya orang yang kunantikan untuk berbicara saat ini tidak lain dan tidak bukan adalah cinta lamaku. Maksudku, seseorang yang pernah menbuatku terpikat, kemudian bersama-sama menceburkan diri ke dalam lembah cinta yang dipenuhi buai kasih sayang. Namun sayangnya, semua cerita itu hanya eksistensi yang terjadi di masa laluku.

Kemudian, dia menjawab, "Mungkin nggak dalam waktu dekat,"
Tidak dalam waktu dekat? Jadi, setelah ini aku harus memperpanjang masa penantianku lebih lama lagi...? Sampai kapan?
"I mean, as soon as possible," tambahnya.
Aku bergeming, menahan pertanyaan-pertanyaan bodoh yang tampaknya tidak akan berpengaruh jika kusuarakan.

Texas, aku amat menyadari bahwa semua keadaan ini benar-benar berbeda. Semuanya telah berubah. Namun, kenapa merindukanmu kini seolah-olah harus bersyarat? Lalu, mengapa kepahitan ini harus tercipta di antara kita dan begitu sukar untuk dihindari?

Kurasakan mataku memanas seketika. Percaya atau tidak, sesaat lagi genangan kristal bening yang kubendung ini akan segera membanjiri wajahku. Malang sekali, semua kemelut percintaan ini justru membuatku semakin tersiksa.

"Adam..." panggilnya di seberang sana.
"I'm listening," kataku sembari menahan perih yang menyayat tenggorokanku.
Kami terdiam lagi, tahu bahwa pembicaraan ini akan memburuk jika diteruskan lebih jauh. Karena baik aku atau Texas, kami berdua selalu memilih untuk diam demi menghindari datangnya masalah. Ironisnya, semakin kami berupaya semakin kami didekatkan dengan rentetan cobaan dan ujian.

"Adam, listen..." Texas membujukku, mencoba memberi penjelasan agar aku merasa lebih baik. "I promise you, I'll be there soon. Keep believe in me, Babe."
Texas, aku sepenuhnya ingin memercayai kalimatmu itu. Sangat ingin. Tapi, bisakah kamu meyakiniku bahwa semua itu bukan sekadar janji-janji palsu?
"Om Texas pulang, dong. Jangan lama-lama di sana..."

Suara kecil itu bergema di belakangku, mengundang kepalaku tertoleh dan ingin menyaksikan apa yang sedang dilakukan David setelah cukup lama dia mematung sendirian di bibir pintu kamarku.
David - dengan setelan piama bergambar kartun Pokemon itu - mengayunkan langkah kecilnya, mendekat ke arahku, bertingkah seakan-akan ingin terlibat dalam pembicaraan kami.

"Itu David, ya? tanya Texas. Intonasi suaranya berubah, terdengar lebih bernyawa. "Kabar dia gimana? Is he still doing good?"

Tenggorokanku tercekat saat kudengar pernyataannya. Mengingatkanku pada sejumlah momen manis dan berkesan yang pernah kami lewati saat dulu kala. Bertiga, bersama, semuanya terasa begitu indah. Dan kini, semua fragmen itu terputar kembali di kepalaku.

Be First to Post Comment !
Posting Komentar