Orang tak semestinya berjanji jika pada akhirnya tak sanggup menepati.
Sebuah
kencan pada umumnya sering dikaitkan dengan sesuatu yang manis dan berkesan.
Terlebih-lebih jika itu adalah kencan pertama. Orang pasti akan menyiapkan
apa-apa yang terbaik dari diri mereka; penampilan, topik perbincangan, sampai
sederet detail terkecil yang mungkin tak terlalu penting. Ada pun sebagian
orang menganggap kencan pertama seperti panggilan wawancara kerja dari salah
satu perusahaan favorit mereka.
Saya
mengenal orang ini sudah cukup lama. Sekitar satu tahun, kurang lebih. Dimulai
dari perbincangan kecil di jejaring sosial Twitter, saling bertukar nomor
telepon, dan sebagainya.
Ada banyak
kesan yang saya terima dalam rentang waktu sebulan perkenalan kami. Dia ramah,
pandai membangun obrolan yang seru, menyenangkan, dan saban waktu terlihat agak
misterius. Seperti ada bagian dari dirinya yang tak sudi dia bagi kepada siapa
pun. Barangkali karena dia lahir di bawah konstelasi bintang Scorpio, saya
rasa.
Dan selama
sebulan itu, saya dengan polosnya membayangkan ke mana hubungan pertemanan kami
akan berlanjut. Maka tak tanggung-tanggung saya mengajak dirinya untuk berlibur
bersama ke Bandung pada bulan September mendatang. Ide itu tercipta begitu saja
usai menerima kabar dari salah seorang sahabat yang hendak melangsungkan
pernikahannya di bulan itu.
Tak
biasanya saya bertindak impulsif. Orang-orang lebih mengenal saya sebagai
pribadi yang independen, tak takut sepi, dan gemar bertualang sendiri. Namun,
pada kala itu saya optimis bahwa hubungan kami akan berlanjut ke arah yang
baru. Terlalu optimis sehingga saya tak mempertimbangkan segala kemungkinan
yang mungkin saya terima — penolakan.
Padahal,
sekadar bertatap muka atau menghabiskan waktu satu-dua jam bersama pun kami
belum pernah. Lalu saya dengan percaya diri mengundang dirinya untuk berlibur
bersama.
Hanya
berselang satu minggu setelah menerima tawaran saya, dia pun memberi jawaban yang
saya tunggu-tunggu. Lengkap dengan kejutan yang tak pernah saya harapkan
sebelumnya. Sekadar mengetahui dia tak menyanggupi ajakan saya mungkin masih
bisa dimaklumi. Saya terbiasa dengan fake
promises maupun clear rejections. Namun
yang membuat saya hancur adalah fakta bahwa dirinya telah dimiliki orang lain.
Lalu
bagaimana dengan pelbagai janji dan lusinan agenda yang telah kami rancang bersama?
Apa yang terjadi dengan rayuan, ucapan selamat tidur, menit-menit yang bergulir
lewat perbincangan di telepon sepanjang malam? Seperti apa nasib mereka semua?
Entahlah.
Yang saya ingat, ketika itu saya ingin mengubur semuanya dalam-dalam dan
bergegas melangkah ke depan.
Barangkali,
orang tak semestinya berjanji jika pada akhirnya tak sanggup memenuhi. Atau
barangkali semua ini merupakan kesalahan terbesar saya yang telanjur
berekspektasi ketinggian.
*
Pengujung
bulan Juni 2018 lalu, dia muncul lagi di kehidupan saya. Saling bertanya kabar
dan kesibukan, bertukar emoji senyum yang menandakan kecanggungan, dan tak lupa
dia meminta maaf atas apa yang telah terjadi di antara kami. Betapa dia tak
ingin hubungan pertemanan ini putus begitu saja.
Sejujurnya
saya tak pernah berpikir dia akan kembali dan menghubungi saya layaknya seorang
teman lama. Mungkin beberapa kali terlintas di benak saya seperti apa kabar
dirinya, apakah dia baik-baik saja; tetapi hal itu tak berlangsung lama. Saya
pun kala itu sempat percaya bahwa dia telah bahagia sehingga dia tak pernah
berusaha menghubungi saya sama sekali.
Dan saya
menganggap kedatangannya tak lebih dari sekadar angin lalu. Sebab, bisa saja
dia menghilang lagi, atau mengecewakan saya untuk kesekian kali. Maka dengan
sewajar mungkin saya menyambut kabar itu, berusaha keras bersikap dingin
semata-mata supaya dia sadar bahwa saya sedang sibuk menata dunia saya sendiri.
Namun, kau
tak akan pernah tahu cara kerja semesta bukan? Ia sanggup membolak-balikkan
hati setiap orang tanpa alasan yang bisa kaupelajari dengan logika.
Itulah
ketika dinding pertahanan saya runtuh secara perlahan.
Janji untuk
pertemuan itu saya penuhi, waktu dan tempat telah kami sepakati, dan semua itu
hanya masalah waktu saja untuk mengetahui pihak mana yang akan tersakiti.
Saya masih
ingat dengan jelas — itu adalah Jumat sore yang rusuh di bulan Juli. Tugas di
meja saya sedang penuh-penuhnya, jadwal rapat yang mungkin akan berlangsung
sampai lewat jam makan malam, batere ponsel yang lupa diisi ulang, janji
mengambil kamera di bilangan Jakarta Barat, belum lagi pengambilan cucian yang
harus dikerjakan pada Sabtu pagi.
Sementara
itu, ponsel saya tak henti-hentinya menghadiahi notifikasi pesan WhatsApp.
Sesekali dia bergetar karena saya tak ingin deringnya menganggu orang-orang di
ruang rapat. Dan kesemua pesan itu berasal dari orang yang sama.
Tentu saya
masih ingat dengan janji bertemu itu. Saya bahkan sengaja membuat pengingat
khusus di ponsel beserta itinerary-nya
sekaligus. Semua itu saya lakukan agar saya tahu apa-apa saja yang harus saya
lakukan.
Akan tetapi, kau akan tahu warna aura seseorang ketika dia sedang berada di bawah tekanan.
Saya
mencoba bersikap tenang saat kalimat-kalimatnya diselubungi kekesalan. Saya
berusaha melunak ketika dirinya nyaris kehilangan kendali. Meskipun tak
dimungkiri, sesekali saya terpaksa menghindar sebentar lantaran tak kuat
menerima cacian darinya yang menyerupai teror.
And in the end, I couldn’t really make it.
Beberapa
menit lewat tengah malam, saya baru tiba di Kemang Timur. Satu demi satu
penerangan mulai padam. Sebagian rumah tampak redup. Lampu jalanan mengantar
cahaya temaram yang tak bersahabat di penglihatan. Hiruk pikuk kendaraan tak
seperti biasanya. The Reading Room telah tutup satu jam yang lalu.
Itu
artinya, saya terlambat lima jam dari waktu yang telah kami janjikan.
Dan saya
sama sekali tak memiliki ide ke mana pergi dirinya pada saat itu. Mungkin dia
sedang dalam perjalanan menuju rumahnya di Lebak Bulus, mungkin dia masih setia
menunggu di dalam kafe itu sampai saya benar-benar muncul (saya pun tak tahu
dari mana keyakinan ini muncul), atau mungkin dia sengaja menunggu saya di
Kalibata City sebagai alternatif.
Yang saya
ingat, saya masih mematung di depan The Reading Room sambil celingak-celinguk
ke sekitar. Sesekali saya menghubungi nomor teleponnya, tetapi sia-sia saja.
Tiga kali saya mencoba dan nomor itu mendadak tak bisa dihubungi.
Seandainya
peristiwa seperti ini terjadi pada sebuah panggilan kerja, sudah pasti saya
akan dibenci oleh sang pewawancara dan tak mungkin mendapat kesempatan bekerja
di perusahaan itu.
Lalu, tanpa
pernah saya prediksi sebelumnya, telinga saya menangkap sebuah suara yang
berasal dari seberang jalan. Suaranya menyerupai seruan yang singkat, tegas,
tetapi tidak terlalu keras. Kehadirannya diiringi deru mesin motor yang
tampaknya sengaja tidak dimatikan.
Sebagian
wajahnya tertutup oleh masker dan helm. Kabel earphone berwarna merah menjuntai keluar lewat jaketnya. Selama
sejenak pandangan kami bertabrakan, dan selama beberapa detik itu saya sempat
ragu apakah saya harus mendekat atau justru melarikan diri. Sebab, saya temukan
kilau benci di sepasang mata itu.
Akan
tetapi, logika saya kalah oleh rasa ingin tahu yang teramat besar. Saya
berjalan mendekati dirinya, memberanikan diri untuk setiap risiko yang akan
saya terima selanjutnya.
Sisa malam
itu lebih banyak kami habiskan dalam diam. Di sepanjang perjalanan, hanya
beberapa patah kata saja yang terlontar dari mulutnya. Itu pun dia tujukan
kepada salah seorang pengendara sepeda motor yang jaketnya menutupi lampu sign
dan lampu rem di belakangnya. Selebihnya, dia lebih banyak bungkam dalam hening
yang dia ciptakan sendiri.
Saya pikir,
kebisuan itu akan berakhir ketika kami berada di dalam kamar. Saya melempar
tanya sesekali, dan semua yang saya terima hanyalah raut muram sekaligus
jawaban singkat.
Malam mulai
beranjak tua. Saya berusaha memejamkan mata dalam gelap yang pekat. Wajah saya
menghadap dinding, berpura-pura tidur meskipun saya masih sanggup mendengar
napasnya yang lirih. Segala yang terjadi pada hari itu sudah pasti membuatnya
lelah. Wajar saja jika dirinya terlelap lebih awal.
Pada
awalnya saya mengira dia telah tersesat di alam mimpi. Oleh sebab itu saya
berani memulai sentuhan-sentuhan itu secara diam-diam; mengusap punggungnya
yang masih berbalut kaus hitam, memainkan jemari saya menelusuri riak rambutnya
— yang tanpa saya sadari membuat dia tersadar dan menarik saya ke dalam
pelukannya.
Terang yang nihil, kau yang tunggal.
Riak airmu menyesatkan.
Sedang aku adalah tanah yang patuh atas titah dan marahmu.
Tetaplah dekat, dekap aku lebih lama.
Terendus
oleh saya aroma tembakau yang melekat pada kaus yang dia kenakan. Membaur
bersama wangi vanila yang menguar dari dalam tubuhnya. Saya ingin merengkuhnya.
Saya ingin berada di dada itu lebih lama.
Dan untuk
pertama kalinya, sunyi menjadi saksi abadi atas terciptanya lumpur malam itu.
*
Jika ada
satu tempat yang bisa menjadi pelarian saya saat ini, mungkin jawabannya adalah
The Reading Room.
Tempat-tempat
umum seperti mal, pusat perbelanjaan,
kelab malam, bukanlah tempat yang tepat untuk orang seperti saya. Kafe The
Reading Room adalah pengecualian, saat saya hendak minum sambil menulis ataupun
membaca buku. Selebihnya, waktu senggang yang saya miliki lebih banyak saya
habiskan di dalam kamar seorang diri.
Secangkir
teh chamomile hangat dan buku For Nadira milik Leila S. Chudori
menjadi teman saya pada Sabtu sore ini. Samar-samar terdengar lagu Golden
Slumber milik The Beatles dari pengeras suara.
Betapa lagu
itu mengingatkan saya pada percakapan kami pada Minggu siang pada 15 Juli
silam.
Saya baru
saja bertolak dari Taman Suropati seusai mewawancarai salah satu narasumber
untuk buku yang sedang saya tulis. Narasumber ini adalah pendiri orchestra
musik yang sering hadir setiap Minggu pagi di Taman Suropati. Dan saya sempat
bercanda bahwa wajah narasumber ketika sedang tersenyum sangat mirip dengan
dirinya.
Mungkin
benar yang mereka katakan tentang jatuh cinta. Seluruh elemen Semesta ini
secara tidak langsung akan menyerupai orang yang sedang kau cintai, kapan pun
wajah orang tersebut selalu melekat di kepalamu.
Dan memang
benar, dia telah membuat saya terjatuh begitu keras sejak pertemuan kami.
Selagi
percakapan kami di WhatsApp itu berlangsung semakin jauh, telinga saya
menangkap lagu Golden Slumber dan Carry The Weight bersenandung di TV. Stasiun
TV HBO kebetulan sedang menayangkan film SING!, dan sebentar saja saya sanggup
mengenal bahwa Jennifer Hudson-lah yang menyanyikan lagu itu.
Ke arah
luar saya melabuhkan pandangan, menatap jalan Kemang Timur dengan keramaiannya
yang khas. Sejumlah kendaraan di lot parkir. Papan plang The Reading Room.
Langit sore yang redup. Saya tak sanggup menghitung berapa kali hujan bulan
Desember mengguyur kota Jakarta akhir-akhir ini.
Saya masih
ingat beberapa kisah yang kami bagi pada Sabtu sore itu. Tentang dirinya yang
gemar menceracau bukan-bukan saat sedang terlelap. Pernah satu kali ibunya mengungkit
salah satu ocehannya.
Ungkapnya,
“Aku pernah ngigau lagi beli rujak, terus pas bangun Mama langsung nanya, ‘itu
kamu abis ngigau apaan? Bilang sambel rujaknya jangan pedes, terus mangganya
dibanyakin’.”
Saya
menyimak cerita itu sambil tertawa. “Tapi kamu sadar kalau lagi mimpi rujak?”
“Rada lupa,
sih. Yang jelas aku di mimpi itu lagi pesen rujak. Cuma aku nggak yakin kalau
aku sambil ngomong juga,” jawabnya sambil cengar-cengir. “Makanya tadi aku
tanya ke kamu, pas aku tidur sempat ngigau atau nggak.”
“Nggak ada.
Ngorok pun nggak,” jawab saya.
“Biasanya
aku kalau lagi capek banget pasti tidurnya ngorok.” Dia tergelak, sehingga saya
bisa melihat barisan giginya yang rapi. “Kalau ngorok, kira-kira kamu bakal
ngapain?”
“Tutup
hidung kamu sampai nggak ngorok lagi. Itu efektif, lho.”
Mendengar
ucapan itu, lekas-lekas dia mencubit hidung saya dengan teramat keras.
Terkadang
saya berterima kasih lantaran kencan kami tak berjalan seperti orang-orang pada
umumnya. Andai saja saya tiba di The Reading Room tepat waktu dan menghabiskan
waktu di sana sampai tempat itu tutup, mungkin kami berdua tak akan seintim
ini. Tak mungkin sedekat ini.
Dia pun
pernah bercerita tentang tanggung jawabnya sebagai tulang punggung keluarga.
Saya bangga karena dia sanggup menghidupi keluarga sekaligus adik-adiknya yang
masih kecil. Semua itu bahkan telah dia lakukan sejak kecil. Dibandingkan
dirinya, saya tak ada apa-apanya.
“Aku mah
kerja apa aja ayo. Yang penting halal, nggak bikin malu keluarga.”
“Coba aku
tebak,” saya menyela, “kalau kamu jadi orang tua, pasti kamu tuh tipikal orang
yang keras dan disiplin sama anak kamu!”
Dia
menjawab dengan kepala terangguk. “Nggak cuma itu, aku juga bakal nasihati
mereka supaya masa lalu aku nggak perlu dijadikan contoh. Karakter anak-anak
itu bisa dibentuk dengan baik kalau cara mendidiknya pun baik.”
“Kamu nanti
nikah sama siapa?” Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut saya.
Dia menatap
saya lekat-lekat sebelum akhirnya menjawab, “Belum mikirin itu. Emang kenapa?
Kamu mau ngajak aku nikah?”
Hal
berikutnya yang saya lakukan adalah mengecup bibirnya, melumatnya habis-habis
sambil menerima perlakuannya yang tak kalah buas, yang membuat saya ingin
mengulang apa yang terjadi semalam.
Seketika,
ingatan saya kembali terlempar di masa kini di mana saya sedang duduk menekuri
secangkir teh yang kian mendingin. Bangku di hadapan saya pun senantiasa
kosong. Tak ada dirinya di sini yang bisa saya ajak sebagai teman bicara.
Langit
semakin gelap. Dan seiring dengan turunnya hujan dari langit, saya berharap
akan datang satu waktu di mana saya berkesempatan untuk menebus segalanya,
meminta maaf atas keterlambatan yang membuatnya marah seperti pada saat kencan
pertama. Dan saat itu pun saya berdoa, masih ada ruang di hatinya untuk
menyimpan nama saya.
Be First to Post Comment !
Posting Komentar